Wednesday, December 23, 2015

At the End of the Journey

Januari 2012

Aku memandangi kamar berukuran 3 x 3 yang kini tampak lapang. Disinilah, selama empat tahun lamanya, aku 'tinggal' dan mencari arti hidup yang lain. Meski sejujurnya, dari sejak awal aku tidak pernah berencana untuk tinggal secara permanen disini. Empat tahun yang lalu, aku hanya ingin pergi........jauh. Berkelana. Hidup mandiri. Tapi aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku terdampar di kota yang hanya berjarak 90 kilometer dari kota kelahiranku. Di kota ini, ayahku juga memiliki rumah, tapi berhubung pendirianku sudah teguh, aku memutuskan untuk nge-kos.

Ya, aku empat tahun yang lalu, adalah anak yang (sok) dewasa, yang muak dengan segala apa yang terjadi di rumahku; aku hampir setiap hari bertengkar dengan ibuku. Barangkali aku juga bosan dengan lingkungan pergaulanku yang penuh hura-hura. Belum lagi nasib buruk menimpaku: aku tidak lulus ujian nasional SMA. Aku lelah, aku hilang arah, dan aku merasa perlu menyepi agar dapat menata masa depanku dengan tenang.
Alasan utamaku pergi ke Ubud adalah agar aku dapat menghindari suatu acara yang akan membuatku berhadapan dengan orang-orang yang menyakiti hatiku, salah satunya adalah suamiku sendiri. Alasan keduaku adalah untuk berpikir dan mengetahui apa yang harus aku lakukan selanjutnya. (Crossroads in Ubud, halaman 3)
'Perjalanan' itu, yang kemudian membuka mataku akan suatu jalan kehidupan yang lain. Persahabatan sejati, jatuh cinta dan patah hati, perjuangan menemukan passion...semua terjadi di kota Malang. 

***
Confidence is power. Dan menjadi cantik adalah salah satu jalan ke sana. Namun, at the end of the day, kenyamanan dan kebahagiaan ada pada saat kita bisa menjadi diri sendiri. (How to Love Yourself, halaman 76)
“Ay, dulu tuh perasaan waktu awal-awal kita kenal, kamu tuh selalu pakai baju yang modis. Terus lumayan sering dandan. Sekarang kok udah jarang sih?”
Aku tergelak menanggapi perkataan pacarku [sekarang mantan, dan dia sudah menikah sebulan yang lalu, CONGRATULATION! (tulus lho ini ngucapinnya, lol)]. Aku berkaca pada cermin di ruang kecil di 'kantor' Unit Kegiatan Mahasiswa FORMASI (Forum Mahasiswa Studi Bahasa Inggris), tempat kami pertama kali bertemu, dan kemudian menjadi anggota. Aku menggumamkan pembelaanku. Aku harus mengakui perkataannya ada benarnya. Ketika SMA, dengan teman-temanku yang kebanyakan model dan anak orang kaya, setidaknya aku terlatih mengenakan pakaian yang appropriate. Aku bahkan pernah masuk majalah remaja ketika menghadiri acara off-air mereka di sebuah mall. 


Tapi waktu berselang, teman-teman kuliahku di Malang lebih beragam. Kebanyakan lebih sederhana. Lebih alami. Dan ternyata yang sederhana dan alami lebih nyaman bagiku. Selamat tinggal rok mini, selamat datang celana jeans dan kaos belel (...dan hal ini tetap bertahan hingga aku menjadi penyiar radio di tahun kedua kuliah. Aku pernah pergi kerja dengan celana training dan kaos gombor, padahal ternyata aku harus meng-interview grup penyanyi. Untunglah aku punya cukup waktu untuk meminjam baju dari teman yang kosnya dekat dengan radioku).

***

Handphone-ku bergetar, sopirku mengirim sms, “oi, ayo brgkt.”
Aku sedikit gusar, nanti aku harus meminta mamaku untuk mengingatkan agar dia lebih sopan. Aku menuruni anak tangga, berpamitan dengan ibu kosku sekali lagi, dan menaiki mobil. Aku duduk di sebelah sopir karena kabin tengah dan belakang dijejali barang-barangku. Kadang aku heran, empat tahun dan aku mengumpulkan begitu banyak barang. Belum lagi barang-barangku yang sudah aku kirim ke rumah dengan kargo minggu lalu, dan ada lagi yang aku titipkan kepada omku yang akan pergi ke Surabaya beberapa hari lagi. 


