Monday, April 1, 2019

Monday Journal: Q1 2019

Hari Senin kemarin saya tidak menulis Monday Journal karena beberapa alasan. Awalnya saya berpikir hendak menggabungkan cerita dua minggu lalu pada hari ini, karena… kita memasuki bulan baru! MasyaAllah, time flies! Kalau dalam pekerjaan, ada yang namanya kuartal dan kita sudah melewati kuartal pertama. Waktunya melakukan evaluasi, terutama untuk saya pribadi yang merasa hidup saya selama tiga bulan pertama pada tahun 2019 ini kacau balau. Sooo, I hope this self-evaluation of mine will give you a lesson or two.

Pertama, saya melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar yaitu: menggantungkan hidup saya kepada seorang manusia. Seolah-olah seluruh masa depan saya terpengaruh dari keputusan yang dia ambil. Suatu saat saya pernah gusar dan bingung, lalu saya berbincang dengan sahabat saya, seperti ini:

Saya: “But I want to chase my dreams.
Sahabat: “Bukannya your dream itu live with him happily ever after?”

THANK GOD saya enggak memutuskan untuk hijrah ke ibu kota demi si dia (well we never know what might happen if I did that, but still…). For a woman who strongly believe that I can create my own future, this guy has turned my life upside down and after some days contemplating, I know I don’t like this kind of idea. Butuh waktu untuk menyadari bahwa yang kemarin patah hati itu bukan sejatinya diri saya, karena saya yang sebenar-benarnya tidak merasa menyesal mencintai dia. Saya bersyukur diizinkan Allah mengenal dia dan jatuh cinta untuk sesuatu yang menurut kacamata saya, ‘baik’. Cinta yang saya curahkan menunjukkan betapa saya memang seperti itu: senang memedulikan orang lain, penuh kasih, dan naif (kalau mau dibilang bodoh, ya enggak apa-apa juga #sadardiri). Orang bilang nama itu doa, dan karena nama tengah saya diambil dari nama Allah, “Ar-Rahman”, maka itulah doa orangtua saya terhadap saya:

The Lovingly Beneficent, Most Kind and Gracious

Kedua, tiga bulan ini saya sangat-sangat kritis kepada diri sendiri. Saya kerap membandingkan diri sendiri dengan orang lain sampai stres. “Kok dia udah begini ya?” “Kok aku enggak bisa begitu ya?” Proyek-proyek pribadi saya belum menunjukkan hasil yang saya inginkan; ada banyak kegagalan di sana-sini sampai saya hampir bertengkar dengan sahabat (yang lain). Padahal saya yang meminta dia menjadi rekan brainstorming, dan justru saya enggak siap dapat kritik dari dia. Hal ini juga ‘menjerumuskan’ saya ke ‘jurang’ perdebatan yang tiada henti dengan orangtua karena mereka mendesak saya membuktikan sesuatu. Sometimes I think this is why I escaped to Bali. I felt like my parents forced me to be someone who I am not. And even I followed what they want, the result wasn’t that good as well because I did not do it with heart. Confused and mad to myself almost every single day, I forgot that the most important thing in this journey is myself. I can’t work optimally if I am not happy. I can’t contribute to the society if I am not happy. I can’t surrender fully to Allah if I am not happy.

Maka saya mengambil cuti satu hari pada hari Kamis, 28 Maret 2019. Selain karena sempat demam tinggi selama dua hari, saya kewalahan dengan ‘beban hidup’ saya (halah) dan merasa perlu mengambil istirahat penuh. Saya mencoba tidur sampai siang (walaupun enggak bisa), dan karena saya bosan, saya berkeliling kota dengan sepeda motor, lalu menutup hari dengan jogging di Taman Kota Gianyar.

Sesudah cuti hari Kamis tersebut, saya merasa jauh lebih lega. Terlebih setelah menghadiri Bali Spirit Festival pada hari Minggu dan mengikuti sesi “The Girlness Project”. Di situ saya sadar bahwa saya (atau kita pada umumnya) cenderung bersikap lebih ramah ke orang lain daripada ke diri sendiri. Kita bisa memeluk, mendamaikan, atau mengucapkan kata-kata yang simpatik saat orang lain bersedih; tetapi saat kita sendiri mengalami keterpurukan, we easily lose control and becoming our worst enemy. Hal ini menjadikan saya secara pribadi bersedih karena memang sebulan terakhir saya berkubang dalam self-critical yang tidak berujung. Saya merasa kurang solehah, kurang cantik (kalau ini dari dulu sih), kurang berprestasi, dan sebagainya. Ditambah dengan kenyataan bahwa sekali lagi saya ‘tidak dipilih’ oleh lelaki yang saya cintai untuk menjadi pendamping seumur hidupnya, saya jadi merasa ada yang salah dengan diri saya. But yes, based on this session’s discussion, we should not give other people the power to make us feel like we are worthless. No matter what people think of ourselves, it’s us who has to reflect on self-compassion and ready to accept our body – our mind – our everything, the way we are. 

At last, I felt that I slowly ‘returned’ to my core self. I have decided, and hope to keep reminding that, I need to put myself first before thinking about others. It might sound selfish but I believe it will bring a better impact for my days ahead. Hasil dari usaha mencintai diri sendiri selama tiga hari ini saja, saya dapat ide-ide segar untuk Muslimah Sinau dan… buku kedua saya. Alhamdulillah. :)

To love our self in the best way we should, it needs a lot of practice. Like, a lot. However, the last three months have been so draining… and at the end of the day, I got nothing. Hopefully, I still have a chance to start over my life, and pursue what’s best for me before end of the year. Bismillah.

Lots of love,
Prima

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...