Hari jumat dua minggu yang lalu, saya terpaksa pergi ke kampus dengan menggunakan ojek. Biasanya sih, saya menggunakan ojek dari rumah (SMS ke Pak Ojek terus minta dijemput) hanya sampai terminal TransJogja Condongcatur, lalu lanjut dengan TransJogja sampai halte dekat kampus. Tapi hari itu, saya harus mengejar sesi konsultasi dengan psikolog, jadi saya meminta ojeknya mengantarkan saya langsung ke kampus.
Saya sempat menawar harga layanan Pak Ojek tersebut, dari yang seharusnya Rp. 30.000,00 akhirnya turun jadi Rp. 25.000,00. Lumayan, pikir saya. Bisa buat beli milk tea di kantin – padahal harganya Rp. 8.000,00 dan ternyata rasanya tidak terlalu enak. Weks.
Tapi kemudian saya sedikit merasa bersalah. Anggap saja menjemput saya dari rumah, mengantar ke kampus, dan kembali lagi ke pool dia butuh satu liter bensin; jadi paling tidak dia hanya menerima sekitar Rp. 17.000,00. Memang sih, dia pasti sudah menghitung dengan seksama resiko pekerjaannya, tapi kalau mau jujur, dapat apa sih dari uang segitu?
Saya jadi teringat ketika saya mendampingi siswa Stamford American International School, Singapore, pada kunjungan mereka ke Yogyakarta bulan Oktober. Waktu itu mereka melakukan Jogja Race dan ada challenge yang harus mereka selesaikan. Salah satunya, pergi ke pasar, membeli beberapa barang dengan harga yang semurah mungkin. Hmmm, lebih tepatnya, dengan nominal uang x harus bisa mendapatkan barang sebanyak-banyaknya. Nantinya, poin yang mereka dapatkan akan berbanding lurus dengan jumlah barang.
Artinya, mereka harus mencoba menawar harga kan. Saya sempat mendampingi dua kelompok. Yang pertama sepakat untuk membeli cemilan, jadi pada akhirnya mereka tidak perlu menawar harga – karena barang yang mereka beli sudah cukup variatif. Kelompok kedua, berdebat ngalor ngidul dan memutuskan melewatkan tantangan tersebut. Tapi, pada saat kami hampir mendekati akhir perjalanan, beberapa dari mereka tiba-tiba ingin membeli sesuatu, termasuk mencoba menawar harganya.
Kemudian, mereka berpikir untuk membeli pernak-pernik yang dijual di dekat pintu Keraton. Namanya juga anak kecil, mereka masih terus berdebat tentang berapa banyak uang yang ingin mereka habiskan. Sampai pada suatu titik, saya bertanya, “memangnya mau nawar berapa?” Paling juga bedanya lima ribu-sepuluh ribu.
Untunglah kemudian guru mereka – kalau ga salah namanya Mr. Anderson – menengahi. He said something I won't forget forever, “Guys, guys! Will ten thousand worth much more for you all, or for them?” Sepuluh ribu itu bakal lebih berharga buat kalian, atau buat mereka (pedagang)?
Saya terdiam. Mereka semua terperangah, tidak lagi berdebat. Sepuluh ribu, buat kita – apalagi buat anak-anak ini yang notabene bayar sekitar SGD1500 (lebih sih...) untuk ikut program di Yogyakarta – insyaAllah tidak ada apa-apanya. Tapi buat para pedagang, barangkali sepuluh ribu sangat berguna untuk menambal kebutuhan hidup mereka hari itu.
Kembali lagi ke kasus saya dan Pak Ojek. Iya, Pak Ojek pasti sudah mikir berapa keuntungan bersih dia, dari uang yang dia dapatkan dikurangi bensin, perawatan motor, uang makan, uang rokok, dan lain-lain... Sama juga dengan para pedagang, mereka pasti sudah memperhitungkan kulakan, transportasi, sewa lapak, tapi...sepuluh ribu gitu lhoh.
Jadi, lain kali, kalau lima ribu atau sepuluh ribu tidak berpotensi membuat kita kaya mendadak – atau sebaliknya, miskin mendadak – jika boleh saya menyarankan, ikhlaskan saja. Semoga dengan demikian, Allah berkenan menambah keberkahan perjalanan kita, atau kegunaan barang yang kita beli.
InsyaAllah, amin.
Dari yang sedang menasehati diri sendiri,
Prima
Saya sempat menawar harga layanan Pak Ojek tersebut, dari yang seharusnya Rp. 30.000,00 akhirnya turun jadi Rp. 25.000,00. Lumayan, pikir saya. Bisa buat beli milk tea di kantin – padahal harganya Rp. 8.000,00 dan ternyata rasanya tidak terlalu enak. Weks.