Belum setengah jam perjalanan, handphone-ku bergetar lagi.
“Yaaah, udah brgkt ya? Aku baru sampe kosmu. Maaf bgt aku telat, tp pokoknya jgn lupa kapan2 main ke Mlg lg.”
Mayu. Si sahabatku yang memang hobi terlambat (kuliah, kerja kelompok, nonton bareng – mottonya adalah 'kalau bisa terlambat, kenapa harus tepat waktu?' Haha.) ternyata mau memberikan kejutan perpisahan untukku. Sayang sekali aku harus segera berangkat agar tidak terlalu malam tiba di Surabaya. Untung saja kemarin lusa kami sudah sempat makan malam bersama, dimana dia memberiku sebuah notebook yang katanya, “untuk mendukung hobi menulis-mu, prim.”
Aku tersenyum. Kata-katanya begitu mulus tanpa modus. Memang soulmate tidak harus berarti romantis. Bisa saja artinya pertemanan yang manis. (The Alley of Marrakech, halaman 111)
Tidak lama kemudian, sopirku mengarahkan mobil ke SPBU. Aku mengambil uang dari dompet, dan sedikit tercenung. Aku teringat bahwa dompet yang sudah sedikit pudar warnanya ini, adalah hadiah terakhir dari pacar – iyaaa, mantan, hadeh.
Pengalaman sudah mengajarkanku untuk selalu setia pada diri sendiri. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan orang yang mempunyai nilai-nilai hidup yang berbeda. Sudah saatnya aku melepaskan Peter, membiarkannya pergi bersama harapan-harapan yang sudah terlanjur kutumpukkan di punggungnya. Tak ada pilihan lain, kami harus mengemas semua memori dan mulai pindah hati. (Pindah Hati di Alexandria, halaman 150)
Setelah 3,5 tahun bersama, kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan pada saat kami memulai penulisan skripsi. Kalau saja kami masih berpacaran, kami pasti akan menghadiri wisuda bersama. Setelahnya, kami akan mengadakan makan siang bersama, dengan orangtuaKU dan orangtuaNYA. Aku sempat berpikir, mungkin saat itu akan menjadi waktu yang tepat untuk mendiskusikan kelanjutan hubungan kami. 

Tapi ternyata, Tuhan tidak mengizinkan hal itu terjadi. Tanda-tanda perpisahan sebenarnya sudah tercium sejak hubungan kami mencapai tahun kedua. Sembari kuliah, aku semakin aktif di kegiatan ekstrakurikuler dan bekerja part-time. Ujung-ujungnya, dia rajin mencari alasan untuk membuatku merasa bersalah. Yang tidak bisa bertemu dengannya-lah, yang memprioritaskan kegiatan dan teman-temanku daripada dia-lah, dan kemudian yang terakhir, dia menduga aku sudah 'berubah'. Aku tidak menyayanginya lagi, melainkan lebih memperhatikan laki-laki yang lebih dewasa, sudah bekerja, dan terlihat punya masa depan yang cerah. Aku kesal karena merasa ruang gerakku menjadi sempit, dan aku langsung setuju ketika ia mengatakan kami harus putus.

***

Ketika adzan isya' berkumandang, kami sudah dua pertiga perjalanan. Aku bisa melihat tanggul lumpur Lapindo disamping kananku. Alhamdulillah, jalanan tidak terlalu macet. Aku tersenyum, mengingat satu momen saat aku melakukan perjalanan dari Surabaya ke Malang beberapa bulan yang lalu. Aku tidak sendirian, aku sedang bersama rombongan Persema Malang, klub sepak bola yang aku teliti untuk skripsiku. Mereka baru saja menang besar pada pertandingan di Surabaya, dan karena kebetulan aku juga hendak kembali ke Malang setelah menonton mereka, mereka mengajakku ikut di bis mereka. Waktu itu, kami terjebak macet panjang disini. Di sela-sela menonton film, aku menemukan diriku curhat kepada beberapa pemain perihal putusnya hubunganku dengan pacar-(MANTAN, Ya Tuhan, prima)-ku. Aku lupa judul film yang kami tonton, tapi aku ingat kata-kata Mamoun, si pemain Nigeria: “prima, you deserve to be with someone who support your growth, and happy to see you improving yourself. You need a strong man who doesn't feel insecure with your achievements.”

