Wednesday, May 13, 2015

Guru Besar Tjokroaminoto: Filmnya Tak Sebesar Namanya

 

“Setinggi-tinggi ilmu
Sepintar-pintar siasat
Semurni-murni tauhid”

Kalau ada satu film yang bisa bikin kita betah nonton selama hampir tiga jam, bahkan tanpa kita paham jalan ceritanya, that will be Guru Besar Tjokroaminoto. Why so? Garin Nugroho mah gitu orangnya, LOL. Setting, pemilihan pemain - dari mulai pemain utama sampai yang cuma lewat di belakang aja -, soundtrack, kostum, most of it, awesome! Bahkan logat dan aktingnya pemain-pemain pendukung dapet banget lho. Biasanya kan ada tuh, film yang berhubung pemain utamanya keren banget, yang lain jadi jomplang. Tapi di film ini engga. Bahkan menurut saya, pamor Christine Hakim kalah sama seorang rewang (asisten rumah tangga) istrinya Tjokro. Oya, ibu-ibu berjarik ini pada akhirnya terlihat sedikit mendominasi mulai dari pertengahan film. Kayaknya dimana-mana muncul, hehehehehe. Tapi ya itu tadi, saya rasa dia orang Surabaya totok (aseli seli) deh.. Saya aja ga semedhok itu Bu.. :))

Kembali ke cerita, ternyata Garin Nugroho pun mengakui hal tersebut (baca disini). Seingat saya, ini film biopik pertama yang saya tonton dalam tiga tahun terakhir. Dan mungkin, kekurangannya memang disitu.. Yes, alur ceritanya sangat-sangat lemah. Kalau yang nonton film Habibie & Ainun (saya malah belum nonton), pasti paham kalau disitu yang jadi fokus adalah kisah cinta Habibie & Ainun.

Sedangkan di film ini, kita ga bisa mendapatkan chemistry dari film karena terlalu banyak hal yang ingin dimasukkan oleh Garin. Dari mulai pernikahan Tjokro, perjalanan Tjokro ke Semarang, perpindahan Tjokro dan istri ke Surabaya; lalu pergerakan Tjokro bersama Samanhudi, DAN Agus Salim pada periode yang berbeda; hingga pemberontakan Serikat Islam (Merah) dan bahkan ada kisahnya Soekarno muda (pemerannya ganteng banget, ya Allah lemah iman hayati, bang..) yang menimba ilmu di rumah Tjokro. Nah lho, kebayang kan betapa rumitnya film ini. Ga kaget kalau kemudian adegannya loncat-loncat. Penonton harus merangkai sendiri kepingan-kepingan puzzle tersebut untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang perjuangan Tjokro.

Sebenarnya saya menonton film ini karena dosen meminta kami, para mahasiswa, menonton. Menurut beliau, kami akan bisa memahami esensi gerakan sosial, baik revolusi maupun evolusi. Yah, namanya juga mahasiswa S2, kita mah gitu orangnya (lagi prim? Zzz). Memang kemudian kami melihat “oooh, Tjokro berjuang lewat koran..” dan hal ini bikin pede kami sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi, saya sempat mikir, lha katanya kan apa-apa dilarang di masa Hindia-Belanda, kok bisa dia punya mesin percetakan, kertas, dan tinta? Terus korannya ga dibredel pula? Jadi salah siapa? Salah guweh, salah teman-teman guweh? #GagalPaham

Udah gitu nih, berhubung rata-rata dari kami jongkok banget pelajaran sejarahnya, begitu ada yang seliweran, terus dipanggil “Semaoen”, “Moeso”, dan siapalah para pemuda yang ngekos di rumah Tjokro; kami langsung lihat-lihatan satu sama lain. Iki sopo reeeeek. #MakinGagalPaham

Yang paling #jengjeng pasti kemunculannya Chelsea Islan, like… who the hell is she? Misterinya baru ada di akhir-akhir..

‘Hiburan’ sesungguhnya di film ini bagi kami justru ketika kami melihat pacar teman sekelas, si bule berambut kuning, berperan jadi salah satu serdadu Belanda. Woohoo, sadis nih yeee mas Sanders. Ditambah lagi, ada orang yang saya kenal, yaitu koordinator divisi saya waktu syuting film Tendangan dari Langit. Mas Ibnu, namanya, lumayan sering muncul karena dia adalah salah satu pemuda yang mendampingi golongannya Semaoen dll. Jadi ketawa deh saya :p

The thing is, buat saya film ini masih jauuuuuh berkelas daripada nonton film yang you-know-what-lah. Tentu saja seharusnya film ini membuat kita MALU sebagai rakyat Indonesia yang diam berpangku tangan. Kesimpulan dari film ini, kita sebenarnya belum merdeka, sister. Selama kita masih iya-iya aja kalau dicekoki apapun dari luar negeri, we haven’t become an independent nation yet. Kalau kata dosen saya (yang lain), seandainya kita berani bilang ‘tidak’ sama hal-hal impor, yang harus kita lakukan adalah menyiapkan substitusi produk yang paling tidak berkualitas sama. Tapi yang paling penting sih mindset, duh sedih deh pokoknya kalau kita meresapi nilai-nilai dari perjuangan Tjokro.

So, if you have any time this weekend (and the theaters still play it), please try enjoying the movie. Trust me, it is a high quality movie after all.

For the love of Indonesian movie,
Prima

2 comments:

  1. Tiga jam? WOW. Kayak extend-nya film Van der Wijk dong Kakak... ^^
    Di sini udah gak diputer. Hufft.

    ReplyDelete
  2. Aku sudah nonton juga, waktu ada donatur baik hati yg nraktir nonton para aktivis Salman ITB :D. Bagus pesan & teladannya, tapi memang ada kelemahan2 tsb di filmnya, Kalau yg "ahistoris" kayak aku, gak ngeh sama jalan ceritanya, memang :).

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...