Saya kenal Tony ketika bekerja untuk sebuah project kerjasama GEO FISIPOL UGM dan JUMP! Foundation Oktober tahun lalu. Ternyata kami dipertemukan lagi saat seleksi untuk beasiswa Tokyo Foundation (dan alhamdulillah – saya mendapatkannya). Sementara Yoana, saya kenal dari Asia Pacific Regional Rotaract Conference (APRRC) 2016 dan kerja bareng lagi di acaranya JUMP! Foundation tersebut. Saya, Tony, dan Yoana saling mengenal satu sama lain sebagai anak muda yang aktif, berprestasi (ceileh), gemar traveling (mereka sih, saya mah apa atuh...), senang mencari kesempatan untuk berpartisipasi di event-event tingkat internasional, dan kadang-kadang merekomendasikan om-om (eh). Intinya sih, kami punya tingkat keinginan untuk eksis yang diatas rata-rata orang normal pada umumnya.
That’s why ketika Tony ngajakin saya dan Yoana ikutan jadi Liaison Officer di East Asia Inter-regional Tourism Forum (EATOF) 2016, kami langsung bilang ‘oke’ tanpa pikir panjang. Kapan lagi jadi LO untuk gubernur/wakil gubernur negara-negara tetangga? Gubernur sendiri, baik Pak Sultan maupun Pakde Karwo, saya belum pernah ketemu. Nah, pingin tahu dong, apa saja yang terjadi selama empat hari yang melelahkan itu? Here we go.
Apa sih EATOF itu?
“East Asia Inter-Regional Tourism Forum was founded in Gangwon Province, Korea in 2000 in order to pursue for peace and prosperity through exchanges in diverse fields especially on tourism.”
Intinya EATOF adalah organisasi yang dibentuk oleh 12 (perasaan kok cuma 10 yak) provinsi dari negara-negara di Asia Timur, dimana mereka bekerjasama untuk saling mempromosikan pariwisata provinsi tersebut.
Mengapa harus bekerjasama? Apa organisasi regional seperti ASEAN kurang efektif?
Engga tahu, saya engga bisa jawab. Tapi gini, yang namanya promosi pariwisata itu MAHAL BUKAN MAEN. Ini kalau kita ngomongin promosi secara ‘konvensional’ seperti bikin iklan, brosur, dan sebagainya. Belum lagi kalau setiap daerah harus ngirim delegasi pertukaran budaya. Tentu saja pengeluarannya tidak sedikit. Apalagi, daerah-daerah ini harus bisa berdiri secara mandiri. Okelah pemerintah negaranya punya program promosi pariwisata, tapi gimana caranya untuk memaksimalkan potensi daerah? Kerjasama dengan daerah lain (dan negara lain) jadi solusi.
Di EATOF, saya sebagai masyarakat awam yang sok tau, melihat kerjasama seperti ini ada kelebihan dan kekurangannya. Bagi provinsi seperti Gangwon, Korea; atau Tottori, Jepang; bahkan untuk Yogyakarta, Indonesia; it won’t be hard to promote. Okelah, mungkin beberapa dari kita cukup familiar sama Siem Reap, Kamboja (terutama karena saya udah pernah kesana); atau Sarawak, Malaysia...tapi gimana dengan Tuv, Mongolia; Quanh Ninh, Vietnam dan beberapa daerah lain? Jadi keuntungan buat provinsi yang ‘kurang terkenal’ adalah bisa ‘mendompleng’ keterkenalan provinsi lain.
Di sisi lain, ini pemikiran pribadi saya aja sih, yang sempat saya obrolin sama delegasi Luang Prabang, Laos. Tidak semua anggota EATOF punya anggaran dan prioritas yang sama dalam hal pariwisata. Terus, apa semua anggota sudah punya infrastruktur yang bisa mendukung untuk peningkatan pariwisata? Jadi, semuanya kembali lagi ke usaha masing-masing daerah dalam memanfaatkan kerjasama ini. Yah, sekadar wacana aja, but this was another thing that makes me feel grateful. Alhamdulillah for the opportunity to learn from a high-level forum directly. Siapa tahu saya beneran jadi diplomat sesudah lulus S2. Amiiin.
And then, acaranya apa aja Prim?
That’s why ketika Tony ngajakin saya dan Yoana ikutan jadi Liaison Officer di East Asia Inter-regional Tourism Forum (EATOF) 2016, kami langsung bilang ‘oke’ tanpa pikir panjang. Kapan lagi jadi LO untuk gubernur/wakil gubernur negara-negara tetangga? Gubernur sendiri, baik Pak Sultan maupun Pakde Karwo, saya belum pernah ketemu. Nah, pingin tahu dong, apa saja yang terjadi selama empat hari yang melelahkan itu? Here we go.
Apa sih EATOF itu?
“East Asia Inter-Regional Tourism Forum was founded in Gangwon Province, Korea in 2000 in order to pursue for peace and prosperity through exchanges in diverse fields especially on tourism.”
Intinya EATOF adalah organisasi yang dibentuk oleh 12 (perasaan kok cuma 10 yak) provinsi dari negara-negara di Asia Timur, dimana mereka bekerjasama untuk saling mempromosikan pariwisata provinsi tersebut.
