Pic from here. |
Jaman saya mau daftar kuliah (S1) dulu, saya hampir terlalu excited untuk masuk Universitas Airlangga (Unair) Jurusan Ilmu Komunikasi. Secara umum, sahabat-sahabat saya juga mendaftar di Unair, jadi harapan saya untuk bisa bersama dengan mereka terus, mengalahkan hal-hal yang lain. Pada saat yang sama, saya mendapat rekomendasi dari guru bahasa Inggris native speaker saya untuk kuliah di sebuah universitas swasta di Surabaya for free. Empat tahun, FREE. Gile. Kebetulan universitas itu baru akan buka pada angkatan saya, kelasnya berbahasa Inggris, kurikulumnya luar negeri, dan 90% dosennya orang asing. Saya ngiler, tapi ayah saya mendatangi kantor universitas tersebut, dan menolak permintaan saya. “Ayah masih bisa bayar kuliah mbak, udah (kuliah di) negeri aja.” Saya cuma bisa manyun.
Sepuluh tahun kemudian, teman saya yang kuliah di universitas tersebut, saat ini bekerja di Kepulauan Karibia. Belum lagi, setelah lulus S1, dese dapat networking untuk melanjutkan S2 di bidang pastry di Switzerland. Oya, jangan tanya nama universitasnya apa, saya lupa. Terakhir kali saya lewat bangunan yang waktu itu saya datangi dengan ayah saya, bangunannya sudah tidak berfungsi sebagai universitas lagi. So where are they going? I don't know.
Pada masa itu, saya pertama kali mendengar kata 'eligible university'. Jadi kebanyakan lowongan kerja mensyaratkan lulusan dari universitas yang cukup reputable. Nah, kata ini masih sangat sering diterjemahkan jadi 'universitas negeri'. Tapi apa iya sih kuliah di universitas negeri selalu jadi pilihan utama? Let's see.
Generasi saya memiliki anggapan bahwa universitas negeri identik dengan biaya pendidikan yang terjangkau dan mendapatkan prioritas pemerintah dalam hal pengembangan, kurikulum, tenaga pengajar, dan lain-lain. Apalagi beberapa universitas negeri di Indonesia gengsinya gede banget. Semakin sulit masuknya, semakin membanggakan pula.
Ketika saya lulus S1 dan bekerja, saya mulai merasakan sedikit ketimpangan antara saya yang lulusan negeri dengan teman-teman lulusan swasta. Mungkin saya harus menegaskan kalau semuanya kembali ke pribadi masing-masing, tapi ini ada contoh-contoh kasus ya. Jangan dipikir saya akan membandingkan dengan universitas swasta yang abal-abal. Manajer saya lulusan Universitas Kristen Petra Surabaya, pasti pernah dengar dong? Saya juga punya kenalan yang alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Menurut saya, mereka lebih kreatif dan inovatif. Mereka lebih 'siap kerja', dan konon di kampus mereka, nilai bagus ga gampang didapatkan. Biasanya mindset dan jiwa mereka lebih 'entrepreneur', dan dari segi apapun, mereka lebih skillful.
Kemudian saya mengamati beberapa kampus swasta, dan saya mendapat kesimpulan pertama. Justru karena posisi mereka yang masih sering dipandang sebelah mata, mereka lebih terpacu untuk meningkatkan kualitas. Rata-rata universitas negeri kan ga butuh promosi, sedangkan jika universitas swasta ga melakukan promosi habis-habisan, mereka ga akan dikenal.
Selain itu, karena universitas swasta sadar betul bahwa mahasiswa adalah aset, mereka dilayani sebaik mungkin. Teman kuliah S2 yang juga alumni Atma Jaya pernah bilang bahwa selama kuliah, jadwal UTS atau UAS selalu pasti, dan dapat diketahui pada awal semester. Kantor internasional universitas swasta juga getol bikin kerja sama dengan universitas di luar negeri untuk membangun networking mahasiswanya. Tujuan dari pelayanan ini ya, supaya para mahasiswa mendorong adik-adik mereka untuk melanjutkan jejak mereka di universitas tersebut.
