Hmmm, semakin lama semakin jarang nge-blog ya. Ckckck. Habis gimana sister, saya sudah jenuh baca-ngetik-baca-ngetik buat tesis. Belum lagi ngetik transkrip wawancara. Primaaa, datang-datang kok mengeluh.
Pada saat seperti ini, saya sedikit menyesal karena menelantarkan tesis saya tahun lalu. Actually, CEO di tempat kerja saya sangat suportif dan mendorong saya untuk menyelesaikan tesis. Beliau pun bilang tidak menekan saya untuk kembali ke pekerjaan segera, tapi saya sudah mulai jenuh. Dua bulan penuh tidak bekerja, tapi pikiran engga bisa diberhentikan dari memikirkan rencana kerja, “nanti kalau aku back to work, aku mau bikin project A, B, C.” Melihat perusahaan dengan proyeknya yang semakin seru, kadang membuat saya ngomel dalam hati, “aduh, aku S2 ini sebenarnya buat apaaa...”
Di sisi lain, mulai ada secercah titik terang pada tesis saya, baru satu titik tapi alhamdulillah banget. Soalnya bulan April menandakan sisa dua bulan saja untuk menyelesaikan tesis sebelum membayar SPP lagi. Hadeeeeeh. Lalu saya ingat bahwa dulu waktu skripsi, saya bisa ngetik Bab IV sepanjang sekitar 60 halaman hanya dalam waktu tiga hari. Cuma bedanya, dulu saya sudah melakukan observasi selama enam bulan. Sementara sekarang, hari ini baru akan mulai turun lapangan.
That’s why saya mudik sejak minggu lalu. Saya katakan kepada mama saya, “ini kalau hitungan manusia, engga akan selesai. Tapi akan beda ceritanya kalau Allah sudah ‘ikut campur’.” Apa kunci agar Allah mau ikut membantu?
Ya, restu orangtua.
Berbeda dengan ayah saya yang mempercayakan ‘nasib’ saya sepenuhnya kepada Allah (dengan bantuan tante saya); seperti biasa, hubungan saya dengan mama naik-turun seperti nilai tukar mata uang asing (yaelah). To be honest, saya sampai takut ketemu mama saya karena hati ini rasanya tak tenang ketika berada di rumah.
Namanya sedang butuh, saya mengumpulkan keberanian untuk menemui beliau dan bersimpuh memohon maaf. Sumpah udah macem lagi sungkeman di nikahan aja, tapi yang ini banyak banget dramanya. Saya, mama, dan adik menangis selama beberapa jam; ditambah lagi saya menangis sepanjang perjalanan dari Surabaya ke Malang. Sampai sekarang kepala saya masih pusing kalau mengenang kejadian kemarin.
I was so sad and still am, knowing that we should have supported each other, but in reality we feel deeply hurt by each other. Saya tidak bisa mendeskripsikan cerita kami di sini, tapi kemudian saya belajar untuk memaafkan diri sendiri dan mama, serta melepaskan semuanya. Saya pernah belajar melakukannya awal tahun lalu, dan rasanya cukup sukses. Hanya kadang ada satu-dua momen yang membuat kita jatuh, lalu kita harus mengingatkan diri sendiri untuk bangkit lagi. It’s hard, it’s really hard. But life must go on.
Saya menuliskan ini, meskipun seolah-olah seperti membuka aib keluarga sendiri, namun justru saya ingin sister ikut belajar. Sebenarnya saya tidak ingin menjadi manusia yang mudah menyerah. Kemarin saya hampir putus asa, berpikir bahwa saya tidak akan bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya kelak. Lalu seorang sahabat saya meyakinkan saya kalau saya bisa keluar dari ‘lingkaran setan’ ini, dan anak-anak saya pasti akan bangga memiliki saya sebagai ibu mereka. Thanks, Igna!
Saya pun mencoba untuk memahami keputusan-Nya. Dia percaya kepada saya, Dia tahu saya akan mampu melewati semua ini dan ‘lulus’ sebagai hamba yang lebih dekat dengan-Nya. Melalui kejadian ini, Dia meminta saya untuk introspeksi dan tidak hanya menuntut kesempurnaan. Mungkin selama ini saya terlalu egois dan hanya ingin menang sendiri. Atau mungkin, saya harus bekerja keras untuk tidak egois walaupun yang saya lihat contohnya demikian.
What I find it hardest is, it’s my mom whom I argued with. It’s not my boyfriend or my friend whom I can just leave and let go. Saya masih, dan akan terus bingung apa yang sebaiknya saya lakukan. Namun saya berpegang teguh pada Allah, He is the best guidance for me. Prinsip saya, selama saya tidak menyalahi hukumnya, Dia yang akan memutuskan. Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Dia lebih tahu.
