Saturday, January 4, 2020

Book Review: Traveling Aja Dulu! - Olivia Dianina


Website Traveling Aja Dulu!: https://www.travelingajadulu.com/

It’s funny to see the way universe works to make your dream comes true. Ketika saya menerima buku Traveling Aja Dulu! dari Olivia Dianina, saya punya banyak pemikiran skeptis di benak saya. Sudah lima tahun sejak terakhir kali saya menjejak terminal keberangkatan internasional di bandara. Paspor saya yang hampir memasuki masa kadaluwarsa tergeletak menyedihkan di dalam sebuah tas bersamaan dengan dokumen-dokumen berharga lainnya. Sebentar lagi saya harus bersiap untuk membuat paspor baru meskipun juga belum tahu hendak kemana, kapan, dengan siapa, berbuat apa, dan sebagainya.

Satu bulan kemudian, saya duduk di seat 38B pesawat KLM menuju Singapura. Untuk merayakan tahun baru bersama bos dan rekan kerja (yang baru). 

As crazy and cliche as it sounds, dream CAN comes true. 

Satu hal yang membuat saya semakin merinding saat menuliskan blog post ini adalah, untuk melakukan perjalanan ke Singapura kemarin, saya tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali! Sebagaimana cerita Olivia yang kebanyakan perjalanannya di-cover oleh studi dan pekerjaan, saya jadi semakin yakin untuk bermimpi, bermimpi, bermimpi setinggi mungkin - dan izinkan Tuhan membimbing kita menuju jalan untuk mewujudkan mimpi tersebut. 

Saya mengenal Olivia di sebuah event bertajuk Nomads for Change di Ubud. Sejak pertama berjabat tangan, saya tahu kami akan berteman baik. Sosoknya yang inspiratif, penuh semangat dan optimisme, membuat saya betah berlama-lama berdiskusi dengannya. Dari mulai gelora asmara yang jenaka, hingga isu-isu sosial yang membuat hidup lebih bermakna. 

Maka saya berbangga ketika ia memilih saya untuk membaca bukunya yang memuat segala pengalaman traveling-nya. Belakangan saya tahu dari buku ini, bahwa Olivia mendapatkan empat beasiswa luar negeri dari mulai kuliah kuliah S-2 di Australia, hingga kursus tentang kebudayaan dan lingkungan di Jepang. Dengan demikian, apa yang ia bagikan di buku ini lebih dari sekadar tentang senang-senang. 

Itulah sebabnya saya memilih jalur edukasi sebagai kendaraan awal agar bisa traveling ke luar negeri. Dengan jalur itu, saya tidak perlu keluar modal besar dan bisa sejalan dengan harapan orangtua. Bonusnya, saya bisa ikut kegiatan yang akan membantu karier saya di masa depan. Berkat konferensi-lah saya bisa traveling ke luar negeri untuk pertama kali. 

Gara-gara baca buku ini, saya jadi ingat kalau pertama kali saya ke luar negeri juga bukan karena jalan-jalan semata. Tahun 2002, saya mengikuti World Scout Jamboree di Thailand, mewakili Provinsi Jawa Timur. Sepulang dari sana, saya ikut tour group untuk menyambangi Kuala Lumpur dan Singapura. Baru 16 tahun kemudian, saya bisa mengunjungi Singapura lagi (kalau Kuala Lumpur terakhir tahun 2014). 

Traveling membuat saya terhindar menjadi “katak dalam tempurung” atau orang yang sama sekali tak tahu-menahu perspektif orang lain dan merasa paling benar sendiri. 

Olivia mengawali buku ini dengan pertanyaan "Why You Should Travel", dan ia merefleksikan pertanyaan tersebut ke dalam dirinya dengan sangat baik, salah satunya dengan jawaban di atas. Saya pribadi setuju dengan pendapatnya, karena traveling menyadarkan saya bahwa ada hal-hal di luar ‘dunia saya’ yang patut saya pelajari dan dalami. Dengan mengenali budaya dan kebiasaan hidup orang dari negara lain, saya berharap sifat empati saya semakin tumbuh dan tidak menjadi orang yang “ngototan”.

Olivia juga menyatakan bahwa traveling membuat dirinya lebih siap dan sigap dalam menghadapi masalah. Oh, tentu saja, Pemirsa! Jauh berbeda saat kamu berada di daerahmu sendiri, segalanya hampir dapat dipastikan lebih mudah. Tetapi saat kita bepergian ke tempat yang sama sekali asing, kita akan lebih kreatif - dari mulai merencanakan waktu kita agar lebih efektif, membaca peta dan memilih moda transportasi, hingga menghitung anggaran dan menghemat pengeluaran. Belum lagi kalau ada masalah yang terjadi di lapangan seperti ketinggalan pesawat (Olivia pun pernah, dan saya terbahak-bahak membacanya - cek halaman 115!), atau kehilangan barang berharga. Kalau bisa ya jangan sampai mengalami hal tersebut sih, tetapi kalau sudah kejadian.. Mau apa lagi? Masa bisa hanya merutuki nasib? Keep moving forward, especially when you are in ‘expensive’ continent like Europe, waktu benar-benar adalah uang!