Mengapa harus bekerjasama? Apa organisasi regional seperti ASEAN kurang efektif?
Engga tahu, saya engga bisa jawab. Tapi gini, yang namanya promosi pariwisata itu MAHAL BUKAN MAEN. Ini kalau kita ngomongin promosi secara ‘konvensional’ seperti bikin iklan, brosur, dan sebagainya. Belum lagi kalau setiap daerah harus ngirim delegasi pertukaran budaya. Tentu saja pengeluarannya tidak sedikit. Apalagi, daerah-daerah ini harus bisa berdiri secara mandiri. Okelah pemerintah negaranya punya program promosi pariwisata, tapi gimana caranya untuk memaksimalkan potensi daerah? Kerjasama dengan daerah lain (dan negara lain) jadi solusi.
Di EATOF, saya sebagai masyarakat awam yang sok tau, melihat kerjasama seperti ini ada kelebihan dan kekurangannya. Bagi provinsi seperti Gangwon, Korea; atau Tottori, Jepang; bahkan untuk Yogyakarta, Indonesia; it won’t be hard to promote. Okelah, mungkin beberapa dari kita cukup familiar sama Siem Reap, Kamboja (terutama karena saya udah pernah kesana); atau Sarawak, Malaysia...tapi gimana dengan Tuv, Mongolia; Quanh Ninh, Vietnam dan beberapa daerah lain? Jadi keuntungan buat provinsi yang ‘kurang terkenal’ adalah bisa ‘mendompleng’ keterkenalan provinsi lain.
Di sisi lain, ini pemikiran pribadi saya aja sih, yang sempat saya obrolin sama delegasi Luang Prabang, Laos. Tidak semua anggota EATOF punya anggaran dan prioritas yang sama dalam hal pariwisata. Terus, apa semua anggota sudah punya infrastruktur yang bisa mendukung untuk peningkatan pariwisata? Jadi, semuanya kembali lagi ke usaha masing-masing daerah dalam memanfaatkan kerjasama ini. Yah, sekadar wacana aja, but this was another thing that makes me feel grateful. Alhamdulillah for the opportunity to learn from a high-level forum directly. Siapa tahu saya beneran jadi diplomat sesudah lulus S2. Amiiin.
And then, acaranya apa aja Prim?
Kamis, 20 Oktober 2016
Delegasi Laos tiba di Bandara Adi Sutjipto pada pukul 06.50. Jam 6 teng saya sudah ‘nangkring’ di bandara dengan beberapa panitia inti. Awalnya saya deg-deg-an mau ngejemput tamu VIP, ternyata Bapak Wakil Gubernur Luang Prabang lewat terminal kedatangan yang biasa. Hari ini delegasi Laos dijadwalkan untuk mempersiapkan booth kuliner dan travel mart. Ternyata, masalah pertama muncul saat ada sedikit kesalahpahaman antara delegasi dengan sekretariat. Intinya, delegasi tidak dapat booth di travel mart. Padahal itu setengah isi luggage mereka adalah brosur dan alat-alat promosi. Saya aja yang bukan delegasi pingin nangis dengernya. Akhirnya setelah negosiasi kesana kemari, mereka dapat booth tapi harus nunggu sampai sore. Hari itu, kami muncul di acara makan malam dalam keadaan awut-awutan, keringetan, tapi sedikit lega karena booth selesai ditata. Fiuh.
Jum’at, 21 Oktober 2016
Hari ini adalah inti dari acara EATOF. Pada pagi hari, kami semua pergi ke JEC untuk opening ceremony. Disini Gubernur Gangwon kasih speech dan oh my God, he is so funny! Sementara chef dan delegasi dari Information, Culture and Tourism Department in Luang Prabang ‘ditinggal’ di JEC; delegasi yang mendampingi Wakil Gubernur ditransfer (ini bukan ngomongin duit) ke Hotel Royal Ambarrukmo. Acaranya Courtesy Call dan Standing Committee Meeting (dimana saya jadi notulen a.k.a jagain powerpoint). Sebelumnya, para pejabat makan siang dulu sama Bapak Gubernur, Sultan Hamengkubuwono X. Saya yang harus bolak-balik kayak setrikaan karena ngurusin ini itu jadi ketinggalan waktu Bapak Gubernur datang.
Oh ya, paginya saya sempat mengantar delegasi peserta Academic Symposium ke Eastparc Hotel. Dan profesor dari Hanyang University ganteng banget! Sayang juga engga sempat selfie soalnya saya kan pemalu. Bwakakakak.
