Sebelum
saya berangkat, mama saya berpesan, “kalau butuh apa-apa, coba ke
masjid terdekat. Mama udah sering buktiin, pertolongan Allah itu sangat
dekat.”
Maka, sejak di Indonesia, saya sudah membekali diri dengan alamat beberapa masjid di Ho Chi Minh, Phnom Penh, dan Siem Reap. Sementara cerita Tour Le Masjid di Ho Chi Minh akan diceritain segera, yuk ikutin kelanjutan cerita saya di Phnom Penh ^^
Setelah kelar dari Royal Palace, saya yang udah laper berat memerintahkan (halah) kepada Lan untuk mencari Warung Bali, restoran Indonesia yang diceritakan kak Dendi di buku The DestinASEAN. Nah, salahnya saya, saya bilang ke si Lan yang udah pernah jalan-jalan ke Sumatera ini, “Let's go to Warung Bali”. Iya, pakai kata 'warung'. Dianya sih iya-iya aja, tapi ternyata yang dia tangkap cuma...restoran halal dan malah nganterin saya ke Restoran Malaysia.
Saya jelasin pelan-pelan, kalau saya nyari Restoran Indonesia, bukan Restoran Malaysia. Dan terjadilah percakapan ini..
Saya: Lan, I am looking for Indonesian Restaurant. Its name is Warung Bali.
Lan: Hmmm, I am not sure. But I know one, I think its name is Bali Restaurant.
Saya: Lah ya itu ceu..
Hahahaha.
Di
Warung Bali, saya ketemu sama pemiliknya, yaitu Kang Firdaus dan Mas
Kasmin. Langsung deh saya memuaskan diri dengan makan mie goreng ayam –
it feels like I'm home already! Hihihi. Maka, sejak di Indonesia, saya sudah membekali diri dengan alamat beberapa masjid di Ho Chi Minh, Phnom Penh, dan Siem Reap. Sementara cerita Tour Le Masjid di Ho Chi Minh akan diceritain segera, yuk ikutin kelanjutan cerita saya di Phnom Penh ^^
Setelah kelar dari Royal Palace, saya yang udah laper berat memerintahkan (halah) kepada Lan untuk mencari Warung Bali, restoran Indonesia yang diceritakan kak Dendi di buku The DestinASEAN. Nah, salahnya saya, saya bilang ke si Lan yang udah pernah jalan-jalan ke Sumatera ini, “Let's go to Warung Bali”. Iya, pakai kata 'warung'. Dianya sih iya-iya aja, tapi ternyata yang dia tangkap cuma...restoran halal dan malah nganterin saya ke Restoran Malaysia.
Saya jelasin pelan-pelan, kalau saya nyari Restoran Indonesia, bukan Restoran Malaysia. Dan terjadilah percakapan ini..
Saya: Lan, I am looking for Indonesian Restaurant. Its name is Warung Bali.
Lan: Hmmm, I am not sure. But I know one, I think its name is Bali Restaurant.
Saya: Lah ya itu ceu..
Hahahaha.
Mie goreng ayam, yummy! :9 |
Ki-ka: Kang Firdaus, saya, mas Kasmin ^^ |
Kedua pemilik Warung Bali ini orangnya rameee, jadilah kami cerita-cerita tentang perjalanan saya, sampai sok-sok serius ngebahas situasi politik Indonesia dan Kamboja. Saya juga sempat ketemu beberapa traveler dari Indonesia, dan seseorang yang sepertinya kepala proyek PT. Ciputra di Kamboja. Yup, Ciputra punya beberapa perumahan mewah dan resort golf di sekitaran Phnom Penh.
Ga cuma itu aja, Mas Kasmin dengan baik hatinya bantuin saya beli tiket bis ke Siem Reap. Maklum lah ya, karena sudah hampir dua puluh tahun tinggal di Kamboja, bahasa Khmer-nya udah cas cis cus. Tapi katanya sih kalau disuruh baca hurufnya yang mlungker-mlungker itu, tetep angkat tangan. Hihi.
Urusan perut dan tiket bis beres, saya dan Lan (#cieh – lah) menuju ke masjid untuk sholat dzuhur. Tapi saya nyempetin beli kartu pos di kantor pos yang... mirip banget sama kantor pos di Ho Chi Minh. Ya iyalah, kedua negara ini kan memang pernah dijajah lama sama Perancis, makanya ada pengaruh tersebut di gedung-gedungnya.
ini kantor pos di Phnom Penh... |
...dan ini kantor pos di Ho Chi Minh. Mirip ya tho?? |
Masjid pertama yang saya singgahi ada di tengah kota, di belakang Phnom Penh Hospital. Di sekitar masjid, ada juga restoran Thailand (tapi halal), hotel islami dan bahkan tour & travel yang dimiliki orang 'blasteran' Cham-Melayu.
