Akhir-akhir ini, saya dibikin geregetan lagi sama tweet-nya Ustadz Felix Siauw. Iya, yang lagi ramai diperbincangkan itu. Dulu, waktu tweet-nya baru keluar, saya sudah memutuskan untuk tidak ambil hati karena tweet-tweet itu – tentang ibu rumah tangga vs ibu bekerja – sudah sangat menyakitkan. Kayaknya, jadi ibu bekerja itu salah besar di mata agama – ralat, mata Ustadz Felix Siauw. Padahal, setahu saya, istri beliau juga salah satu reseller Hijab Alila, jadi tidak murni ibu rumah tangga 100%. 'Ustadzah' Benefiko yang tim dakwah beliau juga aktif mengerjakan ilustrasi. Walaupun beliau bisa berkelit dengan memprioritaskan pekerjaan rumah tangga daripada kegiatannya yang seabreg itu – termasuk diundang kajian ke luar kota – tetap saja buat saya yang bahkan belum jadi ibu, hal itu menyakitkan. Seolah-olah mereka hendak mengatakan, “nih gw aja bisa (jadi ibu rumah tangga), masa loe ga bisa?” Terus ternyata ujung-ujungnya mereka bekerja juga -___- #gagalpaham
Sebelum semakin panjang, saya ingin menggarisbawahi bahwa saya berlindung kepada Allah dari interpretasi yang tidak sejalan dengan hukum-Nya. Saya, dengan status sebagai single, tetap akan bersyukur jika diharuskan oleh suami untuk di rumah. Meski dengan kemampuan nulis yang saat ini belum seberapa, saya cukup pede untuk bisa punya kegiatan di rumah. Tapi, menurut saya pribadi, setiap manusia punya hak dan kewajiban untuk menciptakan kontribusi untuk ummat. Hal itu sudah dibuktikan oleh ustadzah-ustadzah yang aktif menulis buku dan mengisi kajian dimana-mana kan. Jadi, 'mengekang' perempuan dengan alasan anak-anak itu kurang tepat. Anak-anak juga perlu melihat dan mengalami sendiri bahwa ibunya berjuang untuk ummat, sehingga mereka menjadi pribadi yang mandiri. Mereka termotivasi untuk memaksimalkan umur yang ada untuk kebaikan, dengan cara yang bervariasi – sekolah, mengajar, berdakwah, berjualan, dan sebagainya. Dengan demikian, generasi selanjutnya menjadi lebih tangguh.
Itu menurut saya.
Untuk menyeimbangkan 'kritik' saya terhadap Ustadz Felix Siauw, saya juga sangat tidak setuju jika ada perempuan yang bekerja hanya untuk meningkatkan bargaining position. Biasanya, biasanya nih sister, perempuan yang mencari uang dengan berpikir, “nanti kalau ada apa-apa sama suami (di-PHK, selingkuh, dll – naudzubillah), saya ga ada pegangan dong” - itulah yang akan terjadi. *getok getok meja
Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, insyaAllah memang akhirnya negatif. Tau ga, kalau pikiran “duh besok makan apa ya?” itu amat sangat menghina Allah. Kalau kita percaya bahwa akan selalu ada rezeki dan menjaga khusnudzan kepada Allah, insyaAllah hasilnya akan jauuuuuh lebih positif.
Duh prim, kamu plin-plan banget sih, jadi sebenarnya kamu ngedukung perempuan bekerja atau engga sih? Iya, saya dukung, dengan alasan-alasan yang syar'i. Untuk menambah wawasan sister, baca lagi deh post saya tentang alasan istri bekerja disini. Bekerja untuk Allah, bekerja untuk kebaikan bersama, bukan untuk nunjukin ke suami, “ini lho gw kerja dan gw bisa beli sofa baru, loe bisa beliin apa?” Bukan, sama sekali bukan.
Oya, saya juga ga mengharuskan semua ibu bekerja lho. Kalau ada ibu-ibu yang nyaman dengan keadaan sekarang, saya juga dukung banget kok. Terutama jika anak-anak masih kecil dan keluarga tidak dalam keadaan kepepet banget, ya prioritaskan urusan rumah. Apalagi kalau ternyata ketika anda bekerja malah semuanya makin ribet – misalnya mulai menitipkan anak ke mertua/babysitter; atau gaji yang menurut anda ga sepadan dengan kerja keras dan juga lebih kecil daripada bulanan yang dikasih oleh suami; silahkan dipikirkan lagi, apa yang perlu anda 'kejar' dalam hidup?