Beda sama universitas negeri yang - Allahu Akbar - ngurus apa-apa itu susahnya bukan maen. Terus ga terhitung lagi saya dengar cerita tentang dosen-dosen universitas negeri yang waktunya diregenerasi tapi terhalang birokrasi dari pusat.
Saya bukannya mau menjelek-jelekkan universitas negeri ya, secara saya sendiri masih kuliah di universitas negeri. Saya hanya ingin memberikan wawasan kalau kuliah di universitas swasta ga sejelek itu. Bahkan kalau sister khawatir akan tingginya biaya, universitas negeri sekarang juga banyak yang muuuahal pwol. SPP adik saya yang S1 di Universitas Brawijaya hampir sama dengan SPP saya yang S2. Makanya saya ketar-ketir karena akan ada 2 (!!) adik lagi yang masuk universitas tahun ajaran depan.
Ragu-ragu tentang image universitas di mata perusahaan yang ingin sister lamar suatu hari nanti? Well maybe it's another problem. Tapi kembali lagi keatas, kalau sister memutuskan untuk kuliah di universitas swasta, jangan kuliah di universitas 'ga jelas'. Sebisa mungkin tetap kuliah di universitas swasta yang sudah terpercaya.
Seandainya saja saya boleh memilih saat itu, mungkin saya akan mempertimbangkan kuliah di universitas 'yang tidak terkenal' itu. Saya juga pernah berandai-andai kalau bisa kuliah di Universitas Ciputra Surabaya atau Universitas Ma Chung Malang, kayaknya seru. Sayangnya kedua universitas itu dari sejak awal tidak ada di daftar saya karena tidak punya jurusan Ilmu Komunikasi.
So, untuk merangkum how to choose a private university, here are some tips for you:
1. Lihat akreditasi universitas dan jurusan. Kadang bisa berbeda lho, karena jurusan kan didaftarkan sesuai tahun pembukaan, sedangkan mungkin universitasnya sudah berdiri sejak lama. Hal ini tidak terlalu krusial tapi bisa membangun image dan reputasi mahasiswanya.
2. Jika memungkinkan, perhatikan daftar mata kuliah yang mereka tawarkan, atau setidaknya kurikulum yang mereka gunakan. Apakah lebih cenderung pada praktik kerja, atau teoritis? Kalau untuk S2, pilihan peminatan atau mata kuliah dapat dilihat di brosur, tapi mungkin untuk S1 hal ini bisa ditanyakan ke bagian informasi.
3. Bagaimana dengan dosen-dosennya? Dari latar belakang dosen bisa dilihat juga kecenderungan kurikulum universitasnya. Sebagai contoh, bos saya dulu (kayaknya) bukan lulusan S2 tapi bisa mengajar mata kuliah yang dasarnya creative works sesuai dengan pengalaman kerja beliau.
4. Apakah universitas ini memiliki networking yang mumpuni? Ga cuma dengan universitas di luar negeri, tapi bisa juga instansi atau institusi yang memberikan peluang pekerjaan bagi mahasiswanya.
Kesannya sedikit ribet ya, kecuali universitas ini sudah mentereng abis, tapi namanya memilih universitas itu hampir sama dengan memilih pacar (…). Bisa jadi pilihan ini memberikan pengaruh yang sangat besar pada kehidupan selanjutnya (dunia kerja maksudnya, bukan kehidupan sesudah mati, hehe), dan hampir semua orang tua pasti berharap sister akan bertahan untuk menyelesaikan kuliah di satu universitas saja sampai lulus. Nah, kalau sekarang sister sudah sedikit tercerahkan tentang kuliah dimana, next post saya akan membahas tentang kuliah apa. Stay tune ya! ;)
Salam mahasiswa,
Prima
Sepuluh tahun kemudian, teman saya yang kuliah di universitas tersebut, saat ini bekerja di Kepulauan Karibia. Belum lagi, setelah lulus S1, dese dapat networking untuk melanjutkan S2 di bidang pastry di Switzerland. Oya, jangan tanya nama universitasnya apa, saya lupa. Terakhir kali saya lewat bangunan yang waktu itu saya datangi dengan ayah saya, bangunannya sudah tidak berfungsi sebagai universitas lagi. So where are they going? I don't know.
