Friday, March 27, 2015

Berkata Baik, atau Diam

 
Ketika pertama kali menemukan gambar diatas di Path, yang ada di pikiran saya adalah “cemen banget kalau ada yang terpengaruh sama omongan begituan.” Maklum, saya kan pernah jadi debater, kalau ada omongan orang yang kurang berkenan biasanya saya bales dengan kata-kata yang lebih kejam (haha)…atau diem aja lah, doain aja yang baik-baik, ngapain ngabisin waktu ngurusin begituan.
 
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, ga banyak orang yang bisa sesantai saya dalam menanggapi omongan orang, terutama kalau yang bicara itu adalah orang yang dekat dengan kita. Misalnya, keluarga. Salah satu orang yang mudah sedih karena omongan orang adalah mama saya. But me, hello, if you want to comment about my life, could you please also pay my bills? Jadi sekalian gitu, jangan setengah-setengah kalau mau ngurusin hidup orang :)))
 
Nah, sayangnya, ga banyak juga orang yang sadar kalau apa yang keluar dari mulut kita berpotensi untuk menciptakan perang dunia ketiga di kehidupan orang yang kita komentari. Pelajaran banget buat saya, yang susah berhenti bicara. Apalagi kalau sudah dimintai saran, ya Allah, khawatir banget kalau mereka malah tersakiti dengan kata-kata saya. Astaghfirullah :(
 
Makanya, taste your words before you spill it out. Meski kita tidak punya kontrol atas interpretasi seseorang, tapi kita bisa memilih kata-kata yang lebih baik, atau kalau tidak bisa: diam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”.
[Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Kalau kita gunakan gambar diatas sebagai contoh, ada kata-kata yang lebih pantas untuk dikatakan, yaitu:

1. Daripada mengkomplain si suami yang tidak pernah memberikan hadiah, si saudara laki-laki bisa memuji kerja keras si suami yang berusaha memenuhi kebutuhan keluarga.
 
2. Daripada menghina rumah yang terlalu sempit (ini sih sudah masuk ranah menghina), si ibu bisa memuji perilaku anak-anak si tuan rumah dalam membantu ibunya mewujudkan rumah yang nyaman untuk ditinggali. 
 
3. Daripada hanya mengompori si teman, kalau memang ia serius ingin membantu temannya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ia bisa mencarikan lowongan pekerjaan, atau memotivasi si teman untuk mengikuti kursus keterampilan.
 
4. Daripada bertanya kepada si kakek, seseorang itu bisa memuji prestasi anak-anak si kakek yang bekerja di berbagai kota.
 
There’s always, always something to be complimented for. Jika kata-kata yang negatif bisa membawa sebuah dampak yang besar, maka sebaliknya, kind words can make someone’s day :) Dan kalaupun kepepet, sungguh diam itu jauh lebih baik, insyaAllah.
 
So, think again. Think twice before you open your mouth. Betapa indahnya jika apa yang kita katakan hanya dua: doa atau nasihat. Orang senang didekat kita, dan semoga mereka juga mendoakan kita saat kita jauh.
 
Love,
Prima 

Thursday, March 26, 2015

IHB March Blog Post Challenge – Inspirasi Profesi: Dokter


"Tuhan menghadiahkan kehidupan, 
para dokter hadir untuk menyelamatkan dan menjaganya." 
- Quote from Path (thanks Vivi!)

I’m pretty much inspired by Indah’ post about being a doctor, as I actually once dreamed to be a doctor.

Lucunya, waktu kecil saya ga pernah menyebut ‘dokter’ sebagai cita-cita saya. Yang saya ingat, waktu SD, saya pingin jadi polwan berhijab pertama di Indonesia (ho oh, masih umur tujuh aja udah idealis begitu :p), atau jadi mubalighah. Mungkin karena dari kecil banci tampil tapi ga suka kalau ga ngapa-ngapain, macem fashion show gitu. Jaman dulu belum kenal public speaking tapi kayaknya saya udah ada bakat #asek

Bekerja di bidang kesehatan mulai terinternalisasi – halah – pada diri saya sejak saya SMP. Mama seorang penata rontgen, ayah dokter hewan, tante adiknya ayah juga dokter umum. It was just so natural to me. Saya pikir saya akan berkarir di dunia kesehatan juga.

