Tuesday, July 19, 2016

I Know That We are Different, That's Why We are Actually Same

Perkenalan pertama saya dengan perbedaan adalah ketika saya duduk di bangku TK. Suatu waktu, saya ikut mama saya ke rumah koleganya yang sedang merayakan natal. Sebenarnya kami tidak kesana untuk ikut perayaan natal, tapi tak ayal saya ikut mendapatkan hadiah: boneka Minnie Mouse dengan kostum natal lengkap dengan bando tanduk rusa. Dimana ya, boneka itu sekarang? Pulangnya saya bertanya kepada mama tentang perayaan natal. Rasa penasaran itu lebih didasari keinginan untuk memiliki my own christmas tree. Saya lupa jawaban mama waktu itu, I might be too little to understand and forget it fast. 

Selang beberapa waktu, saya berkenalan dengan anak dari teman ayah saya. Kalau tidak salah namanya Kristin. She was my only friend when I visit my dad in Banjarmasin, so sometimes I stay at her house. Setelah beberapa kali, saya baru sadar bahwa keluarganya menyediakan makanan yang berbeda untuk saya dan Kristin. Ibunya juga kerap membangunkan saya untuk sholat subuh, namun mereka tidak melakukannya. 

Kemudian saya masuk ke sekolah Islam dan ‘tiba-tiba’ saja semua terasa seragam. Selama tahun-tahun itu, saya jarang sekali melihat perbedaan. Secara saya sekolah full day dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore, dan sabtu ada kegiatan ekstrakurikuler, saya pikir waktu itu semua orang sama. Selain itu saya juga berpikir kalau Islam itu satu, ya Islam.

Baru ketika saya menginjakkan kaki di bangku SMP, saya mengenal Muhammadiyah dan NU. Lucu juga karena ada teman yang SD-nya di sekolah NU terus masuk SMP dan SMA Muhammadiyah. Dasarnya memang saya kritis, saya bertanya kepada mama apa bedanya Muhammadiyah dan NU. Apakah ada gerakan Islam yang lain, dan sebagainya. Oya, di sekolah juga diajarkan kok sejarah pergerakan Muhammadiyah so I was quite aware at that time, but don’t ask me now ‘cause I already forget it. Nonton film Sang Pencerah aja deh #lah

Pada penghujung SMP, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand and it was my first interaction with the world. Saya akhirnya melihat sendiri perbedaan warna kulit, bahasa, adat-istiadat, dan sebagainya. Bukannya saya tidak tahu kalau Indonesia juga terdiri dari 17,000 pulau endebre endebre, tapi kalau begitu berada di situasi internasional kan beda gitu lhoh. Yang membuat saya syok saat itu bukan hanya problematika antar budaya dimana beda negara beda gaya penyelesaian konfliknya, tapi pada malam terakhir jambore, saya mendapat hadiah tak terlupakan dari seorang teman laki-laki berkebangsaan Inggris: a hug. Oh my God, I feel like I was a sinner.

Sejak saat itu, saya banyak mendapatkan pengalaman dengan berbagai orang dari latar belakang yang berbeda-beda, and somehow that what inspired me making #differentisbeautiful label last year. Teman-teman yang paling dekat dengan saya saat ini bukan hanya yang islamnya serius banget, tapi banyak juga yang beragam keyakinannya dan tentu saja sudut pandangnya. 

Then why I think it is important to be discussed now? Karena kemarin saya baru menceramahi adik saya panjang lebar tentang indahnya perbedaan. Ceritanya adik saya ini kan lulusan pondok pesantren, terus waktu registrasi di kampus ketahuan sedikit berdebat tentang madzhab-madzhab gitu. Apalah saya ini pengetahuannya cetek sekali masalah begituan, tapi saya suruh dia duduk dan dengar penjelasan saya. Saya kesal kalau dia harus membuat perpecahan hanya karena masalah begitu doang, sementara kita ini hidup di negara yang majemuk dan saling membutuhkan satu sama lain.

Saya katakan kepadanya bahwa selama ini saya mampu mempertahankan persahabatan saya dengan mereka yang kristen, katolik, tak beragama, orang Korea, orang Inggris, orang Kamerun, orang India, orang Iran, dan seterusnya bukan dengan cara menyatakan perbedaan. I realize that we are different so then why we should sweat about it? Sekarang tujuan kita bersahabat, bekerjasama, berkolaborasi itu apa? Cari saja persamaan dari kita and we can work together. 

Saya hanya dapat mengandalkan hidayah dari Allah agar tidak tergerus pergaulan, tapi bahkan saya pun percaya dakwah itu bukannya yang memberikan garis pembatas antara saya dan kamu. Saya yang berhijab dan kamu yang tidak. Saya yang begini dan kamu yang begitu. Justru dakwah itu menengahi, membuat nyaman, mengizinkan mereka bertanya, dan memberikan suri teladan. Masalah hasil akhir itu kembali lagi ke hidayah dari Allah. 

Ekstrimnya saya sampai bilang ke adik saya, you can’t get married if you keep looking for differences. Lah gimana anak kembar yang sejak lahir udah kemana-mana bareng saja masih bisa berbeda, apalagi pasangan yang dibesarkan dengan pola asuh yang berbeda.

Saya jadi ingat Communication Accommodation Theory yang menyatakan, "When people interact they adjust their speech, their vocal patterns and their gestures, to accommodate to others." Teori ini tidak hanya berlaku pada situasi komunikasi antar budaya tapi juga antar pribadi. Misalnya sister ngomong sama adiknya sister yang masih SMP, pasti beda dengan sister ngomong sama orangtua. Why so? Karena sister punya tujuan yang berbeda saat berkomunikasi. Kalau sister ngomong sama adik, kepinginnya kelihatan kalau punya pengetahuan lebih banyak, nah ostomastis suara dan gestur juga berubah.  

Here goes the same way with communicating the differences. If you want the relationship long lasts, you will do ‘convergence’. Menyesuaikan dengan lawan bicara. Sebaliknya, kalau kamu ingin mencapai tujuan pribadi tertentu, kamu akan memperbedakan bagaimana kamu berkomunikasi dengan lawan bicaramu. 

Sooo~ di kehidupan nyata, ada banyak hal yang tidak perlu kamu sikapi dengan ketus dan sinis hanya karena perbedaan. You will soon understand that being majority doesn’t mean you can press others. Menarik melihat perbedaan yang semarak di Indonesia, seperti Gong Xi Fa Cai yang dirayakan sejak zaman Presiden Gus Dur. After all, “It is not our differences that divide us. It is our inability to recognize, accept, and celebrate those differences.” ― Audre Lorde 

Lots of love,
Prima

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...