Photo credit: Arfi Keling |
“Mana bisa kamu tinggal di desa, secara kamu mah orangnya kudu blow dry rambut tiap hari.”
(Tapi saya kan kerudungan, ngapain saya blow dry rambut, pikir saya)
Seorang teman tiba-tiba menantang saya untuk kembali ke desa. Menjadi sukarelawan, atau apapun itu...secara dia berpikir saya adalah seorang perempuan yang high maintenance. Tapi aslinya saya ini orang desa. Nenek saya yang berasal dari Trenggalek (saat ini sih, sudah bukan desa lagi, tapi dulu...) babat alas buat jadi kepala sekolah di satu-satunya sekolah dasar di Desa Kebobang, Gunung Kawi. Masa saya tidak bisa tinggal di desa?
Nasib memang, saya tidak merasakan KKN saat mahasiswa, jadi saya tidak tahu rasanya tinggal di desa untuk waktu yang cukup lama. Kalaupun ke rumah nenek saat Idul Fitri atau liburan, paling lama hanya seminggu. Itupun sudah angot-angotan karena tidak ada sinyal internet.
Saya baru mendapat kesempatan untuk menantang balik teman saya itu saat terpilih menjadi pengajar Kelas Inspirasi V Malang. Saya sudah beberapa kali mendengar cerita teman-teman saya tentang Kelas Inspirasi. Kayaknya seru aja gitu, bisa ngajar murid SD tentang profesi. Iya, profesi. Soalnya sebagai anak milenium (...), saya pun tidak terekspos dengan beragam profesi. Waktu saya kecil, cita-cita saya tuh standar banget, kalau engga jadi dokter, polwan, atau pendakwah. Antara terpengaruh sama ayah yang dokter hewan, senang lihat polwan cantik, dan yang terakhir karena bersekolah di sekolah Islam. That's why, pengajar Kelas Inspirasi diharapkan mampu membuka cakrawala anak Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan tentang profesi diluar petani dan guru.
Kelas Inspirasi mensyaratkan pengajar untuk memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun. Memang tahun 2014 saya sudah memenuhi syarat ini, tapi saya sibuk sekali tahun itu (ah elah). Tahun lalu saya juga rempong sama kuliah, dan ketika tahun ini jadwal Kelas Inspirasi Malang berdekatan dengan pernikahan sahabat saya, Mayu, saya tidak pikir panjang untuk mendaftar.
(Tapi saya kan kerudungan, ngapain saya blow dry rambut, pikir saya)
Seorang teman tiba-tiba menantang saya untuk kembali ke desa. Menjadi sukarelawan, atau apapun itu...secara dia berpikir saya adalah seorang perempuan yang high maintenance. Tapi aslinya saya ini orang desa. Nenek saya yang berasal dari Trenggalek (saat ini sih, sudah bukan desa lagi, tapi dulu...) babat alas buat jadi kepala sekolah di satu-satunya sekolah dasar di Desa Kebobang, Gunung Kawi. Masa saya tidak bisa tinggal di desa?
Nasib memang, saya tidak merasakan KKN saat mahasiswa, jadi saya tidak tahu rasanya tinggal di desa untuk waktu yang cukup lama. Kalaupun ke rumah nenek saat Idul Fitri atau liburan, paling lama hanya seminggu. Itupun sudah angot-angotan karena tidak ada sinyal internet.
Saya baru mendapat kesempatan untuk menantang balik teman saya itu saat terpilih menjadi pengajar Kelas Inspirasi V Malang. Saya sudah beberapa kali mendengar cerita teman-teman saya tentang Kelas Inspirasi. Kayaknya seru aja gitu, bisa ngajar murid SD tentang profesi. Iya, profesi. Soalnya sebagai anak milenium (...), saya pun tidak terekspos dengan beragam profesi. Waktu saya kecil, cita-cita saya tuh standar banget, kalau engga jadi dokter, polwan, atau pendakwah. Antara terpengaruh sama ayah yang dokter hewan, senang lihat polwan cantik, dan yang terakhir karena bersekolah di sekolah Islam. That's why, pengajar Kelas Inspirasi diharapkan mampu membuka cakrawala anak Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan tentang profesi diluar petani dan guru.