Menjelang kenaikan kelas 3 SMA, saya mulai ngerasa ga sanggup. Mama dan ayah tidak pernah memaksa, sehingga ketika saya melihat bahwa hasil tes minat dan bakat saya mengarahkan saya ke profesi yang membutuhkan skill public speaking, saya nurut.

Dan terkadang, ada sedikit perasaan menyesal setiap kali pergi ke rumah sakit.

I think, now, I actually could push myself beyond my limit at that time. Saya ga bodoh-bodoh banget lah, biasanya di kelas saya dapat peringkat 2, pernah juga peringkat 1. IP saya di S1 rata-rata 3 sekian, it seems very easy for me as I know I can do much more than that *benerin kerah*

Saya ga bermaksud menyombongkan diri, tapi justru ini adalah pelajaran buat adik-adik sekalian. Jangan biarkan kemalasan menjauhkan kalian dari impian sebenarnya. Honestly dulu saya malas banget ikut bimbel, buat saya belajar di sekolah udah cukup, duh saya kan perlu menikmati masa muda jugaaa #YaelahPrim

But it’s true. Menjadi dokter adalah komitmen seumur hidup. Seperti kata Indah, belajarnya tiada henti. Mempersiapkan ujian masuk sekolahnya aja butuh bertahun-tahun - kalau udah di bangku kuliah adanya belajar dan belajar mulu - ko-ass pun masih belajar - nanti mau jadi spesialis juga belajar lagi. Byuh. Are you that strong?

Ga hanya fisik dan mental, tapi seiring berjalannya waktu, kepribadian seorang dokter haruslah kuat. Dari mulai harus sabar menghadapi pasien, sampai harus tahan godaan supaya tidak ‘ujub, riya’, ataupun takabbur. Oiya, meski profesinya dokter, tetep harus komunikatif apalagi kalau menjelaskan sesuatu pada pasien. Pasien kan punya hak untuk memahami detil dari penyakitnya, atau solusi alternatif dari proses penyembuhan yang dia alami. Nah, dokter harus pandai menyederhanakan penjelasannya dengan bahasa awam. Jangan sampai pasien pulang dengan tanda tanya besar di pikirannya, what’s actually happening to me?

Nah, kalau kamu sekarang sedang sekolah kedokteran atau lagi ko-ass atau lagi pendidikan spesialis, coba tengok tips dari saya supaya jadi dokter yang makin kece:

1. Miliki kegiatan sampingan

Jenuh karena belajar terus? Find a way to do interesting stuffs. Mungkin kamu mengenal Mesty Ariotedjo yang juga seorang harpis dan aktivis sosial. Sayapun punya teman yang sedang menempuh pendidikan spesialis jantung, dulu waktu kuliah Pendidikan Dokter dia tergabung di sebuah band lho. Seingat saya, dia bisa main piano, gitar, dan saksofon. Indah sendiri juga seorang blogger dan menurut saya, dia pemerhati fashion. See? It’s not about not having any free time, but you have to make it. Ujung-ujungnya supaya kamu ga stres dan bisa memaksimalkan kemampuanmu di dunia kerja.

2. Ikut kajian ilmu agama

Beberapa tahun yang lalu, pernah ada demonstrasi para dokter dengan semboyan “Dokter Bukan Tuhan”. Saya setuju banget, sebagaimana nyawa itu urusan Tuhan, kesembuhan pasien juga urusan Tuhan. Dokter ‘hanya’ dititipi berkah oleh Tuhan untuk membantu menyembuhkan sang pasien. Hubungannya dengan ilmu agama? Ya itu tadi, agar kita selalu menjadi rendah hati. Tentu saja ini bukan hanya berlaku untuk profesi dokter, tapi profesi apapun. Semakin dekat kita pada Allah, semakin dalam pemahaman kita – bahwa kita ini sebenarnya bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Ilmu tuh hanya titipan, sewaktu-waktu bisa dengan mudah diambil kalau Ia menghendaki.

