I can't believe that there is a book/movie representing what I really think about polygamy exactly the way I think. Okay, bukan masalah latar belakang atau alasan melakukan poligami-nya, tapi 'bentuk' poligami sebagai 'solusi' yang ditawarkan untuk permasalahan pernikahan tersebut. Mungkin hal ini yang menyebabkan saya tidak menangis saat menonton – padahal filmnya mengharu-biru banget, karena penggambaran poligami-nya seperti apa yang ada di pikiran saya.
Air Mata Surga bercerita tentang rumah tangga Fisha (Dewi Sandra) dan Fikri (Richard Kevin) yang tak kunjung dikaruniai anak. Maka setelah prahara dengan mamanya Fikri, mereka memutuskan bahwa poligami adalah jalan terbaik untuk kebahagiaan.........tapi pertanyaannya, kebahagiaan siapa?
Dulu, saya hampir selalu berpikir bahwa yang namanya menikah itu supaya punya keturunan. Titik. Secara memang Rasulullah mensabdakan agar muslim memperbanyak keturunan dan meliputi dunia dengan orang-orang yang saleh.
Tapi kemudian, ketika saya beranjak dewasa, saya bertemu dengan orang-orang yang secara dewasa menunda untuk punya anak, atau mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. Beda ya, dengan tidak mampu atau tidak bisa punya anak; tetapi kelompok ini berpikir dengan serius tentang pola asuh, pendidikan, masa depan, dan sebagainya. Saya tidak merasa perlu untuk menghakimi mereka, karena kita semua pasti punya sebuah keputusan besar dalam hidup yang sudah dipertimbangkan dengan matang. Lagipula, siapalah kita, maksa mereka punya anak? Memang kalau mereka sudah punya anak, kita mau membantu mengurusi? Engga kan, so just keep calm and take care of your own business, please.
Yang saya sesalkan, ketika 'tidak bisa punya anak' ternyata adalah suatu 'berkah' yang Allah titipkan kepada suatu pasangan; lalu salah satu dari mereka (biasanya suami) menggunakannya untuk menyakiti pasangannya (biasanya istri). Ya iyalah menyakiti bok, memangnya perempuan itu kucing??? Cuma buat dititipi benih doang???
The thing is, coba pikirkan perasaan perempuan tersebut. Betul, hanya perempuan yang memiliki keistimewaan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui – tapi bukan berarti hal itu bisa menjadi justifikasi, bahwa ketika seorang perempuan tidak bisa melakukannya, ia tidak utuh sebagai seorang perempuan. TIDAK. Sama sekali TIDAK. Seorang perempuan tetaplah perempuan, terlepas dari apa yang bisa dan ia bisa lakukan.
Sebaliknya, jika yang memiliki masalah adalah laki-laki, mungkinkah perempuan mendapat 'hak pilih'-nya untuk bercerai dan mencari laki-laki yang 'lebih baik'? Saya yakin kebanyakan akan meminta sang perempuan untuk bersabar. Karena semua orang tahu, seorang laki-laki tetaplah laki-laki, terlepas dari apa yang bisa dan ia bisa lakukan.
Kembali ke film Air Mata Surga, film yang banyak mengambil setting di Yogyakarta ini, mungkin sebaiknya ditonton oleh yang sudah membaca bukunya. Untuk saya dan teman-teman yang mendapat tiket nonton gratis dari Wardah, dari awal hingga tengah film rasanya bingung banget. Ini siapa ya? Jadi ceritanya apa? Hubungannya ini dan ini apa? Kok bisa karakternya melakukan hal ini? Kebetulan kami memang tidak mau googling terlebih dulu, supaya surprise gitu. Huehehehe.
Hal paling menghibur dari film ini justru baju-baju Dewi Sandra yang masyaAllah bagus-bagus! Kami sampai nunggu kredit selesai untuk menemukan brand yang mensponsori :))) Morgan Oey juga berakting dengan luar biasa, bahkan seorang teman nyeletuk, “duh dia pantes banget jadi orang Islam.” Hahahahahaha, jangan diambil hati ya Ko!
Intinya, film ini saya rekomendasikan sebagai bahan diskusi dengan suami atau calon pasangan. Bukannya berpikir yang tidak-tidak, tapi hanya agar kita lebih menghargai dan merasa empati pada orang-orang di sekitar kita yang mungkin mengalaminya. Semoga, Allah selalu membantu kita untuk berprasangka baik pada orang lain - dan alih-alih mencerca keadaannya – mendoakan yang lebih baik untuknya.