Sayangnya, masjid yang pembangunannya didanai oleh Pemerintah Uni Emirat Arab ini belum kelar.. Sebagai tempat sholat sementara, ada bangunan sederhana tepat di depan masjid tersebut. Waktu saya kesana, udah banyak muslim-muslimah berkumpul di halaman masjid. Karena masih ada waktu sebelum Dzuhur, saya minta ke Lan untuk mengantarkan saya ke masjid lain yang dia tahu.
Lima belas menit berkendara melewati jalanan yang berdebu, tuk-tuk kami memasuki halaman yang dipenuhi mobil-mobil tua. Lho, ini kan lahan parkir, pikir saya. Lalu Lan menunjuk satu bangunan kecil yang 'disembunyikan' oleh mobil-mobil tersebut.
Ternyata ada gerbangnya.. cuma karena jalanan didepannya rame, ga berani nyebrang jalan buat foto, hehe. |
Tampak dalam masjid - bagian jamaah pria. |
Subhanallah, sebuah masjid dan sebuah bangunan lain yang lebih kecil lagi – yaitu bangunan untuk kelas mengaji dan tempat wudhu ada di hadapan saya. Jauh berbeda dari masjid pertama yang megah; masjid satu ini kecil, sederhana, tapi nuansa hangat langsung terasa. Di dekat tempat wudhu, beberapa wanita sedang berkumpul. Saya mendekat dan mengucapkan salam universal, “Assalamu'alaikum..”, lalu menyalami mereka satu-persatu.
Setelah mengambil wudhu, saya menyapa para pria yang berada di pintu masjid, yah istilah Inggris-nya kulo nuwon lah.. Kami berusaha keras ngobrol dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggris patah-patah. Salah satu dari pria tersebut, ternyata punya garis keturunan dari Jawa!!! Katanya sih ayah dari neneknya orang Jawa Barat, tapi dia sendiri sama sekali ga bisa bahasa Indonesia, hehehe.
Karena waktu sholat masih sekitar lima menit lagi, saya bertanya apa ada mini market di dekat masjid. Haus banget.. Dan si cowok 'blasteran' Cham-Jawa Barat itupun memberi saya dua botol air mineral dingin. Gratis.
Mungkin bagi beberapa orang, cerita saya terdengar remeh. Tapi berhubung saya sendiri sudah menjelajah masjid-masjid di Vietnam, dan sekarang di Phnom Penh; ada perasaan haru yang terselip. Di Kamboja, lika-liku kehidupan kaum Muslim sangat tragis. Hingga beberapa tahun yang lalu, masyarakat secara umum masih menolak pembangunan masjid. Nah, kalau teman-teman pernah baca-baca berita di Kamboja, ada istri salah satu pangeran yang keturunan Cham (etnis Kamboja yang biasanya muslim), dan barulah ada ruang agak lega untuk kaum Muslim di Kamboja. Meski beliau bukan Muslim, tapi beliau mengupayakan kebebasan beragama selain Buddha di Kamboja.
Satu kebiasaan di masjid-masjid di Vietnam dan Kamboja yang saya temui, mereka memperlambat waktu sholat berjamaah. Misalnya waktu dzuhur adalah jam 12.00, maka iqamah akan dikumandangkan pada pukul 12.20. Hal ini diberlakukan semata untuk memberi waktu para pekerja muslim yang mau 'mengejar' sholat di masjid di waktu istirahat jam makan siang mereka. Soalnya susah juga sih, dengan angka yang kecil, ga mungkin kan pekerja minta dibikinin ruang sholat di tempat kerjanya?
Khusus di masjid di Phnom Penh ini, yang bikin lebih trenyuh lagi adalah.....jumlah mukenahnya cuma sedikit. Saya memperhatikan para jamaah muslimah yang ternyata sholatnya harus gantian, ya karena mukenahnya ga cukup :((((( Sedih banget nget, karena keterbatasan komunikasi, saya ga bisa mengorek informasi lebih dalam. Kalau di Vietnam saya sempat menemui konveksi telekung (mukenah), disini saya ga tahu..
So, for those who read it and Muslim, please, please be grateful. As I have written here, "being a muslim, in a country where muslim become the majority, is something that I am very grateful for."
Begitu banyak kemudahan beribadah di tanah air kita, masihkah kita tak bersyukur dan menunda-nunda ibadah? :)
Salam,
Prima
*Sssttt.. Cerita tentang Kamboja masih berlanjut kok. Stay tune ya! ;)
wah pengen jugaa kesanaaaa
ReplyDeleteWaah, hal yang paling aku suka dari travelling ada banyak perenungan yang kita dapat melalui perbandingan di tanah orang dengan negeri sendiri. :))
ReplyDelete“kalau butuh apa-apa, coba ke masjid terdekat. Mama udah sering buktiin, pertolongan Allah itu sangat dekat.” kata dari ibunya mbak benar sekali. Sudah saya buktikan di singapura. Ketika tidak ada tempat buat tidur, masjid jadi andalan untuk persinggahan :))
ReplyDelete