Lalu bagaimana dengan saya? Ah, saya sudah lama bisa berdamai dengan diri sendiri. Saat ini saya fokus saja pada apa yang ada didepan saya. Yang paling penting, saya sudah mencanangkan tujuan hidup yaitu ingin membantu orang sebanyak-banyaknya. Dan profesi impian saya, menjadi konsultan pernikahan, juga sebuah bentuk membantu orang, insyaAllah.

So remember to be grateful – and no matter what you do or what you are, always, always be the best ;)

Love,
Prima

*tulisan ini diikutkan dalam IHB March Blog Post Challenge*

Saturday, March 21, 2015

Bosan dalam Pernikahan? Ini Tips-nya!

“Mungkin benar apa kata orang, cinta itu ada kadaluwarsa-nya.” 
– Raditya Dika

Namanya juga remaja, adaaa aja cerita lucu-lucu terutama cerita tentang cinta monyet. Sebagai cucu pertama di keluarga ayah saya, saya sering banget nggodain adik dan sepupu saya masalah ini. Kaget juga waktu tahu adik cowok saya cukup populer di sekolahnya, dan udah punya pacar. I’m not very proud of this fact, but the story of how they got into relationship still tickling my stomach, reminding me of my puppy love memories :)))

Beberapa hari yang lalu, salah satu sepupu saya bercerita kalau dia baru saja putus dari pacarnya setelah sebulan berpacaran. Alasannya bosen soalnya ketemu tiap hari di sekolah – ya Tuhan -______________-

Terus dia tanya ke saya, “mbak, mbak pernah pacaran lama kan? Kok bisa sih? Ga bosen?” Yah buka kenangan lama deh dese. Saya jawab dengan jujur, saya gatau kenapa kok bisa sampai bertahun-tahun gitu. Tapi seingat saya, setiap tahun membawa tantangan yang baru (halah), jadi perjalanannya semakin seru #eaaa

If we count on love only, it will be disappear in years. We have heard a lot of love stories that last for years, but how many of them compared with all-those-broken-marriages? Sounds so pessimistic but I hope you get what I mean ;)

Berbeda dengan komitmen dan tanggung jawab, apalagi kalau menggantungkannya sama Allah. Ya memang kalau sudah ngomongin komitmen, kaitannya sama pernikahan, bukan hanya pacaran. Pernikahan kan mitsaqon gholidzo, perjanjian yang sangat memberatkan. Sebanding dengan berkah dan rahmat yang Allah tawarkan untuk sepasang suami-istri yang mengejar ridho-Nya lewat pernikahan. Sedangkan pacaran? Berapa tahun-pun kamu pacaran, kalau belum ada akad nikah, ya tetap aja punya potensi untuk memberikan lebih banyak mudharat daripada manfaat. Astaghfirullah.

Saya jadi teringat Castle dan Beckett yang berjanji pada satu sama lain, bahwa pernikahan mereka tidak akan membosankan. Penulis novel kriminal menikah sama polisi divisi pembunuhan, kurang rame gimana coba? Hihihihihi.


Castle and Beckett at Season 7. Pic from here.
Sebaliknya, berdasarkan pengamatan saya yang belum menikah, banyak juga lho pasangan yang ngerasa stuck padahal baru beberapa tahun menikah. Kalau menurut saya sih, permasalahannya ada di komunikasi aja (lagi-lagi komunikasi, pantes saya sekolah komunikasi ‘aja’ sampai S2 :p). Sebagai contoh, mungkin si istri pingin ngajakin si suami bernostalgia, nonton film di bioskop berdua aja, eh mas suamik merasa hal tersebut kekanakan. Apalagi kalau udah punya anak, terus biasanya mas suamik bilang, “lhah anak mau ditaruh mana nih?” Ya bawa kek, titipin ke saudara bentar kek, apa kek, yang kreatif dong maseee.

Yang kedua, masalahnya ada di interest atau passion yang berbeda. Yang satu lebih suka pantai, yang satu lebih suka gunung. Yang satu ga masalah kalau backpacking, yang satu kalau traveling harus ala-ala Princess Syahrini. Itu baru masalah traveling. Gimana kalau yang satu suka baca, tapi yang satu lebih suka nonton konser musik. Atau yang satu hobi kulineran, yang satu takut gemuk kayak saya. Kembali lagi ke komunikasi, kalau ga diobrolin baik-baik, adanya bisa berantem, padahal hal tersebut lumayan sepele.