Sabtu, 22 Oktober 2016
Pada pagi hari, delegasi berpisah lagi – ada yang di JEC dan ada yang ke Royal Ambarrukmo. Saya ‘mangkal’ di JEC karena ikut bantu ngebagiin brosur Luang Prabang. Yang mana akhirnya malah saya sendiri engga dapat satu pun brosur!!!!! Baru inget waktu udah ngantar mereka ke bandara -_____-
Setelah makan siang, kami ke Tebing Breksi untuk menanam pohon, pulang, dan makan malam di Candi Prambanan. Hujan yang turun dengan romantisnya tidak mengganggu kami menonton performance dari Sarawak yang ASLIK KEREN PARAH dan Ramayana versi kontemporer. Jadi ada lagu-lagunya gitu, terus ada kombinasi sama modern dance. Sama bagusnya sih dengan yang ‘asli’, dan yang ini lebih mudah dimengerti (buat orang Indonesia). Malam ini saya menginap di hotel karena punggung serasa sudah mau patah dan saya tidak sanggup lagi untuk pulang.
Minggu, 23 Oktober 2016
Post tour day! Delegasi Laos memutuskan untuk tidak ikut tur bersama rombongan lainnya. Pukul 08.00 kami menuju Candi Borobudur. Selain jalan-jalan, mereka menyempatkan diri untuk sembahyang. Tapi disini kami juga tetap ketemu delegasi lain seperti Sarawak, Cebu, dan Tuv. Turun dari Borobudur, hujan turun dengan derasnya! Huhuhu, padahal mereka kan pingin ke pantai. Mungkin sister tahu kalau Laos terhimpit oleh daratan jadi mereka tidak punya pantai atau laut. Inilah alasan kenapa mereka tidak ingin lihat pembuatan perak atau yang lain, yang penting pantai! Menunggu hujan reda, kami mampir ke Tirtodipuran untuk lihat pembuatan batik. Saya sudah pernah kesini bersama teman-teman finalis World Muslimah Award 2014. Untungnya mereka engga bikin batik juga, soalnya bakal lama banget. Sekitar pukul 15.00, kami berangkat ke Pantai Parangtritis. Macet, engga, macet, engga. Alhamdulillah, jalanan lancar. Seeing them so happy like a child making me feel grateful, once again. Bersyukur banget jadi orang Indonesia yang punya semuanya, apalagi di Jogja yang punya gunung DAN pantai sekaligus. Hari ini ditutup dengan belanja di Malioboro Mall, sementara saya ngopi cantik (dan ganteng) sama Bapak Wakil Gubernur Luang Prabang.
Senin, 24 Oktober 2016
Dadah-dadah di bandara. Huhuhu. Baper deh.
Why Laos?
Ask the committee!!!!! Awalnya saya pikir saya bakal dapat Gangwon, Korea (karena saya bisa bahasa Korea dikit-dikit); atau Sarawak, Malaysia (secara saya satu-satunya LO berhijab); atau Siem Reap, Kamboja juga engga apa-apa deh. Tapi kalau saya pikir lagi, semuanya sudah diatur sama Allah. Jadi waktu #ThePrimTrip season 1 tahun 2014 lalu, saya pingin banget ke Luang Prabang. Ceritanya, pas saya di Angkor Wat, saya ketemu gerombolan turis Indonesia yang baru aja pulang dari Luang Prabang. Terus saya kesengsem gitu. Cuma duit udah habis bis bis. Bisa jual diri di Luang Prabang kalau maksa, itupun kalau ada yang mau beli. Hahahahaha.
Udah gitu saya ‘hanya’ dapat delegasi 10 orang, dan saya sempat mikir, “ya ampun, aku kan udah berpengalaman, cuma sedikit gini, lancar lah.” But at morning of the first day, saya langsung mengubah mindset. Engga boleh meremehkan, engga boleh menyepelekan. Terbukti, hari pertama ini kena masalah di travel mart, tapi alhamdulillah terselesaikan dengan baik.
So, kombinasi dari sedikitnya delegasi, rasa syukur yang mereka tunjukkan setiap harinya (seriously, they never complaint AT ALL), dan ‘bocor’-nya saya, menjadikan kami salah satu kelompok paling kompak. LO lain sampai nanya, “itu Laos engga pernah rame di grup, kok bisa?” Entahlah. To be honest, masalah di hari pertama itu yang mendekatkan kami. Bagaimana mereka melihat saya begitu total dalam membantu mereka, that’s what they told to their vice governor. Sampai mau diambil jadi menantu, sayang anak beliau masih baru masuk kuliah, hihihihihi.
This is it. The event might be imperfect in many ways, but I was so so lucky sometimes I can’t even believe it. Meskipun tidak dapat berkomunikasi, saya belajar dari sikap Bapak Wakil Gubernur Luang Prabang yang humble dan selalu penasaran. Beliau begitu terbuka dengan banyak hal, engga rempong (‘normal person,’ kalau kata delegasinya), dan engga sok pejabat. Beliau malah sering nanyain apa saya sudah makan, atau sudah ibadah (karena beberapa kali saya mendahulukan sholat daripada makan).
Thank you Tony for trusting me once again! Terima kasih Dispar sudah memilihkan Laos untuk saya. Now I know where to go for #ThePrimTrip season 2.
Sabaidi (salam dalam bahasa Laos),
Prima
P.S.: tunggu foto-fotonya di bagian 2 ya!
Waah telat kudunya sebelum ketemu kamu tadi sore aku udah baca postingan ini ya!
ReplyDeletemoment seperti ini, rutin atau hanya moment tertentu saja ya?
ReplyDeletethank