A human can’t take too much rejection at the same time, tapi saya percaya kegigihan akan menghasilkan buah manis. 

Seperti saya singgung sedikit di atas, Olivia gemar mencari peluang untuk bisa bepergian ke luar negeri secara gratis. Di samping kuliah, Olivia juga kerap pergi ke luar negeri dengan tujuan mewakili Indonesia untuk konferensi internasional, sebagai contoh: Kanada, Cina, Vietnam, dan Amerika Serikat. Tak lupa, Olivia menjadi relawan - tidak tanggung-tanggung, di Kolombia!

Inilah mengapa saya merekomendasikan kamu, terutama yang sedang berada di bangku kuliah, untuk membaca buku ini. Bermodalkan mata yang cermat, persiapan yang cerdik, dan manajemen waktu yang optimal, kamu bisa mengikuti jejak Olivia ke berbagai belahan dunia dengan GRATIS! 

Barang tentu tidak ada sesuatu terjadi begitu saja. Beruntung saya mengenal Olivia secara pribadi, saya tahu bahwa apa yang ia dapatkan bukanlah rezeki nomplok. She works hard for that, and so I second what she said above. Tak terbayang berapa banyak penolakan yang sudah ia terima, tetapi ia maju terus, and look at her now. 

Nah, don’t worry! Olivia sangat murah hati dalam memberikan tips dan trik, terutama persiapan traveling bagi yang baru pertama kali ke luar negeri atau bahkan bepergian dengan pesawat. Cara bikin paspor, sampai packing efisien - diulas di buku ini. Saya pun sudah menyematkan pembatas pada bahasan tentang pembuatan visa - yaaa siapa tahu saya berkesempatan menyambangi Eropa dalam waktu dekat? Aamiin!


Sebelum mengucapkan selamat tinggal, saya sempat bertanya kepada Simon, how do you know how to trust a person you don’t know? Saya penasaran bagaimana mungkin dia bisa mudah percaya dengan orang asing selama traveling. 
“You can just tell by the eyes”, jawabnya singkat.

Okay, cukup tentang hal-hal teknis. Bukankah yang ditunggu-tunggu adalah pengalaman Olivia ke negara-negara yang unik, tentunya dengan kejadian-kejadian yang unik pula? Bab 10 terdiri dari tiga sub-bab: Tiga Minggu Solo Travelling ke Empat Negara di Eropa Tengah dan Timur; Tiga Bulan Keliling Dunia Sendirian; dan Tiga Minggu Mengarungi Tujuh Negara Eropa. Bikin ngiler banget!

Beberapa cerita yang menurut saya paling menarik adalah Belajar Ilmu Lingkungan di Amerika Serikat dan Meneliti di Atap Dunia: Kathmandu, Nepal, walaupun cerita-cerita lain tak kalah seru, seperti saat Olivia berada di Kolombia (saya jadi penasaran ingin mengulik Amerika Selatan). Mengenal Olivia yang ceria dan terbuka dalam berinteraksi dengan orang lain, saya membalik halaman demi halaman sembari tersenyum. Utamanya tempat menginap dan teman berpetualang, Olivia tak mengalami kesulitan dalam hal keduanya selama melakukan perjalanan ke berbagai negara. Seperti saat ia mampir ke Amsterdam, Belanda dan menginap di rumah sepasang digital nomad yang ia temui saat tinggal di Kolombia (Kolombia lagi, Kolombia lagi). Atau ketika Olivia mengunjungi Zurich, Swiss, ia diajak berkeliling oleh warga lokal, bahkan berenang dan makan di tepi sungai. Begitulah, jika kamu berangkat dengan niat yang tulus, akan selalu ada keramahan sepanjang jalan.

Menyimak persahabatan yang terjadi di antara Olivia dan traveler lainnya yang ia temui, membuat hati saya hangat….. dan tak sabar untuk melakukan perjalanan saya sendiri. 

Kesimpulannya, buku Traveling Aja Dulu! ini merupakan salah satu buku “guideline” tentang traveling paling lengkap, yang menurut saya, ditujukan untuk para traveler pemula. Why so? Karena Olivia menuliskannya dengan alami, termasuk segala keriangan dan ‘kebodohan’ yang ia lakukan layaknya manusia biasa. Maksud saya, ia tidak bermaksud untuk menggurui dan sok teu sama sekali. Justru kita bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan - dan jangan takut saat menghadapi tantangan, karena dari situ, mungkin kita akan merasakan kejadian tak terlupakan. Sebagai contoh, saat Olivia terjebak dalam situasi mati lampu di Nepal, yang kemudian justru mengubah pandangannya terhadap orang asing. 

I can tell you a lot more things about what’s inside the book, but really, karena buku ini sangat padat dan kaya rasanya enggak akan rugi untuk membeli dan menyimpan buku ini di rak buku. You can always read again the chapters as you need. So, for more information about the book, you can check this Instagram, and also Olivia’ Instagram. Happy reading!

For the love of traveling,
Prima

2 comments:

  1. Prima! Terima kasih sudah review buku Traveling Aja Dulu!
    Senang banget kamu bisa enjoy isi bukunya.
    Untuk update blog perjalananku bisa di lihat di www.travelingajadulu.com ya?

    Terima kasih :)

    Hugs xx

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...