Salam,
Prima
Air Mata Surga bercerita tentang rumah tangga Fisha (Dewi Sandra) dan Fikri (Richard Kevin) yang tak kunjung dikaruniai anak. Maka setelah prahara dengan mamanya Fikri, mereka memutuskan bahwa poligami adalah jalan terbaik untuk kebahagiaan.........tapi pertanyaannya, kebahagiaan siapa?
Dulu, saya hampir selalu berpikir bahwa yang namanya menikah itu supaya punya keturunan. Titik. Secara memang Rasulullah mensabdakan agar muslim memperbanyak keturunan dan meliputi dunia dengan orang-orang yang saleh.
Tapi kemudian, ketika saya beranjak dewasa, saya bertemu dengan orang-orang yang secara dewasa menunda untuk punya anak, atau mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak. Beda ya, dengan tidak mampu atau tidak bisa punya anak; tetapi kelompok ini berpikir dengan serius tentang pola asuh, pendidikan, masa depan, dan sebagainya. Saya tidak merasa perlu untuk menghakimi mereka, karena kita semua pasti punya sebuah keputusan besar dalam hidup yang sudah dipertimbangkan dengan matang. Lagipula, siapalah kita, maksa mereka punya anak? Memang kalau mereka sudah punya anak, kita mau membantu mengurusi? Engga kan, so just keep calm and take care of your own business, please.
Yang saya sesalkan, ketika 'tidak bisa punya anak' ternyata adalah suatu 'berkah' yang Allah titipkan kepada suatu pasangan; lalu salah satu dari mereka (biasanya suami) menggunakannya untuk menyakiti pasangannya (biasanya istri). Ya iyalah menyakiti bok, memangnya perempuan itu kucing??? Cuma buat dititipi benih doang???
The thing is, coba pikirkan perasaan perempuan tersebut. Betul, hanya perempuan yang memiliki keistimewaan untuk hamil, melahirkan, dan menyusui – tapi bukan berarti hal itu bisa menjadi justifikasi, bahwa ketika seorang perempuan tidak bisa melakukannya, ia tidak utuh sebagai seorang perempuan. TIDAK. Sama sekali TIDAK. Seorang perempuan tetaplah perempuan, terlepas dari apa yang bisa dan ia bisa lakukan.
Sebaliknya, jika yang memiliki masalah adalah laki-laki, mungkinkah perempuan mendapat 'hak pilih'-nya untuk bercerai dan mencari laki-laki yang 'lebih baik'? Saya yakin kebanyakan akan meminta sang perempuan untuk bersabar. Karena semua orang tahu, seorang laki-laki tetaplah laki-laki, terlepas dari apa yang bisa dan ia bisa lakukan.
Kembali ke film Air Mata Surga, film yang banyak mengambil setting di Yogyakarta ini, mungkin sebaiknya ditonton oleh yang sudah membaca bukunya. Untuk saya dan teman-teman yang mendapat tiket nonton gratis dari Wardah, dari awal hingga tengah film rasanya bingung banget. Ini siapa ya? Jadi ceritanya apa? Hubungannya ini dan ini apa? Kok bisa karakternya melakukan hal ini? Kebetulan kami memang tidak mau googling terlebih dulu, supaya surprise gitu. Huehehehe.
Hal paling menghibur dari film ini justru baju-baju Dewi Sandra yang masyaAllah bagus-bagus! Kami sampai nunggu kredit selesai untuk menemukan brand yang mensponsori :))) Morgan Oey juga berakting dengan luar biasa, bahkan seorang teman nyeletuk, “duh dia pantes banget jadi orang Islam.” Hahahahahaha, jangan diambil hati ya Ko!
Intinya, film ini saya rekomendasikan sebagai bahan diskusi dengan suami atau calon pasangan. Bukannya berpikir yang tidak-tidak, tapi hanya agar kita lebih menghargai dan merasa empati pada orang-orang di sekitar kita yang mungkin mengalaminya. Semoga, Allah selalu membantu kita untuk berprasangka baik pada orang lain - dan alih-alih mencerca keadaannya – mendoakan yang lebih baik untuknya.
Salam,
Prima
pengen nonton deh...
ReplyDeletewahh pengen banget nonton film ini ^_^
ReplyDeleteFilmnya bagus ya Mbak ^^
ReplyDelete