Kelas Inspirasi mensyaratkan pengajar untuk memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun. Memang tahun 2014 saya sudah memenuhi syarat ini, tapi saya sibuk sekali tahun itu (ah elah). Tahun lalu saya juga rempong sama kuliah, dan ketika tahun ini jadwal Kelas Inspirasi Malang berdekatan dengan pernikahan sahabat saya, Mayu, saya tidak pikir panjang untuk mendaftar.
Awalnya saya cukup percaya diri untuk mengajar. Baca cerita di blognya Kak Nissa dan Nazura, ah ini mah gampaaang. Hahaha. Pede abis. Ternyata, berbagai kezutan menghampiri. Pertama, saya dapat ‘jackpot’ mengajar di sekolah paling ujung selatan Malang. Kami harus berangkat pukul 05.00 dari kota Malang, menembus kemacetan pagi hari, naik gunung-turun bukit dan tiba di lokasi sekitar 1,5 jam kemudian.
Beberapa waktu sebelumnya, saat fasilitator kami, Disi, melakukan survei lapangan, saya titip pertanyaan apakah para murid sudah mengenal internet. Rencananya saya ingin melakukan pembekalan literasi digital. Hal ini dikarenakan saya memilih mengajar sebagai ‘penulis’ atau ‘editor’. Meskipun pengalaman kerja saya di dunia marketing lebih lama, tapi saya rasa pekerjaan ini lebih mudah untuk dijelaskan.
Ternyata, Disi bilang, “Kak, disini tuh susah sinyal. Mereka punya handphone aja engga. Kayaknya engga mungkin mengajarkan tentang itu.”
Kedua, menjelang hari H, banyak calon pengajar yang mundur. Akhirnya hanya ada empat orang pengajar. Ketiga, di SDN Sumberbening V ini hanya ada 39 orang murid, tidak ada murid kelas 2. Jadi beberapa kelas digabung supaya tidak terlalu sedikit orangnya. I was like, “sedikit amat.” Semakin penasaran dan deg-degan gimana nantinya eksekusi Kelas Inspirasi ini.
Sampai beberapa hari sebelum mengajar, saya belum menyiapkan apapun. Soalnya saya bingung. Disi mengingatkan, sebaiknya tidak pakai laptop atau PowerPoint. Lagipula, ngajar anak SD apa bakal asik kalau pakai PowerPoint? Memang presentasi bisnis?
Baru hari Sabtu saya ada ide untuk membeli peta Indonesia dan dunia. Premis dari apa yang akan saya ajarkan adalah, "tulisan bisa membawamu menjangkau dunia yang lebih luas.” Untuk kelas 1 dan 3, saya akan membawa komik Hai, Miiko dimana ceritanya si ibunya Miiko kan editor majalah/komik.
Pada hari Senin pagi, saya, Yahya, dan Kak Sella nebeng Mas Doni. Alhamdulillah yaaa, Mas Doni bawa Innova jadi saya bisa lanjut tidur (duh, maaf banget mas, ora sopan blas). Saya baru terbangun sekitar setengah jam sebelum tiba di sekolah. Ya ampun, jalanannya...........’bagus banget’. Huhuhu. Saya langsung pesimis memikirkan bagaimana masyarakat mau lebih maju kalau akses ke kota aja sulitnya bukan main.
Kami tiba dan disambut oleh guru-guru, kepala sekolah, dan ibu pengawas. Setelah diperkenalkan di depan semua murid, saya kebagian tugas mengajar pada jam pertama di kelas 4 dan 5. ALLAHU AKBAR, ramenya.....*elus elus dada* Saya engga mikir mereka nakal atau gimana, hanya mungkin mereka tidak terbiasa diajar oleh yang bukan pengajar tetap. Saya pun belum pernah punya pengalaman mengajar murid SD.