Bismillah for another week! :)
Pada saat seperti ini, saya sedikit menyesal karena menelantarkan tesis saya tahun lalu. Actually, CEO di tempat kerja saya sangat suportif dan mendorong saya untuk menyelesaikan tesis. Beliau pun bilang tidak menekan saya untuk kembali ke pekerjaan segera, tapi saya sudah mulai jenuh. Dua bulan penuh tidak bekerja, tapi pikiran engga bisa diberhentikan dari memikirkan rencana kerja, “nanti kalau aku back to work, aku mau bikin project A, B, C.” Melihat perusahaan dengan proyeknya yang semakin seru, kadang membuat saya ngomel dalam hati, “aduh, aku S2 ini sebenarnya buat apaaa...”
Di sisi lain, mulai ada secercah titik terang pada tesis saya, baru satu titik tapi alhamdulillah banget. Soalnya bulan April menandakan sisa dua bulan saja untuk menyelesaikan tesis sebelum membayar SPP lagi. Hadeeeeeh. Lalu saya ingat bahwa dulu waktu skripsi, saya bisa ngetik Bab IV sepanjang sekitar 60 halaman hanya dalam waktu tiga hari. Cuma bedanya, dulu saya sudah melakukan observasi selama enam bulan. Sementara sekarang, hari ini baru akan mulai turun lapangan.
That’s why saya mudik sejak minggu lalu. Saya katakan kepada mama saya, “ini kalau hitungan manusia, engga akan selesai. Tapi akan beda ceritanya kalau Allah sudah ‘ikut campur’.” Apa kunci agar Allah mau ikut membantu?
Ya, restu orangtua.
Berbeda dengan ayah saya yang mempercayakan ‘nasib’ saya sepenuhnya kepada Allah (dengan bantuan tante saya); seperti biasa, hubungan saya dengan mama naik-turun seperti nilai tukar mata uang asing (yaelah). To be honest, saya sampai takut ketemu mama saya karena hati ini rasanya tak tenang ketika berada di rumah.
Namanya sedang butuh, saya mengumpulkan keberanian untuk menemui beliau dan bersimpuh memohon maaf. Sumpah udah macem lagi sungkeman di nikahan aja, tapi yang ini banyak banget dramanya. Saya, mama, dan adik menangis selama beberapa jam; ditambah lagi saya menangis sepanjang perjalanan dari Surabaya ke Malang. Sampai sekarang kepala saya masih pusing kalau mengenang kejadian kemarin.
I was so sad and still am, knowing that we should have supported each other, but in reality we feel deeply hurt by each other. Saya tidak bisa mendeskripsikan cerita kami di sini, tapi kemudian saya belajar untuk memaafkan diri sendiri dan mama, serta melepaskan semuanya. Saya pernah belajar melakukannya awal tahun lalu, dan rasanya cukup sukses. Hanya kadang ada satu-dua momen yang membuat kita jatuh, lalu kita harus mengingatkan diri sendiri untuk bangkit lagi. It’s hard, it’s really hard. But life must go on.
Saya menuliskan ini, meskipun seolah-olah seperti membuka aib keluarga sendiri, namun justru saya ingin sister ikut belajar. Sebenarnya saya tidak ingin menjadi manusia yang mudah menyerah. Kemarin saya hampir putus asa, berpikir bahwa saya tidak akan bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya kelak. Lalu seorang sahabat saya meyakinkan saya kalau saya bisa keluar dari ‘lingkaran setan’ ini, dan anak-anak saya pasti akan bangga memiliki saya sebagai ibu mereka. Thanks, Igna!
Saya pun mencoba untuk memahami keputusan-Nya. Dia percaya kepada saya, Dia tahu saya akan mampu melewati semua ini dan ‘lulus’ sebagai hamba yang lebih dekat dengan-Nya. Melalui kejadian ini, Dia meminta saya untuk introspeksi dan tidak hanya menuntut kesempurnaan. Mungkin selama ini saya terlalu egois dan hanya ingin menang sendiri. Atau mungkin, saya harus bekerja keras untuk tidak egois walaupun yang saya lihat contohnya demikian.
What I find it hardest is, it’s my mom whom I argued with. It’s not my boyfriend or my friend whom I can just leave and let go. Saya masih, dan akan terus bingung apa yang sebaiknya saya lakukan. Namun saya berpegang teguh pada Allah, He is the best guidance for me. Prinsip saya, selama saya tidak menyalahi hukumnya, Dia yang akan memutuskan. Dia Maha Melihat, Maha Mendengar. Dia lebih tahu.
Bismillah for another week! :)
Assalamu'alaikum...
ReplyDeleteMari mampir ke blog saya bu :)
Mungkin rasa jenuh karena kerja bakalan hilang hehe
coretanhatiukhti.blogspot.com
I've read dis longtime agooo...
ReplyDeleteI remember. Thanks for caring. 😄