Why don’t you try something new and exciting? Menikah sendiri sebenarnya adalah sebuah langkah keluar dari zona nyaman. Yang laki, biasanya nyaman aja pulang jam berapapun karena ga ada yang nyariin, sekarang ingatlah istri di rumah sudah memasakkan makan malam!!! Yang perempuan, biasanya nyaman aja maraton film Korea saat weekend, sekarang sudah ada yang menyabotase TV buat nonton bola!!! Jadi kalau waktu masih single biasanya melakukan A, cobalah melakukan B saat sudah menikah. Cobalah memahami kenapa pasangan menyenangi kegiatan tersebut, siapa tahu kita malah jadi suka juga.
Pic from here: 5 Tips for a Wife of a Football Fan.
Yang ketiga, kalau memang tidak ada titik temu diantara passion dan interest, make your me time! Pasti pernah dengar kalau rindu bisa muncul karena adanya jarak. Nah, cobalah untuk ‘berpisah’ untuk beberapa waktu. Misalnya, solo traveling. Siapa bilang kalau sudah menikah ga boleh traveling sendirian atau sama teman-teman lama? Asal minta izin dan sudah mengatur hal-hal lain, insyaAllah pasangan membolehkan. Contohnya, Bunda Asma Nadia. Katanya suaminya tidak membolehkan dia pergi didalam kota sendirian (harus ada yang mengantar, supaya tidak lelah); tapi kalau mau traveling keluar kota atau negeri, malah didukung penuh. Mungkin ketika pergi sendiri kita akan merasakan, “ah seandainya pasanganku bersamaku saat ini..” Send the picture to him/her, so he/she can feel our happiness too! :)
Pic from here.

Tapi jangan salah, kadang pasangan yang passion dan interest-nya sama pun juga bisa merasa bosan. Misalnya, pasangan pecinta buku. Biasanya weekend dihabiskan dengan hunting buku dan saling bertukar cerita tentang buku yang dibaca. Kalau begini, keduanya harus mau sama-sama mencoba sesuatu yang baru. What about riding bicycle on Sunday morning? Atau beli mainan seperti Scrabble (still so geek, hehe), Uno Stacko, atau Xbox (mehong ya cyin). Itu baru kegiatan untuk berdua, tapi bisa juga kalau mau bikin sesuatu yang bermanfaat untuk orang banyak, seperti membuka perpustakaan. Cocok banget kalau memang punya stok buku yang bejibun, seperti apa yang tante saya lakukan dengan 3700-an bukunya (yes, that many).
Pic from here.
"A successful marriage requires falling in love many times, always with the same person." 
- Mignon McLaughlin

And for some couples, we have to do the homework. It takes a lot of efforts, but remember, that marriage is about give and give. If every person just think about what he/she can give (not what he/she can get), insyaAllah every marriage will be a beautiful one. Hope my writing helps! ;)

Love,
Prima

Friday, March 20, 2015

#1Hari1Ayat: Children

Wealth and children are [but] adornment of the worldly life. But the enduring good deeds are better to your Lord for reward and better for [one's] hope. (Q.S.Al-Kahfi (18): 46)

Ustadz Salim A. Fillah once reminded in his book, Lapis Lapis Keberkahan, that it’s not a blessing to have many kids if they don’t obey Allah and Rasulullah. It’s one kid, but he/she keeps praying for us and doing good deeds that much more important – doa anak shaleh/shalehah adalah salah satu dari amalan yang tidak terputus hingga kita berpindah alam.

Because of this, I found many couples that worried a lot of not having kids soon after getting married. Three of my best friends getting pregnant in around one year of their marriage. One of them pregnant right in one month after getting married, masyaAllah!

But others still struggling to have kids, even after two or three years of marriage. One of them is my cousin, Intan, who wrote her thought here. To hear what she feels, it sucks you know.

Life is actually simple, it’s all about what Allah gives to us. If Allah doesn’t give it to us, then He will give something better. As simple as that.