Semua rencana pun bubar begitu saja, saya hanya berusaha agar bisa bertahan dalam 45 menit kedepan. Rata-rata yang perempuan pada anteng sih. Tapi yang laki-laki, ada yang lari kesana kemari, ada yang tonjok-tonjokan. Tobat. Yang ada di pikiran saya hanya, ‘fokus prima, fokus.’ Akhirnya saya menceritakan tentang produk tulisan dan profesi penulis secara umum. Saya juga sempat mengajak mereka menulis tentang idola mereka, tapi kurang sukses soalnya mereka malu-malu gitu.
Kelas selanjutnya, saya mengajak murid kelas 6 memanfaatkan peta dunia di kelas. Mereka bisa nunjuk negara-negara lain, artinya pelajaran IPS (atau Geografi) lumayan berkesan. Akan tetapi, ketika saya menunjukkan bukunya Trinity Traveler dan Pandji Pragiwaksono, mulailah hati saya mencelos.
“Adakah di antara kalian memiliki impian ke luar negeri? Nanti kalian bisa menulis buku seperti dua buku ini.”
“Mbak, jangankan ke luar negeri, ke Malang saja aku belum pernah.”
-------------------------------------------patah hati adek, bang.
Untungnya jumlah muridnya yang sedikit membuat saya lebih leluasa bercerita. Saya katakan kepada mereka, bahwa nenek saya dulunya juga berasal dari desa seperti mereka. Dengan kegigihan nenek, saya bisa merasakan sekolah di kota, kuliah S2, dan melanglangbuana. Mata mereka mulai berbinar.
Kelas selanjutnya, saya mengajak murid kelas 6 memanfaatkan peta dunia di kelas. Mereka bisa nunjuk negara-negara lain, artinya pelajaran IPS (atau Geografi) lumayan berkesan. Akan tetapi, ketika saya menunjukkan bukunya Trinity Traveler dan Pandji Pragiwaksono, mulailah hati saya mencelos.
“Adakah di antara kalian memiliki impian ke luar negeri? Nanti kalian bisa menulis buku seperti dua buku ini.”
“Mbak, jangankan ke luar negeri, ke Malang saja aku belum pernah.”
-------------------------------------------patah hati adek, bang.
Untungnya jumlah muridnya yang sedikit membuat saya lebih leluasa bercerita. Saya katakan kepada mereka, bahwa nenek saya dulunya juga berasal dari desa seperti mereka. Dengan kegigihan nenek, saya bisa merasakan sekolah di kota, kuliah S2, dan melanglangbuana. Mata mereka mulai berbinar.
Sayangnya, saya tiba-tiba teringat pesan dari Disi. Beberapa waktu yang lalu, di salah satu Kelas Inspirasi ada seorang pengajar yang bercerita tentang pengalaman traveling-nya. Namanya anak-anak, kebanyakan langsung mewek pingin (traveling) juga. While basically I don’t see the disadvantages of this, saya langsung berhati-hati. Saya pun mengubah kesimpulan di akhir sesi. Saya katakan bahwa tulisan adalah media untuk berbagi dan mendapatkan pengetahuan. Saya belum pernah ke Eropa, Amerika, dan berbagai negara lainnya. Tapi saya tahu tentang negara itu dari apa yang orang-orang tuliskan. Makanya saya menulis agar orang tahu tentang Indonesia.
Terakhir, saya berbagi di kelas 1 dan 3. Muridnya paling tenang dibandingkan kelas lain. Saya menugaskan murid kelas 3 untuk menulis tentang pengalaman kelas inspirasi hari itu. Saya pun mendapatkan secarik kertas yang membuat saya terharu. Berhubung murid kelas 1 belum lancar menulis, saya memperbolehkan mereka membaca komik dan menceritakan kembali tentang cerita yang sudah mereka baca.
