Wednesday, February 11, 2015

BOOK REVIEW: Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer


Judul: Gadis Pantai
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Tebal: 231 hlm
Tahun terbit: Juli 2000 (pertama kali dibukukan tahun 1987 tapi dilarang terbit)
Cetakan: Kedua (pasca tumbangnya rezim Orde Baru)
Genre: Fiksi Dewasa, Novel Roman

Dalam islam, kita memahami bahwa perempuan dinikahi karena empat hal: kecantikan, kekayaan, kedudukan, atau agama. Sebaliknya, apa sih yang menyebabkan perempuan mau menerima pinangan seorang lelaki? Apakah kekayaan, atau tingkat sosial?

Gadis Pantai baru berusia empat belas tahun saat kepala kampung menikahkannya dengan sebilah keris. Sejak saat itu, ia resmi ‘dimiliki’ oleh sang Bendoro di kota. Mengapa dimiliki? Karena ia diperlakukan bak benda, hanya menjalani perintah dari Bendoro, tak peduli seberapa beratnya hal itu. Bahkan ketika ia diceraikan dan harus meninggalkan anaknya; untuk kemudian mengembara…karena merasa tak punya muka untuk pulang ke kampung.

Membaca novel ini mengingatkan saya akan kisah Manohara – meski jelas Manohara bukan ‘orang kebanyakan’. Eh dia rakyat biasa juga sih, kalau dibandingkan dengan sang pangeran (atau sultan?). Mungkin Manohara mesti bikin novel juga suatu hari, jadi kita bisa tahu cerita dibalik dinginnya tembok istana #halah

Balik ke cerita si Gadis Pantai. Layaknya seseorang yang berpindah ke tempat dengan berbeda budaya dan adat-istiadat, Gadis Pantai harus berusaha keras beradaptasi dengan tata kehidupan di dalam rumah Bendoro. Mas Nganten, demikian ia kemudian dipanggil, memiliki hak untuk memerintah para pelayan di rumah itu. Suatu hal yang jelas tidak biasa ia lakukan di kampung. Di kampung, ia bekerja keras: menumbuk beras, membuat ikan asin, menjahit jala, apapun yang bisa ia kerjakan untuk membantu emak dan bapaknya.

Ia juga belajar membatik, merajut, mengaji; tapi sayangnya ia justru tidak belajar baca-tulis. Ia juga memperbaiki penampilan: mandi lebih sering dengan air berbunga, mengenakan pakaian dari kain halus, menyisiri rambut, membubuhkan celak Arab, terakhir memasang sanggul di kepalanya. Semua untuk kesenangan mata Bendoro.

Meski sejak awal ia tahu bahwa hatinya terpenjara dan perasaannya terpasung, tapi ia tidak punya pilihan lain. Dan sesaat setelah ia mulai merasakan kesepian karena sang Bendoro kerap bepergian, ia harus menerima kenyataan pahit. Ia hanyalah istri percobaan, sebelum sang Bendoro menikah secara resmi dengan seorang perempuan yang sama-sama berasal dari kalangan bangsawan.

Hati saya mencelos membaca bagian ini, ketika pelayan tua yang menjadi pendamping si Gadis Pantai membatin, mengasihani nasib si Gadis Pantai. Lalu nasib selalu menjadi kambing hitam di novel ini. Nasibnya nelayan, nasibnya sahaya, nasibnya kusir.

Selanjutnya, konflik-konflik menarik terus bermunculan. Seperti ketika dompet si Gadis Pantai hilang, dan si pelayan tua harus menuduh agus-agus (keponakan Bendoro) yang tinggal di rumah itu. Orang kebanyakan versus kaum ningrat, tidak perlu tebak-tebak buah manggis untuk tahu siapa yang akan jadi pemenang. Malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya #abaikan

Atau ketika pelayan tua tersebut digantikan oleh Mardinah, utusan Bendoro dari Demak, yang ternyata berencana untuk mencelakakan si Gadis Pantai.

Menurut saya, yang paling seru untuk diikuti dari novel ini adalah penjabaran cerita lewat dialognya. Setiap kalimat menggambarkan karakter penuturnya, serta situasi yang sedang dihadapi. Pembaca dibuat menanti-nanti apa jawaban para karakter untuk setiap keadaan. Untuk lebih jelasnya tentang teknis penulisan dalam novel ini, saya menemukan ulasan Bernard Batubara yang bisa dibaca disini. --- komen prima: beda ya bok, kalau yang nge-review novelis kece. Zzz.

Yang pasti, saya sih berdoa semoga jika suatu saat dipertemukan dengan Pangeran Dubai, dia tidak akan memperlakukan saya seperti sang Bendoro memperlakukan si Gadis Pantai. LOL. Sayapun orang kebanyakan, dan saya tidak suka seseorang diperlakukan hanya berdasarkan kelas. Bukankah yang Allah lihat dari seorang hamba adalah ketakwaannya, ya kan pemirsaaaaa? #MalahCeramah

Terakhir, secara saya mendapatkan novel ini di rak buku om saya – dan sebenarnya saya pertama kali membacanya beberapa tahun yang lalu – mungkin kamu akan kesulitan mencarinya di toko buku. Nah coba cari di toko buku bekas, atau solusi terakhirnya adalah…pinjam teman yang punya aja :)))

Sekian review buku dari saya, sampai jumpa di buku-buku selanjutnya! ;)

Lots of love,
Prima

2 comments:

  1. Nice Review Mbak (Y)
    http://ilhamabdii.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Dulu, alm. pakde Dedy Lutan pernah mentasin karya yang terinspirasi dari sini, judulnya "Perempuan Lala". kalo inget ceritanya tuh nyayat hati banget ya, ngeliat nasib perempuan segitu 'rendah'nya padahal di Islam perempuan sejatinya dimuliakan #halah :')

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...