“Foto ini bagus banget ya, kamu terlihat sangat ceria.”
Saya memandangi sebuah foto candid yang baru saja dikirim oleh instruktur zumba kepada saya. Outfit pink dan kerudung kuning saya, secara tak sengaja berwarna sama dengan bola-bola yang ada di belakang saya. Tak hanya itu, saya tertawa lepas, menyisakan garis mata – ekspresi yang biasa muncul ketika saya terbahak-bahak.
Saya, sang instruktur zumba, dan rekan-rekannya, saat itu sedang berada di pantai untuk melakukan zumba on the beach. Piknik, berolahraga, sambil mengikat tali persaudaraan. Sebuah pengalaman baru bagi saya yang biasanya hanya bertegur sapa di kelas dansa.
Tak banyak yang tahu bahwa pada malam harinya, saya masih menangis tersedu-sedu. Bahkan saat di pantai pun, saya lebih banyak diam. Berbicara hanya ketika ditanya, bahkan berjalan-jalan sendiri menuju tepi laut.
Tak ada yang menduga bahwa beberapa hari sebelumnya, saya baru saja mengalami patah hati. Yang pertama kalinya setelah sekian tahun. Hubungan yang berawal dari online dating itu memang baru memasuki tahap pembicaraan yang berkembang. Lebih dari sekadar “sedang apa?” atau “sudah makan” menjadi “apa yang kamu pikirkan tentang...?” Setiap harinya, percakapan kami semakin menggebu-gebu karena tampak ada chemistry terjalin di antara kami. Namun sesudah beberapa topik, mulai tampak bahwa perbedaan kami tidak dapat dicarikan jalan keluarnya. Yang membuat saya bersedih hati, kami menutup telepon dengan perasaan marah kepada satu sama lain. Saya pun menangis hingga lelah dan tertidur. Esoknya dan beberapa malam sesudahnya, saya masih terus-menerus menangis. Tak sanggup menerima kenyataan bahwa tiba-tiba saja kami sudah tidak berbicara lagi.