Maybe some people think it is because we are not good enough to be a parents, or because we don’t do efforts needed to have them come to our life – but Zakariya just had Maryam at his very old age. Do we dare to say that Zakariya wasn’t pious and deserves to be a father? Or when you know some couples try IVF for many times but Allah still doesn’t make it, do you have any idea how much money they have spend?

Tawakkul, tawakkul. The most important thing is we keep trusting Him fully. Find interesting things to do with your spouse so you can embrace the marriage. Hmmm, I think I would write some tips about it. Stay tune! ;)

Lots of love,
Prima

Wednesday, March 18, 2015

IHB March Blog Post Challenge – Inspirasi Profesi: Konsultan Pernikahan


Lagi-lagi untuk entah keberapa kalinya, saya menghabiskan malam minggu kemarin dengan membuat anak orang nangis… Tenang, saya ga lagi mem-bully atau nabokin seseorang kok. Nabokin sih, dikit, pakai kata-kata :)))

Itulah, akhir-akhir ini ‘praktek’ konsultasi saya semakin ramai dengan adanya teman-teman yang baru hadir di kehidupan saya. Belum tau kan, kalau saya buka praktek dokter cinta 24 jam? Mottonya, insyaAllah ada solusi *salaman sama Mama Dedeh*

Awalnya, sekitar pertengahan tahun lalu, saya bertanya pada seorang sahabat tentang kelebihan saya. Dia bilang, “you are a good listener.” Saya tercengang dibuatnya, karena saya jelas sadar bahwa saya lebih suka bicara daripada mendengar. My bad, which I really want to change. Tapi dia bilang, sebenarnya saya pay a good attention to details. Kalau saya lagi fokus, saya cukup dengerin orang ngomong satu atau dua kali, dan saya akan mengingatnya selamanya. Bahkan ketika dia sendiri sudah lupa dengan kata-kata tersebut. Kata kuncinya: kalau saya lagi fokus ya :p

Seorang sahabat yang lain juga pernah mengatakan, “suka deh kalau curhat sama mbak prim, solusinya praktis, fokus pada permasalahannya.” Cieh, kayak sok iyes aja lu prim. Nah emang sebenarnya saya kurang suka bertele-tele; saya juga bukan orang yang perasa; dan saya takut banget kalau memberi solusi yang tidak bisa digunakan oleh dia. Yang saya yakini, satu-satunya orang yang benar-benar tahu pokok permasalahan yang sedang dialami ya cuma orang yang sedang mengalaminya. Tapi biasanya karena galau, hal-hal itu tertutupi oleh kabut di pemikirannya #halah

So, when you have a problem, actually you already know the solutions. But you’re just feeling unsure, and you need somebody to tell you that you will do the right thing – which you already intended to. Get the picture?

Pic from here.
Lalu, apa sih yang bisa bikin seseorang yakin dengan keputusan yang akan dia ambil? Karena dia melihat contoh. Bahasa ilmiahnya, studi kasus – cieh – lengkap dengan konsekuensi yang ada didepannya. Inilah yang sering tidak kita ketahui. Mikirnya, kalau sedang punya masalah, udahlah hidup kita yang paling beraaat. Padahal diluar sana, begitu banyak orang sedang mengalami masalah yang sama (atau bahkan lebih berat) DAN hidupnya sehat wal’afiat. Makanya, saya pernah tulis disini, banyak-banyaklah belajar dari pengalaman orang lain. Kita tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama. Biar hemat waktu dan hemat energi gitu lhoh.

Berdasarkan cerita panjang lebar diatas, sebenarnya saya ingin sekali melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Psikologi. Saya ingin sekali bisa memberikan saran secara profesional. Saya ingin apa yang keluar dari mulut saya bisa dipertanggungjawabkan karena ada landasan ilmunya. Saya juga ingin apa yang terjadi pada seseorang bisa saya pelajari latar belakang-nya, karena harusnya ada science yang bisa menjelaskan pola perilaku seseorang. #DuilehBeratBangetPrim

Tapi, setelah saya pertimbangkan dengan masak-masak, saya akhirnya memilih untuk kembali ke Jurusan Ilmu Komunikasi. Meski komunikasi bukan panasea alias sesuatu yang bisa dikambinghitamkan saat terjadi masalah (Pak Dedy Mulyana bangeeet…), tapi dengan adanya proses komunikasi yang lebih baik, potensi konflik sangat mungkin diminimalisasi kok.

