I actually didn’t mean to write anything that emphasize the fact I am getting older. Really. But I don’t know why, there have been a lot of incidents going on within the last days, and somehow it reminds me to stand still on what I believe in.
20 tahun-an yang lalu (sengaja menyamarkan umur saya :p), saat mama baru pulang dari ibadah haji:
20 tahun-an yang lalu (sengaja menyamarkan umur saya :p), saat mama baru pulang dari ibadah haji:
“Doa mama di tanah suci cuma satu Kak, supaya Allah tidak memisahkan kita berdua dari apapun. Cuma kamu milik mama satu-satunya, mama engga butuh apapun lagi di dunia ini, jangan pernah tinggalin mama ya Kak.”
2 tahun-an yang lalu, sebelum saya berangkat kuliah ke Yogyakarta:
“Mama ikhlas kakak pergi jauh dari mama, maaf kemarin mama sempat engga setuju kamu kerja dimana-mana, tapi sekarang mama tahu kamu harus mengembangkan sayap. Pergi Kak, pergi yang jauh.”
Kesannya kayak diusir gitu yak, dan aslinya omongan mama tuh ada juga kalimat seperti ini:
“Duh ini anak kok engga kawin-kawin sih, apa karena doa mama di tanah suci dulu ya. Kak, yuk umroh, mama mau doain supaya kita segera berpisah.”
Yah, ceritanya jadi lucu deh. Doa pertama itu terjadi karena pada saat itu mama sedang proses sidang perceraian dengan ayah. Namanya sidang perceraian kan pasti ada perebutan hak asuh anak. Waktu itu mama engga rela kalau hak asuh saya jatuh ke ayah (siapa juga ibu yang rela?), bahkan sama sekali tidak mempermasalahkan harta gono-gini. Most important thing was me, yang lain lewat.
Loncat ke hari Jum’at lalu, ketika saya sedang naik kereta dari Yogyakarta ke Surabaya. Di stasiun Jombang, seorang nenek yang sudah amat tua terlihat menuruni tangga kereta dengan susah payah. Tangan kirinya memegang tongkat, dan tangan kanannya menggenggam koper. Seusai mendapatkan pertolongan dari seorang pemuda, dia melanjutkan jalan kaki dengan perlahan ke arah pintu keluar stasiun. Seorang ibu yang duduk di sebelah saya – dan juga melihat pemandangan tersebut – langsung nyeletuk, “kasian banget ibu itu. Anaknya kemana tuh?”
#jleb
Omongannya yang bagai sembilu tak berhenti disitu. Dia bercerita kepada para penumpang yang duduk di sekitarnya tentang bagaimana anak-anaknya selalu memperhatikan dirinya. Dalam hati saya bergumam, ‘lha sekarang juga ibu pergi sendirian, naik kereta ekonomi pula.’ Belakangan saya baru tahu kalau seseorang yang duduk disebelah kirinya (saya di sebelah kanannya) adalah adiknya. Suasana menjadi semakin panas ketika si ibu itu memberikan kesimpulan, “memang kok, kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jaman.”
Saya pun jadi defensif dan langsung menimpali, “kita kan engga tahu Bu. Kalau misal ibu tadi itu memang pingin bikin kejutan gimana? Kalau sudah kangen banget sama cucunya tapi belum ada yang bisa jemput gimana? Kalau ternyata dia kebelet pulang ke rumahnya sendiri tapi belum ada yang bisa antar gimana?”
Semua kemungkinan itu ada karena nenek saya pun sering begitu. Kalau saya tahu nenek saya bepergian sendiri keluar kota, tentu saya akan memarahi ayah saya. Tapi ayah saya bukan pengangguran yang sedianya mampu mengantar-jemput nenek saya setiap waktu. Namun perlu dicatat, ayah saya selalu berusaha memprioritaskan keinginan ibunya jika memang ada kesempatan dan waktu. Alhamdulillah sekarang nenek saya hampir tidak pernah bepergian sendiri. Walaupun kadang harus sedikit ngambek karena tidak bisa pergi pada hari yang diinginkannya.
