Make over by Lesya Rachel. Tungguin vlog-nya ya ;) |
Akhir-akhir ini, saya ngerasa sedikit agak centil. Yang biasanya bisa keluar rumah tanpa polesan apapun, sekarang lagi suka coba-coba lipstick dan eyeliner. Ga tanggung-tanggung, dalam tiga bulan terakhir, saya punya empat lipstick dan tiga eyeliner! Suatu 'prestasi' tersendiri yang sebelumnya tidak pernah saya duga.
Dulu, duluuu banget, saya selalu punya pandangan yang namanya perempuan itu ga bisa sempurna: cantik DAN pintar. Pasti hanya salah satu. Naif memang, tapi menurut saya waktu itu, kalau seorang perempuan punya waktu dan effort untuk tampil cantik, seharusnya dia menginvestasikan hal yang sama untuk ilmu dan wawasan. Nah, saya lebih memilih untuk membeli buku instead of make up; dan membaca daripada belajar menggunakan blush on.
Ketika saya lulus S1, nenek saya membelikan seperangkat alat make up karena berpikir bahwa saya akan membutuhkannya saat bekerja. Ternyata, kantor saya adalah studio animasi, which you don't even need to wear shoes or formal clothes to work, so harapan nenek saya pupus begitu saja.
Kemudian, di kelas S2 saya yang beranggotakan 10 orang perempuan (kelas Manajemen Komunikasi), kebanyakan dari teman-teman saya hanya menggunakan lipstick ketika ke kampus. Tadinya, saya semakin merasa, oh I still don't need make up. Lalu semua itu berubah ketika semester kemarin saya diajar oleh seorang dosen perempuan. Beliau pintar, satu kelas saya setuju she is freakin' smart and her point of view is always unique. Saya tidak segan berdebat dengan beliau, karena beliau – dan satu dosen lain yang mengampu mata kuliah ini – really encourage us to. Kampus-kampus di Indonesia butuh lebih banyak dosen seperti mereka.
Tapi (ahahaha, ada tapinya yes), dosen satu ini sedikit 'menyakiti' mata saya. Apalagi, gatau kenapa, saya selalu kebagian duduk tepat berhadapan dengan beliau. She is actually beautiful, kami sepakat beliau mirip Cut Tari; tapi entah kenapa kalau ke kampus itu, kayaknya beliau bangun tidur langsung capcuss. Di suatu perkuliahan, saya pernah whatsapp ke teman-teman sekelas, “girls, ada yang bawa sisir? Tangan gatal nih pingin nyisirin mbak ini.”
Hal ini sedikit membaik ketika kampus menyelenggarakan seminar. Beliau sebagai salah satu pembicara utama sepertinya meluangkan waktu untuk paling tidak mengikat rambutnya dengan rapi. But still, no make up at all.
Disitulah saya terhenyak. Ternyata, make up itu penting tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang-orang yang hendak kita temui. Penampilan yang rapi dan 'terawat' membuat orang-orang yang kita temui merasa dihargai. Sebagai seorang mahasiswa, ketika saya melihat dosen perempuan lain yang selalu tampil chic saat mengajar, saya merasa bersemangat. Terlebih karena didukung dengan wawasan beliau yang memang luar biasa.
Mungkin karena itu, saya jadi bertanya-tanya, gimana perasaan orang yang ketemu dengan saya yang tanpa polesan sama sekali? InsyaAllah saya cukup rapi (#pede), meski saya harus mengakui bahwa saya juga masih sering mengenakan pakaian pertama yang saya lihat ketika membuka lemari di pagi hari, kadang bisa tabrak motif saking cueknya. Tapi, ketika saya melihat wajah sendiri di cermin, tanpa dan dengan make up, perasaannya berbeda. Dengan eyeliner dan lipstick, saya merasa lebih baik, saya merasa hari ini akan menjadi a great day, and I like the feeling.
Don't get me wrong, tingkat kepercayaan diri dan pandangan saya tentang perempuan yang harus pintar tidak berubah. Saya bukannya tidak pede tanpa make up – but I feel better with it. Saya tetap Prima yang tidak bisa keluar dari toko buku dengan tangan kosong; dan masih sering keluar toko make up tanpa membeli apa-apa setelah mencoba selusin lipstick. Saya masih merasa sayang menghabiskan waktu untuk menggunakan make up lengkap, dari mulai BB Cream/foundation sampai eye shadow – kecuali ketika datang kondangan. Saya masih ingin diingat sebagai Prima yang berwawasan luas daripada 'sekadar' pintar dandan.