Ngomongin konflik, salah satu masalah yang paling banyak dicurhatin ke saya tentunya adalah percintaan. Honestly saya lebih suka menerima curhatan masalah karir, tapi sadar diri memang pengalaman masih dangkal jadi yaudindehcyin. Padahal kan saya jomblo juga yak, kenapose pada suka banget curhat sama saya sih?

Nah, secara memang umur sudah tua matang, yang datang ke saya biasanya ujung-ujungnya bahas tentang pernikahan. Meski saya belum menikah, alhamdulillah Allah berbaikhati memberikan saya kesempatan untuk kepo mendapatkan banyak pelajaran dari pernikahan orang-orang di sekitar saya. Jadi yaaa, saya lumayan bisa memberikan wawasan baru terutama dari sudut pandang orang-orang yang sudah pernah mengalami kisah hidup serupa.

Kabar baiknya, buat you-you yang pingin menikah pada usia relatif muda, do you know that according to GoGirl! Magazine (February 2014), the trend of getting married in young age is increasing? Sekitar 33,6% pernikahan di Indonesia terjadi pada usia 20-24 tahun, dan bahkan 41,9% pasangan menikah pada usia 15-19 tahun!!! Wew. Sayangnya, Kementerian Agama mencatat 80% dari 212.000 kasus perceraian berasal dari rumah tangga usia muda. Alasannya adalah emosi tidak terkendali, cekcok, juga ketidaksiapan secara psikis dan ekonomi.

Pic from here.

What I want to say here is, dengan kenyataan di lapangan seperti ini, kebutuhan akan konsultan pernikahan menjadi semakin tinggi. Dan di bidang itulah saya ingin mengisi dan berkontribusi. Apalagi, tidak seperti di Malaysia, di Indonesia tidak ada sertifikasi kursus pernikahan. Orang bisa nikah ‘begitu saja’ tanpa perlu memiliki ilmu tentang pernikahan itu sendiri.

Saya mengagumi mas Indra Noveldy, pendiri SekolahPernikahan(dot)com. Kalau ga salah, beliau lulusan akuntansi tapi kemudian ‘tersesat’ di belantara konsultan pernikahan. Saya gabung di forumnya setahun yang lalu, bersamaan dengan saya menyimak wejangannya di sesi satu jam setiap rabu (atau kamis?) pagi di Radio Hard Rock FM Surabaya

Mas Indra Noveldy bersama istri. Pic from here.
The thing with a marriage consultant who share his/her client’ stories is.. it makes us realize that we’re not alone. Selain mempersiapkan diri untuk menghadapi konsekuensi dalam sebuah pernikahan, kita bisa makin bersyukur ketika mengetahui ternyata masalah yang kita hadapi tuh ‘cuma segitu doang’.  

Masih menurut mas Indra, jika kamu menikah dan bermasalah (naudzubillah), carilah solusi dari orang yang terpercaya. Tapi selain itu, buat saya faktor terpenting dari kebutuhan akan konsultan pernikahan adalah netralitas. Soalnya, biasanya kalau nyari solusi dari keluarga suami atau istri aja, akan cenderung berat sebelah. Ya iyalah, mereka kan maunya yang terbaik untuk diri mereka juga.

Long story short (sebelum blog post ini menjadi cerpen), meski saya saat ini belum menjadi konsultan pernikahan officially, saya berharap saya bisa terus membagi ilmu dan pengalaman, khususnya tentang relationship. Kalau ternyata suatu hari nanti Allah mengizinkan saya untuk menjadi konsultan pernikahan beneran, mudah-mudahan saya selalu bisa memberikan saran yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, dan juga kisah Rasul dan sahabat. Tapi sebelum masa-masa itu tiba, kalau mau konsul boleh banget kirim email ke saya: primaditarahma at gmail dot com. Lalu tweet ke @primaditarahma sesudah kirim email. Nanti saya kirim nomer rekening saya #eh :))) 

Make love not war,
Prima


*tulisan ini diikutkan dalam IHB March Blog Post Challenge*

Thursday, March 12, 2015

CeweQuat Internationale Forum 2015 (Part 2)

