Wednesday, August 27, 2014

Jilboobs dan Pria Beriman


Pic source: The Muslim Show

Setiap saya mendengar kata 'Jilboobs', saya selalu teringat gambar diatas.
Lucu kan?
Tapi sebenarnya gambarnya menyiratkan makna yang mendalam.

Seperti yang disebutkan oleh artikel ini, kita seringkali lupa bahwa firman menundukkan pandangan itu diawali dengan pria terlebih dahulu, baru di ayat selanjutnya tertera kewajiban berhijab untuk wanita. 

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat"
(Q.S.An-Nuur (24): 30) 

Sama juga halnya dengan kutipan yang sering saya baca, protes dimana-mana yang meneriakkan, “don't tell the girls how to dress, tell the guys not to rape.”
Meski kalimat pertama kurang tepat (bagi kita, muslimah) – kalimat kedua jauh lebih tepat. Idealnya, tidak ada SATUPUN yang bisa membenarkan perilaku pelecehan seksual atas dasar pakaian wanita, meski kurang 'santun' sekalipun.

Bahkan ekstrimnya nih, seorang rekan kerja saya pernah bilang, ngeres itu ada di mindset pria. Mau seorang wanita pakai cadar, kalau memang prianya piktor (pikiran kotor), yaudah wanita bisa apa?

Kembali ke masalah jilboobs. Saya berusaha positive thinking bahwa mereka yang (tidak sengaja) jilboobs sedikit-banyak memahami bagaimana dengan berhijab yang benar. Mungkin mereka memiliki segudang alasan, seperti belum ada dana untuk membeli baju yang semestinya, tuntutan pekerjaan, atau memang belum siap. Hey, everything could happen.

Kemungkinan lainnya, yang akan menyedihkan untuk kita ketahui, barangkali mereka memang tidak tahu? Tidak semua muslimah beruntung memiliki kesempatan datang ke kajian ilmu, atau memiliki mentor mengaji yang sabar. Sekali lagi, begitu banyak kemungkinan.

Yang jelas, saya tidak suka ber-suudzon. Walau kalau ditanya dengan jujur, tentu saya jengah melihatnya. Jangankan yang jilboobs, yang bajunya rapat tapi hijabnya kelihatan lehernya aja bisa bikin saya agak keki. Lalu gimana dong? Ya ga usah dilihat 'salah'-nya, beres.

Kalau saya harus memilih, mending mana? Jelas saya akan bilang mending mereka berkerudung. Masalah dibenerinnya adalah masalah waktu. Saya pun dulu ga langsung begini, masih pakai jeans kemana-mana, dan butuh beberapa tahun untuk 'memaksa' diri mengenakan pakaian yang seharusnya.

Bunda Asma Nadia, dalam sebuah talkshow pernah ditanya pendapatnya tentang hijab syar'i vs hijaber.
Menurut saya jawabannya sangat bijaksana sekali: “puji usahanya, hargai persamaannya, lupakan perbedaannya.” 

Saya percaya kata-kata yang baik punya kekuatan.
Daripada mencerca, “ya ampun kamu ga malu apa jilboobs gitu?” bukankah akan lebih baik mengatakan, “coba deh pakai hijab yang terulur, insyaAllah lebih anggun.”

Terakhir.. kembali ke gambar diatas, jangan-jangan kita lebih fokus terhadap mereka yang 'salah', sampai-sampai kita tidak sadar bahwa kita sedang terjerumus ke kesalahan yang lain?

Mari bercermin, dan mari belajar menghargai usaha setiap hamba dalam mencari ridho-Nya.

Salam,

Prima

6 comments:

  1. setuju. seperti peribahasa, semut di seberang lautan terlihat, gajah di depan mata tak terlihat. hiks

    ReplyDelete
    Replies
    1. benerrr. aku tadi mau nulis ini tapi lupa apa ya peribahasanya, hehe.

      Delete
  2. bener banget.....lebih baik kita berusaha membenahi diri sendiri daripada mencari kesalahan orang lain....

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...