 
Malamnya, ketika kami tiba di Malang, HSM, si pemain Korea, mengantarkan aku ke kos. Sebelum aku turun, ia berkata dengan bahasa Indonesia yang patah-patah, “Oppa tidak mengerti kamu bicara apa, tapi Oppa tahu kamu putus sama boyfriend kamu. Selama Oppa disini, Oppa tidak mau lihat kamu sedih. Kalau kamu ingat boyfriend, jangan nangis, telepon Oppa, nanti kita makan.” Lalu ia mengacak-acak jilbabku, membuatku sedikit merajuk – sambil tertawa tentunya.
Funny how life shows us the path to love, when we open ourselves to new experiences.(Last Dance in New York City, halaman 168)
***

Pukul 20.00, setelah 2 jam perjalanan, akhirnya aku bisa melihat mamaku menyambutku di teras rumah. Aku memeluknya dengan erat, hampir menangis karena 'perjalanan'-ku selama empat tahun ini mengajarkan kepadaku banyak hal, termasuk arti 'rumah'. Sejauh-jauhnya aku pergi, aku akan selalu pulang ke rumah. Tempat dimana orang-orangnya mencintaiku dengan sepenuh hati, meski terkadang dengan cara yang tidak aku mengerti.
Aku belajar bahwa, at the end of the day, kebahagiaan bukan berada di suatu tempat, bukan juga berada di tangan orang lain, tetapi kebahagiaan itu ada di dalam diri sendiri. Jika kita tidak bahagia kala sendiri, maka kita tidak akan bahagia saat bersama orang lain. Jika kita tidak bahagia di sini, maka kita tidak akan bahagia di sana, meskipun tempatnya begitu indah. (The Colors of Love in Istanbul, halaman 128)

“Ma, kakak pulang..”
“Iya, kak. Alhamdulillah.”

Mama sudah menyiapkan nasi goreng untuk aku dan sopirku, yang langsung aku makan dengan lahap.

“Ma, Mama duduk sini dong. Mama udah makan? Kok ga makan sama kakak dan om Yono?”
“Mama udah makan, sebentar mama mau ambil sesuatu ke kamu. Ini, hadiah kelulusanmu.”

Mamaku mengangsurkan sebuah amplop.

Tiket pesawat! Ke Kuala Lumpur, Malaysia! Sesudah sepuluh tahun lamanya aku tidak bepergian keluar negeri. Aku menciumi pipi mamaku dan berterima-kasih dengan sorak sorai bergembira.

“Aduh, aduh. Bau nasi goreeeeng. Ya mama cuma bisa kasih hadiah ini, walaupun perginya masih bulan depan. Kamu nanti liburan seminggu disana, ga sama mama, tapi akan ada teman mama yang siap nganter kamu kemana-mana...”

Suara Mama tidak lagi terdengar. Aku sibuk membayangkan Petronas Twin Towers, Merdeka Square, Kompleks Putrajaya... Aku harus browsing dan mencari tempat-tempat wisata baru.

Aku siap untuk perjalanan berikutnya! 


Lots of love,
Prima


-- kutipan-kutipan diatas diambil dari buku Passport to Happiness: 11 Kota 11 Cerita Mencari Cinta. Terima kasih Kak Ollie yang telah menginspirasi-ku untuk terus menjelajah dan menemukan makna cinta. Below is an additional quote that makes me believe in myself more. 'Til I meet 'him', I will not settle down :)

Bonus:
Meskipun belum tentu mudah, probabilitas untuk bertemu pasangan hidup berikutnya menjadi lebih tinggi saat kita membuka batas-batas geografis. Dan tak hanya sekadar pasangan hidup. Aku adalah salah satu dari sedikit orang yang percaya bahwa we can have it all, kita bisa mendapatkan pasangan berkualitas yang segalanya sesuai dengan yang kita inginkan. Mulai dari kualitas fisik, kapasitas otak, hingga chemistry dalam hubungan. I repeat: we can have it all. (Di bab apa, dan halaman berapa? You have to read it by yourself to find out ;))

Pic from Gagas Media

6 comments:

  1. mbak prim ternyata alumni brawijaya, aku juga
    pernah di formasi tapi lebih sibuk ke jurnalistik jadi nonaktif

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh yaaa, ahahahaha iya mbak. dulu tuh gabung formasi nyenengin banget. konon katanya kalo anak formasi pacaran, sering langgengnya. langgeng sih, tapi tetep aja putus, lol.

      Delete
  2. Kakak, cerita perjalanannya seruuu. Good luck ya :D

    ReplyDelete
  3. Betul, kak. Setelah jauh dari rumah baru tahu rasanya rindu. :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. (((rindu)))
      ngomong2, aku juga rindu kamu deh, #ahzeeek

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...