Tentu saja jikalau anda tetap ingin punya babysitter walaupun anda ibu rumah tangga, itu juga sepenuhnya hak anda. Siapa tahu ada yang merasa babysitter dengan segala pendidikannya bisa lebih telaten dalam mengajari anak, dan anda bisa mencontek tips itu untuk diterapkan selanjutnya; bukankah berbagi rezeki dengan orang yang membutuhkan juga baik?
**
Suatu hari, seorang ibu yang menjabat sebagai salah satu pimpinan sebuah perusahaan memberi gambaran, ada dua orang ibu:
Ibu A: pekerjaannya hanya mengantar-jemput anaknya yang sudah SMA, rumah diurusi oleh asisten rumah tangga, seharian di rumah paling banter nge-gym, terus main handphone, atau keluar rumah untuk arisan. Anaknya pulang sekolah, ada guru les, terus ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.
Ibu B: sembari mengantar anaknya yang sama-sama sudah SMA ke sekolah, ibu ini berangkat ke kantor. Rumahnya diurusi oleh asisten rumah tangga juga deh. Anaknya pulang sekolah sendiri dengan angkutan umum, lalu ke bimbel, dan pulang dari bimbel dijemput oleh sang ibu. Ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.
Gimana menurut sister? Mana yang 'lebih terlihat baik' di mata sister? Dengan keadaan kedua ibu sama-sama hanya punya waktu untuk berinteraksi dengan sang anak di malam hari. Mungkin akan ada yang menyanggah, “yah si Ibu B kan udah capek pas pulang dari kantor, mana bisa ngobrol? Terus gimana kalau ibunya lembur?”
See? Saya ga akan pernah bisa 'menyetir' pemikiran sister tentang yang mana yang lebih baik, karena kita semua berangkat dari latar belakang yang berbeda, memiliki ibu yang mengajarkan nilai-nilai yang berbeda, dan kitapun tumbuh dewasa dengan mengambil sikap yang berbeda-beda pula. Tapi satu hal yang pasti sama: setiap individu punya waktu 24 jam sehari, dan pilihan untuk menggunakan 24 jam itu kembali kepada masing-masing. Iya, jadi ibu itu pahalanya luar biasa dan bisa masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Tapi, kalau memang sanggup dan keadaan mendukung untuk menjadi ibu plus plus, yakin kesempatan mengumpulkan amal jariyah lebih banyak ini ga mau diambil?
You decide.
To all of the GREAT mothers - no matter what you do,
Prima
Sebelum semakin panjang, saya ingin menggarisbawahi bahwa saya berlindung kepada Allah dari interpretasi yang tidak sejalan dengan hukum-Nya. Saya, dengan status sebagai single, tetap akan bersyukur jika diharuskan oleh suami untuk di rumah. Meski dengan kemampuan nulis yang saat ini belum seberapa, saya cukup pede untuk bisa punya kegiatan di rumah. Tapi, menurut saya pribadi, setiap manusia punya hak dan kewajiban untuk menciptakan kontribusi untuk ummat. Hal itu sudah dibuktikan oleh ustadzah-ustadzah yang aktif menulis buku dan mengisi kajian dimana-mana kan. Jadi, 'mengekang' perempuan dengan alasan anak-anak itu kurang tepat. Anak-anak juga perlu melihat dan mengalami sendiri bahwa ibunya berjuang untuk ummat, sehingga mereka menjadi pribadi yang mandiri. Mereka termotivasi untuk memaksimalkan umur yang ada untuk kebaikan, dengan cara yang bervariasi – sekolah, mengajar, berdakwah, berjualan, dan sebagainya. Dengan demikian, generasi selanjutnya menjadi lebih tangguh.
Itu menurut saya.
Untuk menyeimbangkan 'kritik' saya terhadap Ustadz Felix Siauw, saya juga sangat tidak setuju jika ada perempuan yang bekerja hanya untuk meningkatkan bargaining position. Biasanya, biasanya nih sister, perempuan yang mencari uang dengan berpikir, “nanti kalau ada apa-apa sama suami (di-PHK, selingkuh, dll – naudzubillah), saya ga ada pegangan dong” - itulah yang akan terjadi. *getok getok meja
Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, insyaAllah memang akhirnya negatif. Tau ga, kalau pikiran “duh besok makan apa ya?” itu amat sangat menghina Allah. Kalau kita percaya bahwa akan selalu ada rezeki dan menjaga khusnudzan kepada Allah, insyaAllah hasilnya akan jauuuuuh lebih positif.
