Wednesday, October 5, 2016

Belajar dari Haters Oki Setiana Dewi: Tentang Hijrah, Popularitas, dan Memberikan Panggung untuk 'Selebriti'

Hi! I’m back to Jogja again! Sebenarnya sih bulan Oktober ini saya menargetkan untuk nge-blog setiap tanggal ganjil (1, 3, 5, dst...) tapi tanggal 3 kemarin saya masih on the way dari Surabaya ke Jogja. Sampai Jogja pun tepar... Duh kapan ya, bisa business trip dengan pesawat kelas bisnis seperti Dian Pelangi? Cuma kalaupun ada duitnya, kayaknya sayang juga, mending dipakai buat beli tas Hermes #lah #samaaja

Saya menghabiskan akhir pekan kemarin di Surabaya untuk mengisi acara bertajuk Literaturia. Seingat saya, ini adalah kesempatan pertama saya untuk sharing tentang menulis sejak bekerja di ZettaMedia. Terakhir kali saya bicara tentang menulis di Surabaya itu waktu ngisi Bincang Santai Gerakan Mahasiswa Surabaya tahun 2014 lalu. Kalau dipikir sebenarnya saya masih grogi lho, apalagi kalau tahu para peserta pada udah punya blog dan mungkin saja pembaca blog mereka jauh lebih banyak daripada (pembaca blog) saya.

Hal ini membuat saya merenungkan kisah (((kisah))) haters Oki Setiana Dewi. Tadinya sih, saya masih pingin mengambil Mario Teguh sebagai perumpamaan. Tapi takut sister bosan, hehe (dan saya pingin bulan ini saya lebih banyak share tentang perempuan). Intinya gini, semua orang punya dosa (jadi ingat Awkarin: ‘kalian semua suci, aku penuh dosa’); then why masih ada aja orang yang jadi motivator atau ustadz/ustadzah?

Saya pernah tulis bahwa saya tidak membenci Mario Teguh, lagian mau benci juga ngapain? Engga penting ngabisin waktu buat orang seperti dia. Lalu kemudian saya memperhatikan orang-orang yang masih nge-fans abis kepada beliau, masih komen positif di akun Instagram-nya...buat saya hal itu wajar saja. Toh pada akhirnya yang dia omongin itu baik, perkara apa yang dia lakukan engga sejalan dengan nasehatnya, ya itu beda cerita.

Sama dengan Oki Setiana Dewi. Seorang teman yang awalnya fans garis keras sempat terpengaruh dengan akun haters-nya yang mengumpulkan banyak informasi tentang betapa Oki itu ustadzah abal-abal. Yang dibilang engga hafal ayat Qur’an dan hadits, kurang ramah, mantan model, dan sebagainya.

Mari kita bahas satu-persatu. Perlu digarisbawahi bahwa saya tidak sedang membela Oki ya, nanti sister akan dapat kesimpulan di akhir post ini. Saya pernah bertemu dengan seorang teman lama yang terkejut dengan perubahan saya. Saya memang mengambil keputusan untuk berhijrah, tapi saya pribadi tidak merasa apa yang saya lakukan itu perubahan drastis. Teman saya berkata lain, bahkan dia berkata, “kamu engga usah menutupi, kayak aku engga tahu kayak gimana kamu dulu.” At that time, I was afraid dia bakal bilang ke seluruh dunia (#lebay) tentang kebobrokan akhlaq saya yang dulu. Pulang dari ketemu dia, saya banyak ber-istighfar dan menangis. Waktu engga bisa diputar. Kalau sampai cerita kehidupan saya yang dulu harus terbuka, ya sudah itu takdir Allah...mungkin itu peringatan dari Allah agar saya lebih berhati-hati dalam merahasiakan aib orang lain. Nyatanya, justru saya dijauhkan dari lingkungan saya yang dulu sampai hampir tak tersisa. Saya didekatkan dengan orang-orang yang memotivasi saya untuk menjadi lebih baik lagi. I am so grateful for that.

Oki pun demikian. Kalaupun dia dulu berpakaian begini atau begitu, apa iya kita tidak bisa mengapresiasi perubahan baiknya? Sama dengan kemampuannya menghafal ayat Qur’an dan hadits. Ini yang kadang membuat saya sedih. Saya khawatir nantinya tidak ada lagi anak muda yang mau berdakwah karena merasa masih ‘nakal’. Nobody is perfect: semua orang bisa salah berperilaku, berkata, dan menginterpretasi. Akan tetapi, justru saya ingin lebih banyak orang belajar dari kesalahan saya supaya mereka tidak melakukan hal yang sama. Saya pernah menulis, pengalaman adalah guru yang terbaik. Tapi ada lagi guru yang lebih baik, yaitu pengalaman orang lain. Sebagai contoh, mengapa saya selalu mendengar nasehat mama saya tentang pernikahan padahal sudah jelas pernikahan beliau kurang sukses? Because I know for sure I won’t stepped in the same mistakes! Inilah yang kemudian menjadi motivasi saya untuk ‘mengajar’. Tentang menulis, tentang kehidupan, tentang beragama dan bermasyarakat. Karena saya ingin pembaca saya menjadi lebih baik daripada saya. Siapa tahu hal ini juga bisa menjadi ladang amal buat saya, dan menjadikan Allah welas hati untuk membawa saya ke arah yang lebih baik lagi.