Saya hanya mencoba untuk lebih menghargai diri sendiri; dan juga orang-orang yang saya temui, yang saya harap diterima oleh mereka dengan baik pula. Perkara mereka bilang saya lebih cantik tanpa atau dengan make up, pendapat kembali ke masing-masing pribadi.
So, what do you think? ;)
Lots of love,
Prima
Dulu, duluuu banget, saya selalu punya pandangan yang namanya perempuan itu ga bisa sempurna: cantik DAN pintar. Pasti hanya salah satu. Naif memang, tapi menurut saya waktu itu, kalau seorang perempuan punya waktu dan effort untuk tampil cantik, seharusnya dia menginvestasikan hal yang sama untuk ilmu dan wawasan. Nah, saya lebih memilih untuk membeli buku instead of make up; dan membaca daripada belajar menggunakan blush on.
Ketika saya lulus S1, nenek saya membelikan seperangkat alat make up karena berpikir bahwa saya akan membutuhkannya saat bekerja. Ternyata, kantor saya adalah studio animasi, which you don't even need to wear shoes or formal clothes to work, so harapan nenek saya pupus begitu saja.
Kemudian, di kelas S2 saya yang beranggotakan 10 orang perempuan (kelas Manajemen Komunikasi), kebanyakan dari teman-teman saya hanya menggunakan lipstick ketika ke kampus. Tadinya, saya semakin merasa, oh I still don't need make up. Lalu semua itu berubah ketika semester kemarin saya diajar oleh seorang dosen perempuan. Beliau pintar, satu kelas saya setuju she is freakin' smart and her point of view is always unique. Saya tidak segan berdebat dengan beliau, karena beliau – dan satu dosen lain yang mengampu mata kuliah ini – really encourage us to. Kampus-kampus di Indonesia butuh lebih banyak dosen seperti mereka.
Tapi (ahahaha, ada tapinya yes), dosen satu ini sedikit 'menyakiti' mata saya. Apalagi, gatau kenapa, saya selalu kebagian duduk tepat berhadapan dengan beliau. She is actually beautiful, kami sepakat beliau mirip Cut Tari; tapi entah kenapa kalau ke kampus itu, kayaknya beliau bangun tidur langsung capcuss. Di suatu perkuliahan, saya pernah whatsapp ke teman-teman sekelas, “girls, ada yang bawa sisir? Tangan gatal nih pingin nyisirin mbak ini.”
Hal ini sedikit membaik ketika kampus menyelenggarakan seminar. Beliau sebagai salah satu pembicara utama sepertinya meluangkan waktu untuk paling tidak mengikat rambutnya dengan rapi. But still, no make up at all.
Disitulah saya terhenyak. Ternyata, make up itu penting tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang-orang yang hendak kita temui. Penampilan yang rapi dan 'terawat' membuat orang-orang yang kita temui merasa dihargai. Sebagai seorang mahasiswa, ketika saya melihat dosen perempuan lain yang selalu tampil chic saat mengajar, saya merasa bersemangat. Terlebih karena didukung dengan wawasan beliau yang memang luar biasa.
Mungkin karena itu, saya jadi bertanya-tanya, gimana perasaan orang yang ketemu dengan saya yang tanpa polesan sama sekali? InsyaAllah saya cukup rapi (#pede), meski saya harus mengakui bahwa saya juga masih sering mengenakan pakaian pertama yang saya lihat ketika membuka lemari di pagi hari, kadang bisa tabrak motif saking cueknya. Tapi, ketika saya melihat wajah sendiri di cermin, tanpa dan dengan make up, perasaannya berbeda. Dengan eyeliner dan lipstick, saya merasa lebih baik, saya merasa hari ini akan menjadi a great day, and I like the feeling.
Don't get me wrong, tingkat kepercayaan diri dan pandangan saya tentang perempuan yang harus pintar tidak berubah. Saya bukannya tidak pede tanpa make up – but I feel better with it. Saya tetap Prima yang tidak bisa keluar dari toko buku dengan tangan kosong; dan masih sering keluar toko make up tanpa membeli apa-apa setelah mencoba selusin lipstick. Saya masih merasa sayang menghabiskan waktu untuk menggunakan make up lengkap, dari mulai BB Cream/foundation sampai eye shadow – kecuali ketika datang kondangan. Saya masih ingin diingat sebagai Prima yang berwawasan luas daripada 'sekadar' pintar dandan.
Saya hanya mencoba untuk lebih menghargai diri sendiri; dan juga orang-orang yang saya temui, yang saya harap diterima oleh mereka dengan baik pula. Perkara mereka bilang saya lebih cantik tanpa atau dengan make up, pendapat kembali ke masing-masing pribadi.
So, what do you think? ;)
Lots of love,
Prima