Seperti saya laporkan (#cieh) hari Selasa kemarin, awal Februari saya pergi ke Jakarta untuk mengikuti acara seru bertajuk CeweQuat Internationale Forum 2015. Saya bela-belain datang ke Jakarta karena seperti banyak event yang saya hadiri sebelumnya, saya tahu bahwa ilmu itu harus dikejar. Rasulullah aja bilang kejarlah ilmu sampai ke negeri China. Apalagi ini yang 'cuma' di Jakarta. Untungnya, hari minggu tanggal 8 Februari 2015, ada teman lama saya yang melangsungkan pernikahan di Jakarta dan saya diundang. Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui yes. Hehe.

Acara CeweQuat Internationale Forum 2015 terbagi menjadi 3 (sesi): Career Clinic bersama Jobstreet, Optional Classes yang terdiri dari 8 (delapan) kelas yang bisa dipilih; dan Main Forum dengan 5 (lima) pembicara super kece.

Sebenarnya, saya berhasrat banget ikut Optional Classes-nya. Sempat bingung milih antara Beauty Industry with Wardah Cosmetic; NGO with YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa); Print Media Industry with GoGirl! Magazine; atau Online Media Industry with KapanLagi Network. Setelah seharian hitung kancing (#TapiBoong), saya milih Online Media Industry karena saya berencana untuk mengambil topik ini untuk tesis. Sayangnyaaaaa, kelasnya sudah penuh saat saya mendaftar. Yaudah, meski awalnya gigit jari, tapi tetep semangat dong buat ikutan Main Forum \^^/

Acara dibuka oleh Kak Bunga Mega, founder @cewequat. She is pretty and shine bright like a diamond. And she is much more than that! Saya sempat berbincang sebentar dengan beliau saat meminta tanda tangan untuk bukunya yang saya beli saat event tersebut. I think every woman should be like her. Strong, discipline, empathetic, and inspiring. Apalagi bukunya, it's definitely the kind of book that every young woman should read.  

With Kak Bunga Mega and her books ^^
Kak Nila Tanzil, imutnyaaa.

Pembicara pertama siang itu adalah kak Nila Tanzil, pendiri Taman Bacaan Pelangi. Kalau ga salah, saya pernah dengar beliau bicara di Ubud Writers and Readers Festival 2013, dan orangnya memang imut tapi sangat bersemangat. Tau ga, ada yang bisik-bisik di belakang saya, “berapa ya kira-kira umurnya?” Hayo, tebak berapa.. Saya juga ga tahu kok :)))

Kak Nila mengawali materinya (#tsah) dengan membahas cara menemukan passion, seperti:
- You are enjoying what you are doing
- It makes you happy
- It gets you excited
- It makes you eager to act

Sepanjang 'ceramah' kak Nila – dan juga pembicara-pembicara lainnya – I find myself hard to find time to take picture or write a note. Otak saya sibuk mencerna apa yang mereka sampaikan, dan menyelaraskan dengan apa yang sedang saya alami. Memang rasanya iri banget sama orang-orang seperti kak Nila yang bisa doing what she really loves every single day. Tapi kalau lihat perjalanannya, semua orang butuh proses kok. Dan, seperti kak Nila pesankan, build trust! Sama rekan kerja, perusahaan, masyarakat; 'trust' bisa jadi modal kita untuk mencapai apa yang kita inginkan di masa depan. Termasuk, jika kita ingin melepas karir untuk sesuatu yang lebih kita sukai, kita harus bisa meyakinkan orang tua bahwa pilihan kita baik dan bisa membuahkan keberhasilan.

Grace Clapham. Pic from here.
'Petuah' dari Grace.

