Saya memandangi surat Al-Qari’ah yang terpatri di dinding pagar Masjid Ramlie Musofa, Jakarta Utara. Jauh amat mainnya, Prim. He eh, sebagai anak gaul Jaksel (halah), saya sempat merasa bangga dengan ‘pencapaian’ saya walaupun sebenarnya untuk bisa tiba di Sunter masih jauh lebih mudah daripada ke Mall Kelapa Gading.
“Kenapa Al-Qari’ah?”, saya bertanya kepada Qowi, teman yang saya paksa buat nemenin ke Masjid Ramlie Musofa – berhubung memang rumahnya dekat banget sama masjid ini.
“Entahlah… Mungkin surat itu yang menginspirasi Pak Haji untuk masuk Islam?”
Masjid yang sepintas mirip Taj Mahal ini memang didirikan oleh seorang mualaf keturunan Tionghoa. Denger-denger sih, ‘Ramlie’ adalah nama dari ‘Pak Haji’, sedangkan Musofa merupakan singkatan dari ketiga anak dari Haji Ramlie, yakni Muhammad, Sopian, dan Fabian.
Despite the fact that the mosque is indeed beautiful and I highly recommend you to come here; I can’t help but think about the surah. Ketika saya bertolak dari Malang ke Bali dengan bus, saya punya cukup banyak waktu di perjalanan untuk bengong. Daripada kesambet, mending saya ngaji tipis-tipis ye kan, mumpung masih lumayan terang juga. Berhubung saya agak pusing kalau baca Alquran di bus (kalau di kereta atau pesawat masih gapapa), saya pun membaca buku saku Juz ‘Amma, sambil melancarkan hafalan surat yang masih gitu-gitu aja. Tepat sebelum matahari terbenam, saya mengakhiri bacaan saya pada surat Al-Qari’ah.
1. Hari Kiamat,
2. apakah hari Kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Ayat 6 sampai 9 terngiang-ngiang di kepala saya hingga saya tiba di Bali. Karena tak henti-hentinya surat Al-Qari’ah ‘menghantui’ saya, saya pun memutuskan untuk membaca surat ini pada salat wajib, minimal sehari sekali. Surat ini menampar saya, di samping satu kejadian pada malam bulan Ramadan 1439 H.
Saya merasa bulan Ramadan tahun ini adalah salah satu Ramadan terbaik sepanjang hidup saya karena saya lumayan berfokus pada ibadah. TAPI, jujur hal ini membuat saya sedikit jumawa, as I had the feeling of accomplishment. Dan tepat pada saat saya menunggu momen Lailatul Qadar, Allah ‘menyentil’ saya.
Tidak biasanya, malam itu masjid dekat rumah saya menghadirkan imam yang ‘berbeda’. Lantunan ngajinya indah, suaranya juga berat dan menggetarkan jiwa (ahzeeek). Uniknya, beliau memberikan ceramah yang singkat dan padat:
““Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.”* Sehingga kita akan dinilai dari saat kita menghadap kepada Allah nanti: khusnul khotimah atau su’ul khotimah.”
*(HR. Bukhari, no. 6607)
Udah, gitu doang ceramahnya, Pemirsa.
“Kenapa Al-Qari’ah?”, saya bertanya kepada Qowi, teman yang saya paksa buat nemenin ke Masjid Ramlie Musofa – berhubung memang rumahnya dekat banget sama masjid ini.
“Entahlah… Mungkin surat itu yang menginspirasi Pak Haji untuk masuk Islam?”
Masjid yang sepintas mirip Taj Mahal ini memang didirikan oleh seorang mualaf keturunan Tionghoa. Denger-denger sih, ‘Ramlie’ adalah nama dari ‘Pak Haji’, sedangkan Musofa merupakan singkatan dari ketiga anak dari Haji Ramlie, yakni Muhammad, Sopian, dan Fabian.
Despite the fact that the mosque is indeed beautiful and I highly recommend you to come here; I can’t help but think about the surah. Ketika saya bertolak dari Malang ke Bali dengan bus, saya punya cukup banyak waktu di perjalanan untuk bengong. Daripada kesambet, mending saya ngaji tipis-tipis ye kan, mumpung masih lumayan terang juga. Berhubung saya agak pusing kalau baca Alquran di bus (kalau di kereta atau pesawat masih gapapa), saya pun membaca buku saku Juz ‘Amma, sambil melancarkan hafalan surat yang masih gitu-gitu aja. Tepat sebelum matahari terbenam, saya mengakhiri bacaan saya pada surat Al-Qari’ah.
1. Hari Kiamat,
2. apakah hari Kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.
Ayat 6 sampai 9 terngiang-ngiang di kepala saya hingga saya tiba di Bali. Karena tak henti-hentinya surat Al-Qari’ah ‘menghantui’ saya, saya pun memutuskan untuk membaca surat ini pada salat wajib, minimal sehari sekali. Surat ini menampar saya, di samping satu kejadian pada malam bulan Ramadan 1439 H.
Saya merasa bulan Ramadan tahun ini adalah salah satu Ramadan terbaik sepanjang hidup saya karena saya lumayan berfokus pada ibadah. TAPI, jujur hal ini membuat saya sedikit jumawa, as I had the feeling of accomplishment. Dan tepat pada saat saya menunggu momen Lailatul Qadar, Allah ‘menyentil’ saya.
Tidak biasanya, malam itu masjid dekat rumah saya menghadirkan imam yang ‘berbeda’. Lantunan ngajinya indah, suaranya juga berat dan menggetarkan jiwa (ahzeeek). Uniknya, beliau memberikan ceramah yang singkat dan padat:
““Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.”* Sehingga kita akan dinilai dari saat kita menghadap kepada Allah nanti: khusnul khotimah atau su’ul khotimah.”
*(HR. Bukhari, no. 6607)
Udah, gitu doang ceramahnya, Pemirsa.