Sabtu pagi dalam perjalanan ke kantor untuk lembur, saya melangitkan doa, “Ya Allah, tolong beri aku semangat untuk hidup”. Saya tidak sedang berbohong. Saya mencintai pekerjaan saya; berbahagia karena sudah terpisah jarak dengan beberapa orang yang kerap menyakiti saya; dan mulai bisa menerima kenyataan bahwa inilah skenario terbaik yang Allah tetapkan untuk saya sekarang. Tentu ada alasan mengapa semua yang saya harapkan atau rencanakan sepanjang bulan Desember-Januari lalu gagal (atau mendekati gagal – atau belum berhasil), dan toh Bali is not a bad idea. Iya kalau misalnya saya terpaksa berada di Timbuktu (itu dimana sih?) atau pelosok Papua Nugini misalnya, wajar jika saya mengeluh. Lha ini saya menjadi bagian dalam festival sastra (dan kuliner) terbesar di Asia Tenggara – yang mana kantornya punya pemandangan nan indah, lalu pulang kerja atau akhir pekan saya mengajar ngaji. Kalau mau liburan, tempat wisata di Bali bejibun. Apa sih yang kurang dalam hidup saya?
Minggu lalu, saya belajar satu hal: bahwa kebahagiaan bukan berarti hilangnya kesedihan sama sekali. Kebahagiaan adalah ketika kita mampu menerima dan bersyukur atas apapun yang terjadi; dan kesedihan itu akan selalu ada karena yang namanya hidup enggak mungkin enak doang. But when we are ‘happy’, we consider the sadness is a ‘beautiful’ addition in life. Also, life can’t be bad alllll the time, right?
However, at this point, I can’t see things beyond this year. Kalau ada orang yang bertanya, apakah saya akan terus di Ubud, saya akan jawab tidak tahu. Kalau dilanjutkan dengan pertanyaan, apa yang akan saya lakukan tahun depan, saya akan jawab tidak tahu. I simply don’t have any plan, and some parts of me mad at myself to not have any spirit to plan. Halah, ribet. Intinya, saya sedang kesal sama diri sendiri yang seperti tidak punya motivasi untuk menjalani hidup ke depannya. Yang ada di pikiran saya adalah menjalani hari demi hari, besok? Lihat besok.
Padahal saya sadar bahwa dunia ini punya begitu banyak masalah, dan apakah saya hanya akan menjadi manusia yang berprinsip ‘urip mung mampir ngopi’ (dan bahkan saya bukan peminum kopi)? Sejak saya ikut kegiatannya One Island One Voice: Bali’s Biggest Clean Up pertengahan Februari lalu, saya terus menerus kepikiran tentang sampah di muka bumi. Itu belum termasuk isu RUU PKS, dan dengan demikian saya berpikiran, bagaimana caranya untuk membuka wawasan para muslimah muda tentang hal-hal yang penting untuk diperbincangkan? I don’t want us to be ignorant. Apa kita harus puas jika dilahirkan ke bumi ini, lalu pergi tanpa berusaha mengubah bumi ini menjadi tempat yang lebih baik? What’s MY legacy for the world?
Minggu lalu, saya belajar satu hal: bahwa kebahagiaan bukan berarti hilangnya kesedihan sama sekali. Kebahagiaan adalah ketika kita mampu menerima dan bersyukur atas apapun yang terjadi; dan kesedihan itu akan selalu ada karena yang namanya hidup enggak mungkin enak doang. But when we are ‘happy’, we consider the sadness is a ‘beautiful’ addition in life. Also, life can’t be bad alllll the time, right?
However, at this point, I can’t see things beyond this year. Kalau ada orang yang bertanya, apakah saya akan terus di Ubud, saya akan jawab tidak tahu. Kalau dilanjutkan dengan pertanyaan, apa yang akan saya lakukan tahun depan, saya akan jawab tidak tahu. I simply don’t have any plan, and some parts of me mad at myself to not have any spirit to plan. Halah, ribet. Intinya, saya sedang kesal sama diri sendiri yang seperti tidak punya motivasi untuk menjalani hidup ke depannya. Yang ada di pikiran saya adalah menjalani hari demi hari, besok? Lihat besok.
Padahal saya sadar bahwa dunia ini punya begitu banyak masalah, dan apakah saya hanya akan menjadi manusia yang berprinsip ‘urip mung mampir ngopi’ (dan bahkan saya bukan peminum kopi)? Sejak saya ikut kegiatannya One Island One Voice: Bali’s Biggest Clean Up pertengahan Februari lalu, saya terus menerus kepikiran tentang sampah di muka bumi. Itu belum termasuk isu RUU PKS, dan dengan demikian saya berpikiran, bagaimana caranya untuk membuka wawasan para muslimah muda tentang hal-hal yang penting untuk diperbincangkan? I don’t want us to be ignorant. Apa kita harus puas jika dilahirkan ke bumi ini, lalu pergi tanpa berusaha mengubah bumi ini menjadi tempat yang lebih baik? What’s MY legacy for the world?
Maka minggu lalu saya berbincang dengan seorang mantan atasan yang merupakan penggagas dari gerakan sosial pengumpulan koin untuk dana pendidikan anak tidak mampu. Saya ingin menjadi perwakilan di Bali dengan beberapa pertimbangan. Sayangnya, beliau punya pemikiran yang lebih matang hingga membuat saya menjadi mafhum dan mundur. Di samping itu, saya juga berencana untuk ikut Kelas Bahasa Isyarat bersama Bali Deaf Community, harapannya biar bisa jadi kontributor untuk “Cahaya dalam Sunyi”. Sayangnya (lagi), kelasnya baru akan ada bulan April yang mana saya tidak mungkin untuk ikut, karena akan sibuk mengerjakan Ubud Food Festival.
Sembari memikirkan ide untuk warisan tersebut, saya insyaAllah akan mulai menulis lagi untuk sebuah media daring. Kok bisa? Ya tahun lalu saya juga kerja dobel kan, makanya ketika break saya memperbanyak goler-goler di kasur. Hehe. Capek banget. This time I am aware on taking the job because I want to optimize my time. Halah, bilang aja takut galaaawww kalau pikiran kosong. Nah iya, jadi kalau saya sibuk, kan pikiran enggak kemana-mana. :)) Semoga saja pilihan ini juga akan membantu mengarahkan saya ke ‘jalan yang benar’.
I know I have been sharing a lot of insights and experiences about building a career, but to be honest for the last 7 years my work life has been mengalir aja gitu. I don’t know why but my plan never going perfectly as planned. If only I could (and the universe conspired to fulfill my wish), right now I’ll be in Qatar working to prepare the World Cup 2022; or in Dubai working for Emirates Literature Festival. But well, we never know. If it’s not today, maybe next year? ;)
Keep dreaming (and do the work!),
Prima
No comments:
Post a Comment