Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”
Maret 2015, di suatu hari yang cerah ceria cetar membahana, ‘tiba-tiba’ saja saya amat sangat ingin menikah. Lho kok? Ga ada angin, ga ada hujan? Ya tentu saja ada, lebat malah.. Maklum, efek global warming membuat cuaca tidak menentu.. #lhah #SalahFokus
Hari-hari itu, saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kalaupun saya memang ingin menikah, sudahkah saya benar-benar menunjukkan keseriusan saya? Sudahkah saya berikhtiar semaksimal mungkin? It’s like.. Saya bilang pingin jadi Master tapi ga pernah daftar sekolah pascasarjana.. Kayak gitu.. Ngerti kan?
Saya memang kemudian melakukan sesuatu, yang saya rasa cukup jauh dari apa yang pernah saya bayangkan. Dan Allah tidak butuh waktu lama untuk menyadarkan saya, bahwa sekali lagi, Dia ingin saya menunggu.
Kalau kata orang bahwa yang namanya sabar tidak ada batasnya, saat itulah saya berpikir… ‘kurang sabar apa lagi saya, ya Allah?’ Tapi alhamdulillah, minggu-minggu berikutnya Allah memberikan begitu banyak ‘hiburan’, salah satunya adalah tugas UTS yang Subhanallah luar biasa sekaliii. It distracted me, and I am so grateful for that.. Dulu nih, empat tahun yang lalu, ketika saya putus dari pacar saya setelah berpacaran selama lebih dari tiga tahun, I also didn’t cry at some first days. Allah ‘menghibur’ saya dengan mengikutsertakan saya ke sebuah produksi film, yang jelas membuat saya lupa akan sedihnya menjadi jomblo. Hahahahaha.
Rabu minggu lalu, saya ga sengaja mengikuti sebuah pengajian tentang pernikahan, di masjid favorit kita semua – hehe - Masjid Nurul ‘Ashri. Tadinya hanya menunggu dijemput tante, ternyata saya bisa ikut sampai pengajiannya selesai.
Ustadz Mohammad Faudzil Adhim, penulis buku Kupinang Kau dengan Hamdalah, menekankan pentingnya niat ketika menapaki jalan menuju pernikahan. Saya merasa seperti diguyur air dingin, teringat ikhtiar sebulan yang lalu.. Apa ya niat saya melakukannya? Apa sebenarnya niat saya menikah? Kenapa dia? Kenapa harus sekarang (kemarin)? Kenapa, kenapa, dan kenapa?
Ya Allah.. ingin rasanya saya menangis tersedu-sedu. Sementara mungkin apa yang saya lakukan salah (atau kurang tepat), dan biarlah niat menjadi urusan saya dengan Allah, tapi I was so sad.. Like really really sad. Semoga niat saya menikah, dan niat yang saya tunjukkan selama saya berjalan ke arah pernikahan, lurus, hanya untuk Allah. Meski saya tahu itu sulit.
The thing is, menurut saya, kita semua sering merasa ‘pantas’. Memang benar Allah berfirman, ‘bahwa perempuan baik untuk laki-laki yang baik, dan demikian pula sebaliknya.’ Tapi kita sebagai manusia biasa yang penuh cela dan dosa, sering merasa GR – bahkan ‘berani’ bikin kriteria calon suami/istri idaman yang panjangnya melebihi deskripsi diri kita sendiri. Padahal yang tahu siapa jodoh terbaik kita, ya cuma Allah.
Bukan berarti kita ga boleh bikin kriteria. Saya rasa hal ini tetap penting agar kita bisa meminimalisasi hal-hal yang buruk, menurut pandangan kita sebagai manusia yang serba terbatas. Tapi, ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita, jangan berkecil hati. Kalau Allah sudah menghendaki, dan kita bertawakkal pada keputusan-Nya, insyaAllah hal itu akan membawa keberkahan yang lebih besar untuk kita.
Kembali lagi ke niat. Istiqomah mengejar ridho Allah, maka tujuannya bukan lagi ‘sekedar’ siapa aku atau siapa dia. Tanpamu atau denganmu, semuanya akan tetap sama. Maka, semoga Allah berkenan menjaga dan meluruskan niat kita.. Amin, insyaAllah.