Sepanjang pagi itu, saya tidak hentinya bersyukur. Memang keadaan saya tidak serta-merta lebih baik. Maksud saya, mereka beruntung karena masih bisa main di luar ruangan, sesuatu yang teramat mahal saat ini. Mereka juga cukup takut dengan Allah dan guru agama mereka, hehe. Akan tetapi, saya mengkhawatirkan masa depan mereka. Ada lho yang bercita-cita jadi pembalap liar. Mungkin mereka hanya melihat contoh, dan sudah sepatutnya mereka memiliki lebih banyak pilihan. Ada juga yang pesimis bahwa mereka tidak akan melanjutkan pendidikan ke SMA, karena mereka tidak tahu untuk apa. Jadi mereka lihat saya S2 kayak ngowoh gitu.
Saya tidak menduga bahwa saya yang awalnya hanya ingin menantang diri sendiri, membawa pulang sebuah pekerjaan rumah yang teramat besar. Saya ingin menjadi jembatan bagi mereka. Saya ingin membantu mereka dalam memiliki lebih banyak pilihan positif. Saya ingin ini, itu, banyak sekali (lah kok jadi nyanyi).
Saya juga berharap suatu hari nanti anak saya mendapat kesempatan untuk menjadi manfaat, baik bagi lingkup kecil maupun besar, dimanapun kami tinggal nanti. Kalau bisa kembali ke desa dan membangun sumber daya masyarakat disana, ya alhamdulillah. Ah jadi kepikiran lagi deh. For now, let me focus on what I am facing right now. I will go back as soon as I can offer something for them.
Terakhir, saya berbagi di kelas 1 dan 3. Muridnya paling tenang dibandingkan kelas lain. Saya menugaskan murid kelas 3 untuk menulis tentang pengalaman kelas inspirasi hari itu. Saya pun mendapatkan secarik kertas yang membuat saya terharu. Berhubung murid kelas 1 belum lancar menulis, saya memperbolehkan mereka membaca komik dan menceritakan kembali tentang cerita yang sudah mereka baca.
Sepanjang pagi itu, saya tidak hentinya bersyukur. Memang keadaan saya tidak serta-merta lebih baik. Maksud saya, mereka beruntung karena masih bisa main di luar ruangan, sesuatu yang teramat mahal saat ini. Mereka juga cukup takut dengan Allah dan guru agama mereka, hehe. Akan tetapi, saya mengkhawatirkan masa depan mereka. Ada lho yang bercita-cita jadi pembalap liar. Mungkin mereka hanya melihat contoh, dan sudah sepatutnya mereka memiliki lebih banyak pilihan. Ada juga yang pesimis bahwa mereka tidak akan melanjutkan pendidikan ke SMA, karena mereka tidak tahu untuk apa. Jadi mereka lihat saya S2 kayak ngowoh gitu.
Saya tidak menduga bahwa saya yang awalnya hanya ingin menantang diri sendiri, membawa pulang sebuah pekerjaan rumah yang teramat besar. Saya ingin menjadi jembatan bagi mereka. Saya ingin membantu mereka dalam memiliki lebih banyak pilihan positif. Saya ingin ini, itu, banyak sekali (lah kok jadi nyanyi).
Saya juga berharap suatu hari nanti anak saya mendapat kesempatan untuk menjadi manfaat, baik bagi lingkup kecil maupun besar, dimanapun kami tinggal nanti. Kalau bisa kembali ke desa dan membangun sumber daya masyarakat disana, ya alhamdulillah. Ah jadi kepikiran lagi deh. For now, let me focus on what I am facing right now. I will go back as soon as I can offer something for them.
Terima kasih Kelas Inspirasi V yang telah mengingatkan kepada saya arti kehidupan, rasa syukur, dan perjuangan. Terima kasih untuk semua pengajar dan fasilitator di SDN Sumberbening V, guru-guru dan ibu pengawas. Semoga satu (setengah, lebih tepatnya) hari itu, bisa selamanya menginspirasi.
Lots of love,
Prima
Lots of love,
Prima
No comments:
Post a Comment