Sejak perkara Mario Teguh mencuat, saya punya teman baru, namanya udah pernah disebut di post ini. Beliau bilang, ketika kita berhenti peduli, ketika kita berhenti ‘mengurusi’ hidup orang lain, itulah awal dari kesengsaraan dunia. Misalnya ada tetangga bapak-bapak yang suka mukulin istrinya, terus sister berpikir “duh, ngapain ngurusin kehidupan orang lain”, lama-lama orang akan berpikir bahwa itu adalah tindakan yang benar dan dapat diterima. That’s the thing. Don’t wait until we are perfect to encourage people in doing good deeds.

Kalau memang pada dasarnya Oki (dan ada yang bilang suaminya juga) mata duitan dan otak bisnis... who doesn’t? Malam minggu kemarin, saat saya sekeluarga menghadiri pesta pernikahan seorang sepupu di luar kota, kami bertemu dengan rombongan menteri yang dikawal oleh mobil polisi. Adik saya bertanya, mengapa menteri dan jajarannya harus pakai mobil bagus? Saya pikir, mungkin, mungkin lho, menteri merasa pantas untuk mendapatkan layanan istimewa, karena dia juga harus membayar ‘mahal’ untuk mendapatkan jabatan itu. Betul, materi yang dia keluarkan untuk menimba ilmu, pengalaman, dan keahlian agar dia bisa memaksimalkan tugasnya. Itu kan engga sedikit. Belum lagi waktu yang dia habiskan. Makanya saya bete sama Marwah Daud yang mengorbankan intelektualitasnya untuk membela Kanjeng Dimas.

For me, kalau kamu minta dibayar mahal, ya kamu harus siap memberikan performance yang sebanding dengan bayaran itu. Oki – dan semua ustadz/ustadzah lainnya yang ‘masang’ tarif – pasti memiliki pertimbangan tertentu. Kalau saja memungkinkan buat saya, dan saya siap dibayar untuk mengajar, yang ada di pikiran saya cuma berapa banyak dari bayaran tersebut yang harus saya investasikan untuk menambah ilmu saya. Sebagai gambaran, kalau saya dibayar Rp. 500.000 sekali jadi moderator, hampir sepertiga dari bayaran itu saya gunakan untuk membeli koran, majalah, buku, dan lain-lain. Tujuannya supaya audiens mendapatkan hasil maksimal saat saya bertugas nantinya. Itu saya sih, engga tahu kalau orang lain.

Pada akhirnya, saya ingin sister membaca blog post Laila Achmad satu ini. As I have said, mbak satu ini agak ‘nyebelin’ karena dia selalu bisa melukiskan apa yang sedang saya pikirkan dengan sempurna. Jika memang sister merasa Oki Setiana Dewi, atau siapapun itu, tidak seharusnya mendapat tempat di hadapan publik, yuk mulai memberikan panggung kepada orang-orang yang lebih ‘pantas’. I am actually tired of those youngsters who want to be celebgram, but forget the meaning behind popularity. With great power, comes great responsibility – mungkin sudah tidak relevan lagi saat ini. With great popularity, comes great responsibility. Jangan hanya mengejar keterkenalan, namun pikirkan lagi apa yang akan kamu buat dengan hal itu. Jangan bangga kalau kamu udah berhasil dapat endorsement dari mana-mana, because after all the world will still questioning your actual works. Think, and act!

Salam,
Prima

Reminder! Have you join my Birthday Giveaway? Read here ;)

4 comments:

  1. ngeselin emang si marwah daud itu.
    (pasti nonton tv one itu juga. hehe)
    Berarti harus diluruskan dulu niat jadi baiknya ya.. ^^ Niatnya jangan setengah setengah

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku jarang nonton TV Indonesia Kak, hehe. denger beritanya di radio aja udah kesel, engga kebayang kalau denger langsung Marwah Daud yang ngomong :))

      Delete
  2. Setuju bgt mba. Aku jg bukan fansnya OSD tp asa miris ya kl liat ada orang mau berusaha baik tp bnyk bgt caciannya sementara yg jelas2 nunjukin hal yg ga baik malah dijadiin goals :"

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...