(Post ini tidak bermaksud untuk SARA atau meninggikan/merendahkan golongan tertentu. It's just something I learned which I think might be good for you too.)
Seumur hidup, saya sering melihat orang Indonesia yang menganggap bule itu lebih keren, lebih hebat, lebih segalanya – di segala aspek kehidupan pula. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh pengaruh film Hollywood, atau mungkin pergaulan yang menciptakan hal demikian. Mungkin juga, kebetulan saja jumlah mereka di Indonesia tidak terlalu banyak – jadi kita ketemunya bule yang baik-baik pula.
Saya sendiri, hampir selalu memandang mereka sama dengan orang Indonesia: ada yang baik, ada yang jahat; ada yang kaya, ada yang miskin; ada yang menyenangkan, ada yang menyebalkan sampai pingin bikin kita melaporkan mereka ke imigrasi supaya dideportasi. Hehe. Ketika saya bekerja di sebuah start-up yang lebih banyak melayani klien bule daripada klien Indonesia, pengalaman saya memberikan kesimpulan yang sama: ada klien yang sangat koperatif, sebaliknya, ada klien yang ingin banget saya santet saking menurut saya, mereka tuh psycho.
Tapi, pengalaman bekerja untuk bule sepertinya sedikit membuat saya minder. Padahal kalau dipikir-pikir, seharusnya saya bangga dong, dari sekian banyak studio animasi di dunia ini, mereka memilih untuk bekerja dengan kami. Hanya saja, mungkin saya terlalu menghayati sebuah peribahasa lama: pembeli adalah raja – kepercayaan diri saya jadi menurun.
Ketika Kak Ochie menunjuk saya sebagai MC Supervisor untuk UWRF, saya deg-degan tidak karuan, hampir tidak sadarkan diri, dan menggelepar bak cacing kepanasan (ini apa.....). Satu hal yang membuat saya sedikit khawatir adalah, I will work with bule! Like, in the same position! Wow! I will also lead a bule in my team! Another wow! #lebaylagi
Terlebih, baru kali ini divisi MC dipimpin oleh orang Indonesia, saya pula. Yang ga pernah nge-MC kecuali di UWRF pula. It IS a big deal. Semua mata akan tertuju pada saya...macem Miss Indonesia gitu #KibasJilbab
Alhamdulillah, overall semuanya lancar. My team made only ONE mistake along the festival, make it one of the best divisions. Bangganya bukan main :') Meski demikian, kami sempat mengalami konflik kecil dengan dua divisi lain karena salah paham. Kedua divisi tersebut, dipimpin oleh bule. Dan yang mengalami konflik dengan kami pun, bule. Saat itu, saya sempat keringat dingin. Duh aduh, gimana nih ngomongnya? Untunglah, mereka sangat fair, terbuka, dan tetap mengapresiasi divisi MC. Sesudahnya, saya merasa kepercayaan diri saya dalam menghadapi bule kembali meningkat. Hooray!
So, kalau sister hampir ga percaya, masa sih, prima pernah ngerasa ga pede? Jawabannya: sering! Tapi saya mengalihkan pikiran negatif itu menjadi motivasi agar saya do my best. Memang hasilnya ga selalu seperti yang kita harapkan, tapi perasaan bahwa kita telah menyelesaikan tanggung jawab...puasnya tuh disini. *nunjuk dada *cieh
Keep calm and stay confident,
Prima
Seumur hidup, saya sering melihat orang Indonesia yang menganggap bule itu lebih keren, lebih hebat, lebih segalanya – di segala aspek kehidupan pula. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh pengaruh film Hollywood, atau mungkin pergaulan yang menciptakan hal demikian. Mungkin juga, kebetulan saja jumlah mereka di Indonesia tidak terlalu banyak – jadi kita ketemunya bule yang baik-baik pula.
Saya sendiri, hampir selalu memandang mereka sama dengan orang Indonesia: ada yang baik, ada yang jahat; ada yang kaya, ada yang miskin; ada yang menyenangkan, ada yang menyebalkan sampai pingin bikin kita melaporkan mereka ke imigrasi supaya dideportasi. Hehe. Ketika saya bekerja di sebuah start-up yang lebih banyak melayani klien bule daripada klien Indonesia, pengalaman saya memberikan kesimpulan yang sama: ada klien yang sangat koperatif, sebaliknya, ada klien yang ingin banget saya santet saking menurut saya, mereka tuh psycho.
Tapi, pengalaman bekerja untuk bule sepertinya sedikit membuat saya minder. Padahal kalau dipikir-pikir, seharusnya saya bangga dong, dari sekian banyak studio animasi di dunia ini, mereka memilih untuk bekerja dengan kami. Hanya saja, mungkin saya terlalu menghayati sebuah peribahasa lama: pembeli adalah raja – kepercayaan diri saya jadi menurun.
Ketika Kak Ochie menunjuk saya sebagai MC Supervisor untuk UWRF, saya deg-degan tidak karuan, hampir tidak sadarkan diri, dan menggelepar bak cacing kepanasan (ini apa.....). Satu hal yang membuat saya sedikit khawatir adalah, I will work with bule! Like, in the same position! Wow! I will also lead a bule in my team! Another wow! #lebaylagi
Terlebih, baru kali ini divisi MC dipimpin oleh orang Indonesia, saya pula. Yang ga pernah nge-MC kecuali di UWRF pula. It IS a big deal. Semua mata akan tertuju pada saya...macem Miss Indonesia gitu #KibasJilbab
Alhamdulillah, overall semuanya lancar. My team made only ONE mistake along the festival, make it one of the best divisions. Bangganya bukan main :') Meski demikian, kami sempat mengalami konflik kecil dengan dua divisi lain karena salah paham. Kedua divisi tersebut, dipimpin oleh bule. Dan yang mengalami konflik dengan kami pun, bule. Saat itu, saya sempat keringat dingin. Duh aduh, gimana nih ngomongnya? Untunglah, mereka sangat fair, terbuka, dan tetap mengapresiasi divisi MC. Sesudahnya, saya merasa kepercayaan diri saya dalam menghadapi bule kembali meningkat. Hooray!
So, kalau sister hampir ga percaya, masa sih, prima pernah ngerasa ga pede? Jawabannya: sering! Tapi saya mengalihkan pikiran negatif itu menjadi motivasi agar saya do my best. Memang hasilnya ga selalu seperti yang kita harapkan, tapi perasaan bahwa kita telah menyelesaikan tanggung jawab...puasnya tuh disini. *nunjuk dada *cieh
Keep calm and stay confident,
Prima
No comments:
Post a Comment