Si ibu yang tukang suudzon itu (eh saya juga jadi suudzon dong), justru memutarbalikkan keadaan dengan menginterogasi saya, “mbaknya sendiri ngapain? Mau kemana, dari mana? Ibunya dimana?” #yaelah #jakasembung
Saya pun menjawab dengan lantang, “saya dari Jogja mau ke Surabaya. Ibu saya single parent dengan dua anak, adik saya di pondok pesantren dan insyaAllah kepergian saya ke Jogja untuk sekolah sudah mendapat ridho darinya. Ibu saya orang yang mandiri dan punya kesibukannya sendiri. Anak-anaknya disuruh keluar dari rumah agar bisa melatih tanggungjawab.”
Ibu itu terdiam. Rasanya memang sulit untuk menjelaskan situasi ini. Meskipun jalannya harus berliku, namun saya bersyukur saya ‘dilepaskan’ oleh ibu saya. Berkebalikan dengan kebanyakan orangtua, mama saya menerima dengan legowo kalau kedua anaknya perempuan dan tidak bisa dijadikan ‘sandaran’. FYI, sepatutnya seorang ibu ‘ikut’ anak lelakinya di hari tua, akan tetapi biasanya justru ikut sama anak perempuannya karena takut berkonflik dengan menantu perempuan. Padahal anak perempuan wajib mengikuti suaminya, dan malah hal ini yang akan membawa orangtuanya ke surga.
Mama saya memahami betul hal ini. Bahkan mama pernah bilang, “kak, kalau kamu dan adik sudah menikah, mama mau tinggal di panti asuhan aja ya. Supaya sisa umur mama masih bisa berguna untuk orang lain.”
Mungkin sister akan bilang saya kejam banget, bahkan tidak berperikemanusiaan. Tapi saya jadi malah mengintrospeksi diri dan menanyakan kembali apa tujuan saya menikah. Saya tidak ingin menikah hanya karena takut kesepian dan sendiri di hari tua nanti. Karena toh kita engga tahu apa yang akan terjadi. Banyak sekali pasangan diluar sana yang harus menjalani long distance marriage karena tuntutan keadaan. Pasangan-pasangan lain harus siap menjadi single parent karena ya...sekali lagi, tuntutan keadaan. There is no ideal situation and we, human, can’t force it.
Saat saya menulis post ini tadi malam, saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali ‘merayakan’ malam minggu. Sebagaimana sister bisa baca di post tentang sahabat saya, I don’t have a lot of friends that I can meet every day. Buat saya hal itu engga masalah karena saya juga sangat menikmati my me time di rumah. Saya juga bukan orang yang harus selalu dilingkupi perhatian simply because I don’t mind to be alone. Kadang saya sedikit khawatir karena semakin lama saya justru semakin menikmati kesendirian, saya bisa menentukan jadwal hidup saya, saya bisa melakukan apa yang saya mau tanpa perlu minta persetujuan orang lain.
Salah satu sahabat saya punya seorang bude yang betah melajang hingga mungkin usia beliau saat ini sama dengan ibu saya (atau lebih tua lagi). I look up to her and I see that she doesn’t even feel bothered with her status. Beliau seorang dosen, gemar melakukan penelitian dan kunjungan ke berbagai tempat, and I believe that every second of her time is meaningful. Pernyataan ini saya buat tidak untuk menantang Allah, tapi saya mempercayai-Nya begitu besar sehingga saya yakin akan apapun yang Dia berikan adalah yang terbaik. Pasangan dan keturunan bukanlah satu-satunya (eh dua-duanya deng) yang harus dikejar dalam hidup.
Semoga apa yang saya tuliskan ini bisa menambah kekuatan untuk sister yang masih menunggu jawaban dari Allah, dan ingat untuk ikutan giveaway Born to be Loved! :)
Lots of love,
Prima
Mbaaaak.. Ceritanya sama banget ih sama aku.
ReplyDeleteWaktu aku baru lahir, entah beberapa bulan, Mama sama Papa mau pisah. Dan Papa bahkan uda ngajuin sidang. Cumak Mama gak mau dateng karena takut hak asuh jatuh ke tangan Papa. Huhuhu.. Dan aku pun sempat merantau walau balik lagi ke rumah.
Peluk cium buat ibu kita ya. :D
Peluk cium untuk Mamamu ya, semoga selalu tabah mengarungi kehidupan~
Delete