Kata psikolog, saya ini anomali. Pada dasarnya saya adalah seorang yang individualis, lebih cenderung ke introvert; tapi sangat mudah berbaur, senang berteman, dan ceria.
Beberapa bulan terakhir, saya menemukan anomalitas saya yang lain. Saya sangat ingin eksis di dunia online (who doesn’t?), tapi saya juga malas berbagi sesuatu yang pribadi terlalu sering. Lihat saja Twitter atau Instagram saya yang post-nya semakin jarang. Puncaknya, kemarin pagi saya akhirnya uninstall Facebook dari hp saya. Saya merasa lelah membaca hal-hal buruk yang seliweran di news feed. Kadang, bukan artikel atau fakta-nya yang buruk, tapi so many stupid people commenting on what they don’t know. Apalagi terus saling mencari kesalahan, seolah-olah yang nulis udah paling benar sedunia.
I’m so exhausted.
Bahkan saya jadi sering berprasangka buruk terhadap orang-orang yang saya kenal baik, karena post itu kan sangat mudah dihakimi. Saya tidak melihat bagaimana ekspresi orang tersebut ketika menulis atau mengunggah suatu post. Apakah benar ketika dia mem-post sesuatu yang menyedihkan, dia memang sedang bersedih? Atau pencitraan saja? Sebaliknya juga demikian dengan ibu-ibu yang hobinya membanjiri timeline dengan foto ‘lucu’ anaknya. Mereka tidak salah. Yang salah saya, yang berprasangka buruk and sometimes I can’t handle myself.
Jujur, saya mulai malas mem-post foto diri sejak melihat banyak hijabers berkeliaran dengan wajah cantik dan baju mahalnya. Saya harus mengakui bahwa sebagian kecil dari pengakuan saya bisa jadi dikarenakan iri dan dengki. Tidak masalah. Itu manusiawi. Tapi saya sungguh terusik karena esensi hijab yang harusnya menundukkan pandangan jadi tidak berlaku lagi akhir-akhir ini. Muslimah berlomba-lomba mempertontonkan kecantikannya, yang sangat mungkin menjadi fitnah bagi orang lain.
Tapi muslimah-muslimah ini tidak sendiri. Semakin banyak pula remaja perempuan – dalam hal ini, orang Indonesia – yang bangga menunjukkan fotonya sedang berbikini, atau mengenakan rok yang sangat-sangat pendek. Saya tidak sedang berbicara masalah budaya Timur atau budaya Barat; atau pakaian yang sesuai dengan tempat. Tapi aktivitas mem-post-nya itu lho. Saya masih percaya bahwa tidak semua hal perlu diberitahukan kepada dunia. Baik itu aktivitas pribadi, maupun perasaan atau pendapat kita terhadap orang lain – yang bisa jadi aib baginya.
Saya khawatir generasi berikutnya (itu... anak-anak SD yang sudah punya Instagram) berpikir bahwa hal itu benar dan baik adanya. Secara saya belajar Ilmu Komunikasi jadi paham betul bahwa jika suatu ide sering terekspos, orang-orang akan menerimanya sebagai suatu kebenaran. Sementara keduanya: yang muslimah maupun yang berpakaian terbuka; I have to say, tidak ada yang lebih baik dari keduanya.
Kembali ke judul post ini, kadang saya merasa minder dengan diri sendiri. Dulu, saya berharap blog sederhana ini bisa jadi inspirasi and a little light for people who is looking for an answer. Akhirnya, blog ini membawa saya menjadi the Inspiring Muslimah saat World Muslimah Award.
Tapi sekarang, semakin hari saya semakin nyaman menjadi invisible. Saya ingin semakin tidak terlihat. Kadang saya berpikir untuk berhenti menulis atas nama pribadi karena tidak siap dengan respon orang yang tidak dapat dikontrol. Tapi lebih dari itu, kadang saya berpikir seribu kali untuk mem-publish suatu tulisan/foto hanya karena saya tidak ingin ‘mengotori’ dunia yang sudah riuh ini. Lebih baik saya simpan sendiri, saya renungkan sendiri. Pikiran itu terus menghantui saya.
Pagi ini, saya belum terhindar sepenuhnya dari aliran kabar (atau komen orang) yang negatif. Kalau biasanya bangun tidur ku terus buka Facebook (demi mengecek siapa yang berulangtahun hari ini), saya membuka Line – dan ternyata sama parahnya!!!!! Susah payah saya harus mengembalikan mood yang jatuh karena para remaja penggila Line ini, meninggalkan komentar di berbagai post yang.....duh, pokoknya memprihatinkan deh.
Dear readers, kalau kamu masih percaya pada Tuhan dan segala karunianya, bahkan sedikiiit saja, yuk sama-sama mempertimbangkan ulang saat kamu meng-klik ‘post’ – dan juga ‘like’, ‘comment’, atau ‘share’. Nanti di suatu hari nanti, saat mulut dikunci, masihkah kita bisa meyakinkan Tuhan bahwa apa yang pernah kita post bisa membawa kita ke surga? Atau justru karena post-post itulah, kita terpaksa harus mendekam di neraka?
Renungkan.
Lots of love,
Prima
Mbak Prima, lama sekali ya saya tak mampir ke sini. Ehm, baca yg ini saya takut. Takut masuk neraka. Ada kalanya saya juga khilaf mbak post sesuatu yg mungkin menyakiti hati orang lain.
ReplyDeleteNgomong2 soal akun sosial media, sedikit demi sedikit saya hapus dari hape saya mbak, misalnya Line dan facebook (skrg buka lewat browser-apa bedanya ya?)
Haiii kak Prim, kangen loh sama tulisan-tulisannya. Aku pun kurang lebih ngerasain hal yg sama. Makanya aku sekarang lebih aktif di blog buku. Masih belum seriuh sosmed ato blog gado-gado.
ReplyDeletesya juga introvert loh kak, suka ikut mrngawasi akivitas didunia sosmed tapi ga suka ikut nimbrung komenya.. biasanya sih flaming gitu. sadar ga sadar hati juga bisa kemakan emosi juga hahahaha
ReplyDeletesaya juga... saya juga
ReplyDelete