Duh prim, kamu plin-plan banget sih, jadi sebenarnya kamu ngedukung perempuan bekerja atau engga sih? Iya, saya dukung, dengan alasan-alasan yang syar'i. Untuk menambah wawasan sister, baca lagi deh post saya tentang alasan istri bekerja disini. Bekerja untuk Allah, bekerja untuk kebaikan bersama, bukan untuk nunjukin ke suami, “ini lho gw kerja dan gw bisa beli sofa baru, loe bisa beliin apa?” Bukan, sama sekali bukan.
Oya, saya juga ga mengharuskan semua ibu bekerja lho. Kalau ada ibu-ibu yang nyaman dengan keadaan sekarang, saya juga dukung banget kok. Terutama jika anak-anak masih kecil dan keluarga tidak dalam keadaan kepepet banget, ya prioritaskan urusan rumah. Apalagi kalau ternyata ketika anda bekerja malah semuanya makin ribet – misalnya mulai menitipkan anak ke mertua/babysitter; atau gaji yang menurut anda ga sepadan dengan kerja keras dan juga lebih kecil daripada bulanan yang dikasih oleh suami; silahkan dipikirkan lagi, apa yang perlu anda 'kejar' dalam hidup?
Tentu saja jikalau anda tetap ingin punya babysitter walaupun anda ibu rumah tangga, itu juga sepenuhnya hak anda. Siapa tahu ada yang merasa babysitter dengan segala pendidikannya bisa lebih telaten dalam mengajari anak, dan anda bisa mencontek tips itu untuk diterapkan selanjutnya; bukankah berbagi rezeki dengan orang yang membutuhkan juga baik?
**
Suatu hari, seorang ibu yang menjabat sebagai salah satu pimpinan sebuah perusahaan memberi gambaran, ada dua orang ibu:
Ibu A: pekerjaannya hanya mengantar-jemput anaknya yang sudah SMA, rumah diurusi oleh asisten rumah tangga, seharian di rumah paling banter nge-gym, terus main handphone, atau keluar rumah untuk arisan. Anaknya pulang sekolah, ada guru les, terus ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.
Ibu B: sembari mengantar anaknya yang sama-sama sudah SMA ke sekolah, ibu ini berangkat ke kantor. Rumahnya diurusi oleh asisten rumah tangga juga deh. Anaknya pulang sekolah sendiri dengan angkutan umum, lalu ke bimbel, dan pulang dari bimbel dijemput oleh sang ibu. Ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.
Gimana menurut sister? Mana yang 'lebih terlihat baik' di mata sister? Dengan keadaan kedua ibu sama-sama hanya punya waktu untuk berinteraksi dengan sang anak di malam hari. Mungkin akan ada yang menyanggah, “yah si Ibu B kan udah capek pas pulang dari kantor, mana bisa ngobrol? Terus gimana kalau ibunya lembur?”
See? Saya ga akan pernah bisa 'menyetir' pemikiran sister tentang yang mana yang lebih baik, karena kita semua berangkat dari latar belakang yang berbeda, memiliki ibu yang mengajarkan nilai-nilai yang berbeda, dan kitapun tumbuh dewasa dengan mengambil sikap yang berbeda-beda pula. Tapi satu hal yang pasti sama: setiap individu punya waktu 24 jam sehari, dan pilihan untuk menggunakan 24 jam itu kembali kepada masing-masing. Iya, jadi ibu itu pahalanya luar biasa dan bisa masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Tapi, kalau memang sanggup dan keadaan mendukung untuk menjadi ibu plus plus, yakin kesempatan mengumpulkan amal jariyah lebih banyak ini ga mau diambil?
You decide.
To all of the GREAT mothers - no matter what you do,
Prima
Saya juga sependapat dengan mbak prima
ReplyDeletesaya -entah ini namanya jengkel atau apa- rasanya pingin nulis juga sperti mbak gini kalau baca tweet nya felix itu. tp infonya itu tweetnya kepotong mba, masih ada lanjutannya...
Semoga kita dihindarkan dari sifat suka menjudge seperti ustadz itu yah hihi
Mungkin lebih baik baca buku Alpha Girl's Guide-nya om Henry Manampiring deh mbak Prima, biar santai~
ReplyDelete#lah
Couldn't agree more, kak Prim! Apapun tipenya, selama bisa megang amanah baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya, ibu sama-sama hebat. apalagi ibu naga #lah
ReplyDelete