Tapi kemudian saya sedikit merasa bersalah. Anggap saja menjemput saya dari rumah, mengantar ke kampus, dan kembali lagi ke pool dia butuh satu liter bensin; jadi paling tidak dia hanya menerima sekitar Rp. 17.000,00. Memang sih, dia pasti sudah menghitung dengan seksama resiko pekerjaannya, tapi kalau mau jujur, dapat apa sih dari uang segitu?
Saya jadi teringat ketika saya mendampingi siswa Stamford American International School, Singapore, pada kunjungan mereka ke Yogyakarta bulan Oktober. Waktu itu mereka melakukan Jogja Race dan ada challenge yang harus mereka selesaikan. Salah satunya, pergi ke pasar, membeli beberapa barang dengan harga yang semurah mungkin. Hmmm, lebih tepatnya, dengan nominal uang x harus bisa mendapatkan barang sebanyak-banyaknya. Nantinya, poin yang mereka dapatkan akan berbanding lurus dengan jumlah barang.
Artinya, mereka harus mencoba menawar harga kan. Saya sempat mendampingi dua kelompok. Yang pertama sepakat untuk membeli cemilan, jadi pada akhirnya mereka tidak perlu menawar harga – karena barang yang mereka beli sudah cukup variatif. Kelompok kedua, berdebat ngalor ngidul dan memutuskan melewatkan tantangan tersebut. Tapi, pada saat kami hampir mendekati akhir perjalanan, beberapa dari mereka tiba-tiba ingin membeli sesuatu, termasuk mencoba menawar harganya.
Kemudian, mereka berpikir untuk membeli pernak-pernik yang dijual di dekat pintu Keraton. Namanya juga anak kecil, mereka masih terus berdebat tentang berapa banyak uang yang ingin mereka habiskan. Sampai pada suatu titik, saya bertanya, “memangnya mau nawar berapa?” Paling juga bedanya lima ribu-sepuluh ribu.
Untunglah kemudian guru mereka – kalau ga salah namanya Mr. Anderson – menengahi. He said something I won't forget forever, “Guys, guys! Will ten thousand worth much more for you all, or for them?” Sepuluh ribu itu bakal lebih berharga buat kalian, atau buat mereka (pedagang)?
Saya terdiam. Mereka semua terperangah, tidak lagi berdebat. Sepuluh ribu, buat kita – apalagi buat anak-anak ini yang notabene bayar sekitar SGD1500 (lebih sih...) untuk ikut program di Yogyakarta – insyaAllah tidak ada apa-apanya. Tapi buat para pedagang, barangkali sepuluh ribu sangat berguna untuk menambal kebutuhan hidup mereka hari itu.
Kembali lagi ke kasus saya dan Pak Ojek. Iya, Pak Ojek pasti sudah mikir berapa keuntungan bersih dia, dari uang yang dia dapatkan dikurangi bensin, perawatan motor, uang makan, uang rokok, dan lain-lain... Sama juga dengan para pedagang, mereka pasti sudah memperhitungkan kulakan, transportasi, sewa lapak, tapi...sepuluh ribu gitu lhoh.
Jadi, lain kali, kalau lima ribu atau sepuluh ribu tidak berpotensi membuat kita kaya mendadak – atau sebaliknya, miskin mendadak – jika boleh saya menyarankan, ikhlaskan saja. Semoga dengan demikian, Allah berkenan menambah keberkahan perjalanan kita, atau kegunaan barang yang kita beli.
InsyaAllah, amin.
Dari yang sedang menasehati diri sendiri,
Prima
Sama juga ketika menawar harga barang di pasar, mbak. Sayur-sayuran, mungkin.
ReplyDeleteOrangtua saya anak petani, mereka pernah merasakan 'pedihnya' bercocok tanam bersama kakek-nenek. Sejak kecil saya ditanamkan pola pikir 'sayur gak usah ditawar' dengan alasan untungnya aja sudah sedikit, masa mau ditawar lagi. Kadang kalau melihat orang-orang yang menawar harga sayur mati-matian (padahal cuma 500 perak), suka sedih sendiri. Ingat orangtua soalnya.
Nah iya bener, kalau ngerasain yang jadi pekerja/pedagang, trenyuh-nya lebih-lebih. Padahal 'cuma' 500 ini lho ya, kok segitunya :(
Deleteaku juga kalo mau nawar berpikir berkali-kali mbak... ya gitu, uang segitu buat mereka berharga bangetttt... sama kita paling (cuma) buat jajan..
ReplyDeleteiyaaaaa, aku tho, duitnya berakhir di kantin. zzz
Delete