Tuesday, August 2, 2016

What Would You Do If You Weren't Afraid?

Buat yang sudah pernah baca bukunya Sheryl Sandberg yang berjudul Lean In, pasti familiar dengan judul diatas. Kutipan tersebut, ditempel di ruang workshop #WhyNot yang diadakan oleh Kak Ollie dan Girls in Tech bekerjasama dengan Facebook, pada hari sabtu lalu di Jakarta. 

Entah mengapa saat melihat kutipan di dinding itu, saya merasa harus menuliskannya di blog, untuk suatu pemikiran...yang baru muncul tadi siang. Tadinya saya sempat bertanya-tanya, apa ya yang akan saya lakukan kalau saya tidak takut? Secara hingga umur segini, rasanya saya hampir selalu melakukan apa yang saya inginkan. Bahkan sering juga melakukan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang karena saya paham, basically saya orang yang cenderung plin-plan dan perfeksionis. Kalau semua hal dipikirin baik-baik, takutnya malah engga jalan. Menghadiri UWRF pada tahun 2013 adalah salah satu keputusan spontan yang saya lakukan, and in the end saya sudah berpartisipasi sebanyak tiga kali, jadi supervisor MC pula. What a decision that changed my life. 

Selain itu, ada beberapa hal yang saya lakukan dengan mengesampingkan rasa takut, dan tidak berakhir sebagaimana saya mau, misalnya:
1. Melamar kerja di Supreme Committee (World Cup Qatar 2022), sampai bikin video dan beberapa blog post, sempat berkirim email dengan recruiter tapi tidak diterima.
2. Melamar posisi volunteer di Emirates Airline Festival of Literature, sempat video call, diterima jadi asistennya asisten manajer, tapi gagal berangkat karena engga punya uang.
3. Melamar seorang lelaki, dengan pedenya, karena I thought we have future, tapi ditolak mentah-mentah. Hahahahahahaha. Sekarang sih bisa ketawa, tapi waktu kejadian, sakitnya bok. 

See, I have swallowed a lot of failures in my life and I never regret it even for a second. I am glad I can make my own decision, and face all the consequences, even though in the process I might lose something. 



-----

Pagi ini saya membaca suatu artikel di majalah Cleo, yang bercerita tentang seorang perempuan yang khawatir akan sebuah pertemuan. Nothing last forever, as she written, bahwa setiap pertemuan pasti ada perpisahan. 

Seperti ada yang bilang ‘aha!’ di kepala saya ketika membacanya. Inilah yang saya takutkan selama ini. I’m afraid to say hello because I know one day I have to say good bye. Like it or not. Kadang saya siap untuk mengucapkannya karena saya tahu akan ada masanya untuk berpisah. Kadang saya tidak siap karena kejadiannya begitu tiba-tiba.

Suatu hari pada perjalanan antar kota, nenek saya mengatakan bahwa she missed her husband so much. Beliau mengatakannya kepada ayah saya, dan bertanya kepada saya apakah saya merindukan kakek juga. Ayah saya yang menjawab, ‘dita masih terlalu kecil saat itu. Mungkin hingga sekarang pun dia belum pernah merasakan kehilangan seseorang yang sangat berarti.’ Saya terdiam. Sepertinya ayah saya ada benarnya. Lama kemudian saya baru teringat, ada masa dimana saya merasa kehilangan, meski orangnya masih hidup. Saat ayah dan ibu saya bercerai, bukan itu. Tapi saat ayah dan ibu saya, masing-masing menikah lagi dan saya bingung menempatkan diri. My parents were not mine anymore. Setiap kali saya ingin berbelanja dengan ayah saya, atau minta dimasakkan sesuatu, ada seseorang yang akan melakukannya untuk saya. But I don’t want my stepmother! I want my father! Tiba-tiba saya merasa tidak diinginkan lagi dan melakukan hal-hal buruk untuk mencari perhatian. 

Kembali ke akhir pekan lalu. Ketika saya harus mengejar kereta untuk kembali ke Yogyakarta, saya menggunakan Gojek dan sempat berbincang dengan si bapak ojek. Beliau tercengang karena saya cukup kenal daerah-daerah di Jakarta Selatan hingga ke Jakarta Pusat. ‘Iya Pak, saya dulu sempat pacaran sama orang Jakarta, tapi engga jodoh,’ saya nyeletuk begitu saja. FYI, kantor saya sekarang hanya selemparan batu dari rumah (orangtua) si mantan. Cuma dulu itu kalau setiap saya ke Jakarta, namanya wakuncar itu benar-benar penuh perjuangan. Saya seringnya menginap di Jakarta Timur dan harus naik TransJakarta ke Blok M, dijemput, kencan, dan pulangnya diantar. Kalau dia jemput saya ke Jakarta Timur, bye aja bisa-bisa pulang subuh. Then, mama si (mantan) pacar pernah bilang, ‘waduh prima kamu mandiri sekali, sampai kelihatannya kamu engga butuh lelaki.’ Glek. Padahal saya bukan mikir apa-apa, hanya masalah efisiensi aja.

And after all this time, I finally know my problem. Deep down inside my heart, I am afraid that falling in love and being in a relationship make me lost my independence. I hate being dependent on somebody, because I don’t like being powerless. Bahkan saya bisa bilang saya jarang sekali menggantungkan diri kepada orangtua sejak kuliah, and it feels so hard for me to text them, ‘Mama ada rezeki lebih? Kakak lagi butuh sesuatu.’  I can’t imagine doing it to a man! 

Kemarin malam saya berbincang dengan sahabat saya, Titasya, dan dia bilang one day I will fall to somebody who knows that I’m tired of being a single fighter. 

"It’s not about flower. It’s about he know you working so hard, and surprisingly pick you up, because he know you will be come home late, starving. And he bring a bread instead of flower because you know we can’t eat flower. It’s just someone who will love you with every messy things in your life. He will ask you to take some rest. And wait you to wake up even he already arrive in front of your house. Because he know you need sleep."

It’s been long time. And although I don’t like to admit it, I miss those kind of little things. Maybe having someone to talk to at the end of the day will be good. Maybe seen as weak and helpless, and then receiving support from someone who think you are still a great person after all, will giving you more motivation to move forward in the next day. Maybe, just maybe, all those things will be meaningful memories even though we're not meant to be together and should be apart after some times. 

And that’s how I will close this post. What will I do if I weren’t afraid? Open my heart and fall in love again, that will be the answer.  

Love,
Prima

4 comments:

  1. hehe, walo gagal yang penting pernah nyoba, mba Prima. seenggaknya kita jadi tahu kemampuan kita sampai mana, biar tuntas rasa penasarannya. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe, iya sebenarnya bukan hanya karena penasaran tapi I'm happy that I tried :)

      Delete
  2. yg point ke tiga itu... ah, aku inget...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...