Salam,
Prima
Hari-hari itu, saya bertanya-tanya pada diri sendiri, kalaupun saya memang ingin menikah, sudahkah saya benar-benar menunjukkan keseriusan saya? Sudahkah saya berikhtiar semaksimal mungkin? It’s like.. Saya bilang pingin jadi Master tapi ga pernah daftar sekolah pascasarjana.. Kayak gitu.. Ngerti kan?
Saya memang kemudian melakukan sesuatu, yang saya rasa cukup jauh dari apa yang pernah saya bayangkan. Dan Allah tidak butuh waktu lama untuk menyadarkan saya, bahwa sekali lagi, Dia ingin saya menunggu.
Kalau kata orang bahwa yang namanya sabar tidak ada batasnya, saat itulah saya berpikir… ‘kurang sabar apa lagi saya, ya Allah?’ Tapi alhamdulillah, minggu-minggu berikutnya Allah memberikan begitu banyak ‘hiburan’, salah satunya adalah tugas UTS yang Subhanallah luar biasa sekaliii. It distracted me, and I am so grateful for that.. Dulu nih, empat tahun yang lalu, ketika saya putus dari pacar saya setelah berpacaran selama lebih dari tiga tahun, I also didn’t cry at some first days. Allah ‘menghibur’ saya dengan mengikutsertakan saya ke sebuah produksi film, yang jelas membuat saya lupa akan sedihnya menjadi jomblo. Hahahahaha.
Rabu minggu lalu, saya ga sengaja mengikuti sebuah pengajian tentang pernikahan, di masjid favorit kita semua – hehe - Masjid Nurul ‘Ashri. Tadinya hanya menunggu dijemput tante, ternyata saya bisa ikut sampai pengajiannya selesai.
Ustadz Mohammad Faudzil Adhim, penulis buku Kupinang Kau dengan Hamdalah, menekankan pentingnya niat ketika menapaki jalan menuju pernikahan. Saya merasa seperti diguyur air dingin, teringat ikhtiar sebulan yang lalu.. Apa ya niat saya melakukannya? Apa sebenarnya niat saya menikah? Kenapa dia? Kenapa harus sekarang (kemarin)? Kenapa, kenapa, dan kenapa?
Ya Allah.. ingin rasanya saya menangis tersedu-sedu. Sementara mungkin apa yang saya lakukan salah (atau kurang tepat), dan biarlah niat menjadi urusan saya dengan Allah, tapi I was so sad.. Like really really sad. Semoga niat saya menikah, dan niat yang saya tunjukkan selama saya berjalan ke arah pernikahan, lurus, hanya untuk Allah. Meski saya tahu itu sulit.
The thing is, menurut saya, kita semua sering merasa ‘pantas’. Memang benar Allah berfirman, ‘bahwa perempuan baik untuk laki-laki yang baik, dan demikian pula sebaliknya.’ Tapi kita sebagai manusia biasa yang penuh cela dan dosa, sering merasa GR – bahkan ‘berani’ bikin kriteria calon suami/istri idaman yang panjangnya melebihi deskripsi diri kita sendiri. Padahal yang tahu siapa jodoh terbaik kita, ya cuma Allah.
Bukan berarti kita ga boleh bikin kriteria. Saya rasa hal ini tetap penting agar kita bisa meminimalisasi hal-hal yang buruk, menurut pandangan kita sebagai manusia yang serba terbatas. Tapi, ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita, jangan berkecil hati. Kalau Allah sudah menghendaki, dan kita bertawakkal pada keputusan-Nya, insyaAllah hal itu akan membawa keberkahan yang lebih besar untuk kita.
Kembali lagi ke niat. Istiqomah mengejar ridho Allah, maka tujuannya bukan lagi ‘sekedar’ siapa aku atau siapa dia. Tanpamu atau denganmu, semuanya akan tetap sama. Maka, semoga Allah berkenan menjaga dan meluruskan niat kita.. Amin, insyaAllah.
Salam,
Prima
Iya ya, kadang dari niat yang berbeda menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mungkin Allah memang menunggu mba prima selesai dengan diri sendiri baru bisa memulai yang baru dengan orang lain. Mungkin ada yang belum diikhlaskan di masa lalu, entah apa itu.
ReplyDelete"selesai dengan diri sendiri", mungkin iya mbak..
Deleteterima kasih utk bahan introspeksinya :)
Aamiin.... Tergantung niat ya.. Insya Allah 2015 menikah <3 Aamiin
ReplyDelete