Thursday, August 4, 2016

"You Fail Only If You Stop Writing." So Why Do You Stop Writing?

Namanya Han.

Dia sengaja hanya menyebut namanya singkat begitu, mungkin karena tahu saya juga tidak akan mengingatnya.

Satu pemain Korea lain menjabat tangan saya. ‘Kim Young Jun’, begitu katanya.

Sedetik kemudian, saya diajak ngobrol oleh Coach Timo Scheunemann dan saya langsung melupakan kedua orang itu. 

Besoknya saya melihatnya di stadion.

‘Kim! Kim!’ Saya memanggil berulang kali. Dia tidak menoleh.

‘You call me?’, ya ampun ternyata saya salah orang. Kim Young Jun, yang sedianya tidak terpilih sebagai salah satu pemain Persema sudah berdiri di depan saya.

‘No, no. Him.’

Dan sejak itu saya ingat baik-baik, namanya Han. Han Sang Min.

---

I should have published this post on October 27. This date, three years ago, was the last time I wrote in Helokim. Sejak saat itu, bisa dihitung jari saya membukanya di akun Blogger saya. Saya teringat akan blog ini pada perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya tanggal 4 Juni yang lalu. Kalau orang-orang lain punya banyak waktu untuk melamun merenung atau tidur saat sedang di kereta, seperti biasa saya memilih untuk membaca. The Architecture of Love oleh Ika Natassa jadi pilihan saya. Lagi-lagi saya kurang puas dengan karyanya, meski saya harus mengacungkan jempol untuk keahlian Ika menuliskan secara detil tentang bangunan-bangunan di New York. I can imagine it as if I walk in NYC and have River explaining those buildings to me.

However, reading this hurts me so much. Mungkin saya belum jadi penulis best seller macam Raia. Tapi saya bisa memposisikan diri seandainya saya jadi Raia. Sekarang saja saya sudah pernah bertengkar hebat dengan orang terdekat yang tidak setuju ‘masalah kita dibawa ke blog’.

Besides that, just like Raia, I feel like I lost my muse. I don’t have any interest in continuing the Helokim story. Bahkan saya mulai mempertanyakan komitmen saya dalam mempelajari bahasa Korea. Seusai les sebelum bulan puasa kemarin (iya, yang ngulang dari level 1 itu), tidak seharipun saya membuka modul lagi. Padahal tadinya ada rencana mau ambil TOPIK bulan Oktober. Worst thing is, I keep postponing to go to Korea. Bukan hanya masalah duit (itu kalau engga disisihkan sih engga bakal berangkat juga), tapi ada sesuatu yang menahan saya untuk datang ke Korea. Seseorang.

Ada masa dimana saya bangun di pagi hari, begitu bersemangat untuk segera menemui dia. Menulis banyak sekali status Facebook agar seluruh dunia tahu bahwa dia bisa membuat saya merasa... Bukan hanya bahagia, karena ada juga masa dimana saya merasa menyesal mengambil tantangan ini. Saya pernah menangis tersedu-sedu hingga tak ingin mengenal dirinya lagi. Maybe this was we called love. As much as it makes you feel painful, you always want to return to him.

Lalu saya selesai menulis skripsi. A. Cumlaude. Dosen pembimbing mengatakan, ‘prima, skripsi ini engga boleh hanya jadi skripsi. Kamu harus menerbitkan skripsi ini sebagai buku. Gimana kalau bikin novel? Kamu kan suka nulis.’ I didn’t say yes at the very first time, berbulan-bulan berikutnya saya baru berpikir bahwa itu ide yang bagus. Saya pun berpura-pura menjadi JH di Helokim dan menuliskan ‘keseharian saya’ sebagai pesepakbola Korea yang bekerja di Indonesia. Sambil sesekali berpikir, ‘tapi jika buku ini rilis suatu hari nanti, bukankah kemudian orang-orang akan mengetahui cerita dibaliknya?’

Sampai suatu waktu akhirnya dia menemukannya. Blog itu. Dia marah besar, bahkan memaki saya di depan sahabat saya. And that was the end. Saat itu saya hanya bisa tertawa getir, tak pernah menyangka kalau reaksinya begitu berlebihan (menurut saya).

Flashback ke hari-hari ini. Beberapa waktu pada tahun lalu, saya sempat punya semangat untuk menggubah blog post itu menjadi novel. Sudah dapat lima puluh halaman. Saya pernah menunjukkan draft naskah yang belum seberapa itu ke Kak Ollie, dan Seonsaengnim (guru les bahasa Korea). Keduanya mengatakan premisnya cukup bagus dan saya bisa melukiskan karakter Kang dengan baik. Ya iyalah, I spent some times with him, even pretended I was him.

Namun seperti Raia, ada sesuatu yang membuat saya ragu untuk menyelesaikannya. I always seen him as the reason of me writing his stories. I always thought that he would be happy if I care about him, even reveal his stories to the world. Now he is gone from my life, why should I still write?

Saya selalu bilang pada setiap kesempatan, ketika kamu ingin menulis, kamu harus menemukan ‘why’. Tak terbayangkan akhirnya saya terperosok di lubang itu: alasan yang membuat saya menulis, alasan itu juga yang membuat saya berhenti menulis.

Barangkali itu motivasi saya untuk berusaha menemui Coach Timo Scheunemann setiap tahun. He still patiently wait, mungkin beliau tidak membayangkan saya akan menulis novel. Tapi setelah berbincang dengan beliau, saya selalu ingat bahwa saya punya impian untuk berkontribusi pada sepak bola Indonesia. Semampu saya.

I think I have to find another why now. If it’s not about him anymore, perhaps it will be easier for me. If I can put aside whatever he will say for this book once it is published someday, probably I can keep writing.

Kalau belum ketemu alasannya, ya sabar aja. Sementara kamu bisa baca Helokim dulu deh (hopeless lagi -_-).

Atau ada yang memang pingin baca versi novelnya? Semangatin saya yuk! ;)

Annyeong,
Prima

P.S.: The quote in the title is from Ray Bradbury.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...