Pada masa itu, saya pertama kali mendengar kata 'eligible university'. Jadi kebanyakan lowongan kerja mensyaratkan lulusan dari universitas yang cukup reputable. Nah, kata ini masih sangat sering diterjemahkan jadi 'universitas negeri'. Tapi apa iya sih kuliah di universitas negeri selalu jadi pilihan utama? Let's see.
Generasi saya memiliki anggapan bahwa universitas negeri identik dengan biaya pendidikan yang terjangkau dan mendapatkan prioritas pemerintah dalam hal pengembangan, kurikulum, tenaga pengajar, dan lain-lain. Apalagi beberapa universitas negeri di Indonesia gengsinya gede banget. Semakin sulit masuknya, semakin membanggakan pula.
Ketika saya lulus S1 dan bekerja, saya mulai merasakan sedikit ketimpangan antara saya yang lulusan negeri dengan teman-teman lulusan swasta. Mungkin saya harus menegaskan kalau semuanya kembali ke pribadi masing-masing, tapi ini ada contoh-contoh kasus ya. Jangan dipikir saya akan membandingkan dengan universitas swasta yang abal-abal. Manajer saya lulusan Universitas Kristen Petra Surabaya, pasti pernah dengar dong? Saya juga punya kenalan yang alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Menurut saya, mereka lebih kreatif dan inovatif. Mereka lebih 'siap kerja', dan konon di kampus mereka, nilai bagus ga gampang didapatkan. Biasanya mindset dan jiwa mereka lebih 'entrepreneur', dan dari segi apapun, mereka lebih skillful.
Kemudian saya mengamati beberapa kampus swasta, dan saya mendapat kesimpulan pertama. Justru karena posisi mereka yang masih sering dipandang sebelah mata, mereka lebih terpacu untuk meningkatkan kualitas. Rata-rata universitas negeri kan ga butuh promosi, sedangkan jika universitas swasta ga melakukan promosi habis-habisan, mereka ga akan dikenal.
Selain itu, karena universitas swasta sadar betul bahwa mahasiswa adalah aset, mereka dilayani sebaik mungkin. Teman kuliah S2 yang juga alumni Atma Jaya pernah bilang bahwa selama kuliah, jadwal UTS atau UAS selalu pasti, dan dapat diketahui pada awal semester. Kantor internasional universitas swasta juga getol bikin kerja sama dengan universitas di luar negeri untuk membangun networking mahasiswanya. Tujuan dari pelayanan ini ya, supaya para mahasiswa mendorong adik-adik mereka untuk melanjutkan jejak mereka di universitas tersebut.
Beda sama universitas negeri yang - Allahu Akbar - ngurus apa-apa itu susahnya bukan maen. Terus ga terhitung lagi saya dengar cerita tentang dosen-dosen universitas negeri yang waktunya diregenerasi tapi terhalang birokrasi dari pusat.
Saya bukannya mau menjelek-jelekkan universitas negeri ya, secara saya sendiri masih kuliah di universitas negeri. Saya hanya ingin memberikan wawasan kalau kuliah di universitas swasta ga sejelek itu. Bahkan kalau sister khawatir akan tingginya biaya, universitas negeri sekarang juga banyak yang muuuahal pwol. SPP adik saya yang S1 di Universitas Brawijaya hampir sama dengan SPP saya yang S2. Makanya saya ketar-ketir karena akan ada 2 (!!) adik lagi yang masuk universitas tahun ajaran depan.
