“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).
Selain langsung mencuat jadi #1 Popular Post of the week, blog post sebelumnya menjadikan saya dicaci-maki oleh sebagian netijen. Oalah yooo, mau memberikan wawasan aja setengah mati susahnya. Bahkan ada yang komentar, ‘cobalah sesekali menulis hal-hal baik tentang lelaki, agar lelaki yang baik mendekatimu.’ Hmmm, sebenarnya kurang tepat juga sih kalau ngomong begini. 9 dari 10 lelaki (CIEEEH kayak ada sebanyak itu, Prim) yang mendekati saya, alhamdulillah baik-baik kok. At least mereka bukan bandar narkoba atau koruptor, dan bukan penjahat kelamin juga. That’s one good thing, right? Perkara cocok-enggaknya, nah itu yang kadang tidak semua lelaki (saya pun) bisa menerimanya sehingga end up badly. But anyway, kali ini saya coba sampaikan tulisan penyeimbang yang saya karang sesudah saya tidak terlalu emosional lagi. Semoga dapat diterima dengan baik, aamiin.
Sebagian besar dari kita, muslim-muslimah, pasti pernah dengar hadis di atas setidaknya satu kali dalam hidup. Alhamdulillah, perempuan diberi kedudukan yang sangat tinggi di Islam, serta dihormati dan dihargai layaknya manusia (bukan barang seperti pada zaman jahiliyah dulu). Alhamdulillah, perempuan diberi privilege untuk ‘santai’ di rumah, karena itulah tempat terbaik perempuan (pada dasarnya).
Namun sebenarnya, apa benar istri bisa ‘santai’ saja di rumah? We all know, yang namanya pekerjaan rumah tangga enggak akan ada habisnya. Dari mulai ngebersihin rumah, urusan pakaian, dan belum lagi menjaga hubungan dengan tetangga. Dulu sih ada siskamling ya, jadi para warga – baik lelaki maupun perempuan – masih guyub dengan para tetangga. Kalau sekarang rasanya bapak-bapak sudah enggak begitu aktif (CMIIW); sehingga biasanya ibu-ibu yang wajib kudu harus ikut arisan PKK karena memang banyak pengumuman penting ‘disiarkan’ melalui arisan (pengalaman pribadi). Nah, jadi wajar kalau ‘ibu rumah tangga’ doesn’t simply means ‘perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah’. Contoh nih, urusan dapur aja. It’s not just cooking and that’s all. Kudu mikir menu dulu, belanja ke pasar/tukang sayur, masak, cuci piring, nyiapin makanannya, cuci piring lagi, bersihin dapur. ‘Kasihannya’ istri, mereka mah nerima aja dikasih belanja berapa, mikir jumpalitan supaya suaminya bisa ganti menu tiap hari. Suami enggak perlu tahu dong, kan udah ngasih uang belanja…
“Kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas, pasti enggak terasa berat kok, Prim.”
Iya, saya tahu. Saya hanya bermaksud memberikan gambaran kalau suami dan istri sama-sama punya waktu 10 jam dalam sehari: suaminya kerja (dan PP rumah-kantor), istri juga berjibaku dengan segala printilan ‘kehidupan’. Kalau kata teman saya, ini prinsip ‘saling’: suami berupaya memberikan yang terbaik untuk istri, istri pun demikian.
“Terus masalahnya apa, Prim?”
Begini, mari kita mengakui sebuah realita. Terkadang, yang namanya rumah tangga butuh pemasukan lebih dari sekadar apa yang bisa dihasilkan oleh suami. Suka atau tidak, kenyataan ini terjadi. Kita tidak bisa menutup mata, meskipun Allah sudah menjamin:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur (24): 32)