Monday, June 25, 2018

My First Week (of Living) in Ubud

Assalamu’alaikum Sister, gimana rasanya hari/minggu pertama kerja sesudah libur Idulfitri? Males males gitu yagaseeehhh. Tapi tidak berlaku untuk saya, sayangnya. Saya sekarang berdomisili di Ubud, yaaay! Dan langsung tancap gas buat kerja aja dong. Huhuhu. Alhamdulillah sih, secara yang namanya cari kerja memang susah (dan saya juga mengalami susahnya), jadi apapun itu kudu disyukuri. Yang penting halal dan berkah. *genjreng gitar* *lho kok jadi ngamen*

Nah yang namanya baru selesai Lebaran + pindahan ke pulau lain naik bis & kapal + menginap di dormitory selama seminggu + nyari kos + puasa bayar utang, bisa kebayang kan capeknya saya ("Prima mah capek mulu." - pembaca)? Makanya Sabtu kemarin saya tidur dari subuh sampai jam 10; terus setelah pindah ke kos lanjut tidur lagi dari jam 2 siang sampai hampir jam 6 sore. Malamnya enggak bisa tidur sampai jam 1 pagi, LOL. Belum lagi, Ubud diguyur hujan hampir setiap hari jadi kasur rasanya posesif banget sama badan ini. :)))))

Tapi ada sisi positif dari badan yang digeber habis-habisan, yaitu tidak terasa sudah lewat seminggu saya di Ubud. Wow. Belum terasa homesick atau nangis kangen ayah/mama/adik-adik, walau sedikit aneh aja saat sahur dan buka yang nemenin malah bule Amerika (pas sahur di dormitory). Kalau buka sih, seringnya sendiri, bikin pengin nyanyi “sudah terlalu lama sendiri…” *salaman sama Aji Kunto*

Jadi seminggu ini, Prima udah ngapain aja di Bali?

First thing first, perlu digarisbawahi saya ke sini untuk kerjooooo. Catet: kerjooooo. Kudu diulangi kayaknya: kerjooooo. Ya habisnya 11 dari 10 orang yang tahu saya pindah ke Bali pasti komentar: “enaknyaaa pindah ke Bali.” Lha tinggal di Bali itu enak kalau 1) liburan; 2) punya banyak duit. Sementara gaji saya juga enggak yang berpuluh-puluh juta gitu (belum), jadi saya harus cukup puas tinggal di kamar kos sederhana ala-ala homestay kelas melati. Kegiatan saya juga bukan yang tiap hari duduk-duduk shantay di pantai sambil menyesap orange juice; atau nongkrong sambil bikin #ootd di kafe-kafe instagrammable. NOT AT ALL. Yang ada, saya mampir ke Pantai Sanur pas udah gelap (telat nyampenya), kemudian makan malam di KFC. #toughlife

Yang namanya kerja di Bali ya hampir sama aja dengan kerja dimana-mana. Ngantor Senin-Jumat, dari pagi sampai petang, kalau mau berkegiatan yang lain ya nunggu malam atau akhir pekan. Sementara ini saya baru dua kali keluar Ubud. Hari Rabu pulang kantor ngebut ke Sanur nganterin seorang turis dari Vietnam yang pengin banget lihat laut, lalu hari Sabtu malam melipir ke Gianyar buat buka puasa. Secara warung-warung Jawa atau rumah makan Padang di Ubud belum ada yang jualan. Lumayan deh, makan ayam bakar dan terong penyet enak banget Masya Allah. 

Btw, setelah saya post di Insta story, ada beberapa followers nanyain tentang tinggal di dormitory. Actually this is not my first time, tahun 2014 waktu ke Kamboja saya nginep semalam di dorm. UWRF tahun lalu juga nginep tiga malam di dorm. Tadinya saya mau balik ke dorm itu lagi, tapi ketika saya browsing harganya kok naik, makanya saya memilih Bali Backpackers Inn.

As it costs me Rp. 40.000/night, I don’t really expect anything. Yang penting bisa taruh barang dengan aman, dan tidur+mandi dengan nyaman, sudah. Kelebihan Bali Backpackers Inn dibandingkan dorm yang saya inapi tahun lalu adalah, ada female dorm di lantai 3, terus bentuk tempat tidurnya mirip-mirip kapsul. Privasi lumayan terjaga dan ya itu menurut saya insya Allah aman karena enggak akan ada tamu yang “aneh-aneh” (secara space kasurnya lumayan sempit, apalagi buat bule). Selain itu, di lantai 1 juga ada common room lengkap dengan dapur (ada kulkas, kompor, toaster, dan microwave). Saya pun sempat sahur dengan kentang panggang karena memanfaatkan microwave, asik bener dah.

Kekurangannya, waktu saya ke situ Wi-Fi di lantai 3 lagi trouble, jadi kalau mau internetan kudu ke bawah. Berhubung itu juga dormitory murah meriah oye, beberapa tamu stay dalam hitungan minggu, bahkan bulan! Agak annoying apalagi kalau mereka ‘menandai’ tempat tertentu sebagai ‘milik’ mereka, jadi sungkan kalau mau duduk di situ padahal kan fasilitas umum ya. Terlepas dari itu, kembali lagi, hellooo ini 40ribu semalem lho. Dapat alas tidur dan atap aja kayaknya udah Alhamdulillah. Wkwkwk.

Apart of that, awalnya saya berpikir Ubud enggak terlalu spesial buat saya secara ini adalah ke-ENAM kalinya saya ke sini. Memang makan di kafe-kafe sepanjang jalan utama Ubud tidak pernah menarik hati saya (karena selain mahal, saya meragukan kehalalannya); akan tetapi, saya kemudian merasa akan ada kemungkinan untuk feel excited again after exploring the neighbourhood. Jadi bukan di Ubud-nya ya, tapi di sekitarnya. Saya belum pernah ke Tegalalang, Tampaksiring, Pura Tirta Empul, Bali Bird Park, dan masih banyak lagi. Saya juga berencana ke Nusa Penida dan Nusa Lembongan, waaah kudu ngatur jadwal (dan duit gaji) dengan ketat nih.

They say for once in a lifetime you do this kind of thing, like living in Bali (and people will see it as a ‘heaven’). But still, for a serious person like me, I’ll always put work (and then rest) in priority. Semoga aja saya enggak malas supaya bisa main ke berbagai tempat di Bali sebelum kontrak berakhir. Atau semoga saya dapat kerjaan lain jadi bisa lanjut tinggal di Bali sesudah UWRF. Atau semoga saya nikah (segera) dan suamik memutuskan untuk buka usaha di Bali. Atau… okay stop Prim, you need to live the reality. So, I’ll see you in Bali soon? ;)

Lots of love,
Prima

1 comment:

  1. waaaa, Baliii... enak yaaa berasa liburan tiap hari *disambit mbak prim* :D
    Ditunggu cerita-ceritanya yaa mbak

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...