Monday, February 18, 2019

Monday Journal #7

Hari Senin dan Kamis minggu lalu, saya mencoba untuk puasa sunah. Tujuannya supaya kurus buat latihan menjelang bulan Ramadan, semacam ‘pemanasan’ dan membiasakan diri. Apalagi Ramadan tahun ini saya akan berpuasa sambil bekerja di kantor secara penuh waktu, dan commuting dengan motor sejauh 13km sekali jalan. It’s a very big deal for me as the last time I worked in Ramadan was in 2014. Sisanya, diisi dengan kuliah atau mengerjakan tesis – yang sebenarnya enggak ringan juga. Tapi bukan bekerja yang membuat saya merasa berat. Belum-belum saya merasa sedih saat membayangkan seharian puasa itu tidak dimaksimalkan untuk salat sunah atau membaca Alquran. Yaaa, semoga ada cara agar Ramadan tidak terlewatkan begitu saja. Aamiin. 

Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah: Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226). [Sumber]

Kembali ke saya, ternyata minggu lalu saya malah nge-drop. Sebenarnya ada andil dari psikosomatis yang saya alami, tapi saya enggak pernah sakit perut seperti itu! Hari Kamis saya putuskan tetap lanjut puasa sambil ‘mengistirahatkan’ perut, dan Alhamdulillah sakitnya hilang. Cumaaa, dehidrasinya semakin parah (ya iyalah). Terpaksa hari ini saya skip puasa dulu, terutama karena saya masih belum terbiasa motoran Denpasar-Gianyar (jauuuh, capeeek, punggung remeeek).

Bagaimanapun, berhubung saya sudah berkomitmen untuk pindah kos sejauh itu DEMI dekat dengan masjid, ya ‘mau enggak mau’ saya membiasakan diri untuk salat di masjid setiap isya’ (penginnya sih sejak sebelum magrib sudah standby di masjid, tapi biasanya baru nyampe kos). So, how is life in Gianyar? Kotanya kecil walaupun Gianyar justru merupakan pusat kabupatennya Ubud. Perbandingannya Gianyar mungkin Tulungagung, Jawa Timur. Sepertinya sejauh mata memandang, orang tinggal di Gianyar karena mengikuti suami/ayah yang menjadi tentara atau polisi. Ada juga mahasiswa sekolah perhotelan atau akademi pariwisata, tapi populasi warga yang lebih banyak adalah yang sudah berkeluarga. Makanya setiap kenalan di masjid atau ngobrol sama orang di supermarket (hahaha it’s not even a C*rrefour or Super*ndo), orang pasti heran sama saya. Kerja di Ubud, masih single, what the hell are you doing in this tiny city?    

Hingga saat ini saya pribadi belum begitu betah di Gianyar. Biar dikata Ubud is just too touristy, tapi orang-orang di Ubud sangat hangat dan ramah. But we’ll see, maybe I need 1-2 weeks more to be settled in this city. If not, I can always move back to Ubud. Entah mengapa, akhir-akhir ini saya enggak mau hidup saya dibuat susah atau repot oleh hal-hal ‘kecil’. Semua masalah di dunia ini PASTI ada solusinya. Kalau sampai belum kelar, ya mungkin memang belum waktunya. At least we tried, and we pray for it. So, whatever you are facing at the moment, don’t lose hope. Allah knows your struggle, He just wants to see your patience. Sampai kapan harus bersabar? Ya sampai nanti, sampai mati. :)

Lots of love,
Prima

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...