Maybe it’s the time.
Seperti sister tahu, saya mudah menangis, kalau tidak bisa dibilang sering. Tetapi tentu ada beberapa hari dalam sebulan yang menjadikan saya jauh lebih mudah menitikkan air mata. Kalau ada yang bilang ‘senggol, bacok’, buat saya jadinya ‘senggol, (saya yang) nangis’. Dulu saya pernah kesal karena ‘keahlian’ saya satu ini. Soalnya, bawaan dari sononya, saya ini terlalu ekspresif. Kalau lagi tertawa, ya bisa terbahak-bahak. Kalau lagi menangis, bisa sampai meraung. Ya engga apa-apa juga kalau lagi sendirian, kalau lagi sama orang atau di muka umum kan engga enak, nanti saya dipikir orang gila lagi.
Namun saya pernah bersyukur. Dengan segala hal yang terjadi dalam hidup saya (duileeeee berasa hidupnya sengsara banget nih?), saya rasa menangis itu katarsis. Something to keep me sane. Saya ‘senang’ bisa mudah menangis sampai kelelahan dan tertidur, lalu ketika bangun saya bisa memulai hari yang lebih baik. Saya pun bukan orang yang suka menutupi perasaan. Saya pernah menangis di kantor, di kampus, di angkutan umum (sambil menyandarkan kepala ke jendela biar kayak di film gitu..). Ketika hal itu terjadi, saya bukannya sedang cari perhatian. Saya tidak bisa menahannya saja. Kadang di rumah pun bukan tempat yang baik untuk menangis. Saat saya menangis, saya tidak ingin ditanyai. Saya ingin didiamkan. Kalau ada yang mau memeluk, boleh. Apalagi kalau seganteng
Pagi ini, saya membaca blog post Nazura Gulfira yang ini. Saya pernah berkirim email ke dia mungkin setahun atau dua tahun yang lalu, tapi beberapa minggu terakhir email kami jadi lebih sering. Thanks to my workplace that ‘meets’ us virtually. Kalau kamu pembaca blognya Nazura, pasti setuju kalau tulisan-tulisannya cocok untuk dibukukan. And she made it! Congratulations, Nazu! *brb beli bukunya dan antri tanda tangannya*
Kali ini saya bukan mau cerita tentang bukunya, nanti saja kalau sudah meet n greet (kapaaaaan, Nazu? :p). I always love the ‘darkness’ side that she reveals in her writing. She is undoubtedly blessed, and shows her gratefulness with a very special way. Hampir sama dengan mas Ariev Rahman, Nazura juga jarang menulis pendek. Tidak seperti saya yang setiap post-nya ‘yang penting kelar’, she really applied mindfulness in her writing.
Kali ini saya juga bukan mau cerita tentang perjalanannya di negara-negara di Eropa (yang sempat bikin saya menjauhi blognya untuk sementara waktu). Kembali ke post yang saya pagi ini. Hanya itu.
Instead of commenting on her blog, I decided to make my own post.
But before that, I want to say: “Nazura, baru setahun???????????? Aku lho, lima tahun. LIMA tahun.”
(kasih ekspresi ketawa getir)