Ragu-ragu tentang image universitas di mata perusahaan yang ingin sister lamar suatu hari nanti? Well maybe it's another problem. Tapi kembali lagi keatas, kalau sister memutuskan untuk kuliah di universitas swasta, jangan kuliah di universitas 'ga jelas'. Sebisa mungkin tetap kuliah di universitas swasta yang sudah terpercaya.
Seandainya saja saya boleh memilih saat itu, mungkin saya akan mempertimbangkan kuliah di universitas 'yang tidak terkenal' itu. Saya juga pernah berandai-andai kalau bisa kuliah di Universitas Ciputra Surabaya atau Universitas Ma Chung Malang, kayaknya seru. Sayangnya kedua universitas itu dari sejak awal tidak ada di daftar saya karena tidak punya jurusan Ilmu Komunikasi.
So, untuk merangkum how to choose a private university, here are some tips for you:
1. Lihat akreditasi universitas dan jurusan. Kadang bisa berbeda lho, karena jurusan kan didaftarkan sesuai tahun pembukaan, sedangkan mungkin universitasnya sudah berdiri sejak lama. Hal ini tidak terlalu krusial tapi bisa membangun image dan reputasi mahasiswanya.
2. Jika memungkinkan, perhatikan daftar mata kuliah yang mereka tawarkan, atau setidaknya kurikulum yang mereka gunakan. Apakah lebih cenderung pada praktik kerja, atau teoritis? Kalau untuk S2, pilihan peminatan atau mata kuliah dapat dilihat di brosur, tapi mungkin untuk S1 hal ini bisa ditanyakan ke bagian informasi.
3. Bagaimana dengan dosen-dosennya? Dari latar belakang dosen bisa dilihat juga kecenderungan kurikulum universitasnya. Sebagai contoh, bos saya dulu (kayaknya) bukan lulusan S2 tapi bisa mengajar mata kuliah yang dasarnya creative works sesuai dengan pengalaman kerja beliau.
4. Apakah universitas ini memiliki networking yang mumpuni? Ga cuma dengan universitas di luar negeri, tapi bisa juga instansi atau institusi yang memberikan peluang pekerjaan bagi mahasiswanya.
Kesannya sedikit ribet ya, kecuali universitas ini sudah mentereng abis, tapi namanya memilih universitas itu hampir sama dengan memilih pacar (…). Bisa jadi pilihan ini memberikan pengaruh yang sangat besar pada kehidupan selanjutnya (dunia kerja maksudnya, bukan kehidupan sesudah mati, hehe), dan hampir semua orang tua pasti berharap sister akan bertahan untuk menyelesaikan kuliah di satu universitas saja sampai lulus. Nah, kalau sekarang sister sudah sedikit tercerahkan tentang kuliah dimana, next post saya akan membahas tentang kuliah apa. Stay tune ya! ;)
Salam mahasiswa,
Prima
Kadang malah kuliah di negara seberangnya biayanya sama dgn kuliah di Indonesia. Padahal kita tahu sendiri, kuliah di Luar Negeri banyak nilai plusnya
ReplyDeleteEmang udah nempel banget di kepala orang banyak kalau masuk negeri itu prestise sendiri. orang tua gue pun mati2an berusaha biar gue masuk negeri sampe khusus les abis lulus sma.Di jaman gue waktu itu (2010) emang masih tergolong murah, masuk lewat jalur mandiri aja cm bayar 2jt udah ga ada bayar2 lagi buat semesteran. Salah satu pertimbangannya gitu kali ya.. Tapi bener sih, soal kualitas pendidikan bisa gue bilang biasa aja, infrastruktur perpus misalnya yg ga lengkap, birokrasi yg ribet, blm soal KRS yang masa waktu itu masih manual bbzzzz. Sama mungkin ya kayak barang, ada harga ada kualitas :)
ReplyDeleteSelain itu saya nyari yang biayanya ringan dan bisa dicicil wkwkwk
ReplyDelete