Pembicara kedua adalah Grace Clapham, yang ternyata tidak terlalu asing untuk saya. Saya pernah membaca namanya di buku mbak Ollie: Girls & Tech dan mendengar tentang dia di sebuah event bernama “Change Venture.es”. Saat itu, mantan partner kerja saya di Singapura tinggal di Bali selama 21 hari untuk mengikuti kegiatan ini. Di Bali, orang-orang dari seluruh dunia dengan ide seputar social innovation berkumpul untuk berdiskusi dan mematangkan ide bisnis mereka. Bagi Grace, amatlah penting untuk sering-sering mengamati apa yang ada di sekeliling kita; agar kita bisa membuat perubahan. Grace membimbing kita menemukan tujuan hidup kita dengan sebuah pertanyaan, “if I could redesign my life, what should I do?” Coba, tanyakan sama diri sendiri, hidup seperti apa sih yang sebenarnya kita mau?

Pembicara ketiga adalah Veronica Colondam, Pendiri Yayasan Cinta Anak Bangsa. Sayangnya, waktu itu saya kurang memperhatikan gara-gara tempat duduk saya berada tepat dibawah AC. Jadi ngantuk dan bersin-bersin deh, haha. Tapi yang jelas saya ingat, beliau memberikan contoh hal-hal kecil yang bisa kita lakukan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Paling tidak, memberikan kehidupan yang lebih baik untuk orang-orang terdekat kita. Misalnya, kalau kamu di rumah punya ART atau sopir, coba ajukan untuk membiayai sekolah anaknya, atau mengkursuskan bahasa Inggris. Small things but it could change their life in the future.  

Zivanna Letisha Siregar. Pic from here.

Pembicara terakhir adalah Zivanna Letisha Siregar. Puteri Indonesia satu ini pas banget untuk jadi penutup karena kita jadi semangat lagi buat merencanakan impian. She said, a lot of things happened in her life just because she dreamed about it. If you can dream it, you can achieve it. Makanya, ga salah dong kalau saya bikin project #1Day1Dream bareng Kancut Keblenger. InsyaAllah di beberapa tahun kedepan, saya akan melihat satu persatu peserta project meraih apa yang jadi impiannya :)

Keseruan event ini ga cuma karena pembicara-pembicaranya aja. Ada juga booth dimana kita bisa dapat banyak informasi, seperti di AIESEC, Indosat, YCAB; atau majalah gratis (booth GoGirl!). Kita juga bisa foto bareng teman di booth foto, dan kita bisa langsung bawa pulang hasil fotonya. But the most fun part, especially for me who love yoghurt is, mereka menyediakan Heavenly Blush gratis! Meja-meja tersebut di-refill terus-menerus, jadi...ngaku deh, siapa yang kemarin bawa pulang selusin? :)))


Bisa foto di Photo Booth, cute kan :)))

Satu yang membuat saya terus-terusan tercengang sepanjang event berlangsung adalah, semua partisipan (dan pembicara) dimotivasi untuk bicara dalam bahasa Inggris. Mau nanya ke panitia atau pembicara; everyone is encouraged to speak in English. Hasilnya luar biasa, seingat saya tidak ada penanya yang menggunakan bahasa Indonesia. Artinya apa, sebenarnya kita ini sudah mampu bicara bahasa Inggris. Tapi seringnya ga pede karena kurang praktek. 

Last but not least, buat kamu yang tinggal di Jabodetabek, you are so lucky to join CeweQuat Sisterhood. Menurut yang saya baca, kamu bisa dapat training untuk pengembangan karir dan prioritas untuk melamar di perusahaan rekanan mereka. Wuih. Jadi, buat kamu yang belum ikutan, cek Twitter-nya deh, siapa tahu you are the next Cewe Quat!

Lots of love,
Prima


Wednesday, March 11, 2015

BOOK REVIEW: Bidadari Bidadari Surga - Tere Liye


 Judul Buku: Bidadari-Bidadari Surga
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tebal: 368 halaman
Tahun Terbit: Februari 2013
Cetakan: Ketigabelas
Genre: Fiksi Dewasa, Novel Populer

Buku Bidadari Bidadari Surga adalah buku Tere Liye pertama yang saya baca. Buku ini direkomendasikan oleh Ocha, sahabat saya yang sama-sama suka nge-blog. Sepertinya, dia menyuruh saya membaca buku ini karena saat itu (duluuu, beberapa bulan yang lalu :p) saya sedang galau banget masalah jodoh. Dan, buku ini sukses membuat saya menangis sejadi-jadinya. Coba deh, baca epilognya dibawah ini.

 Dengarkanlah kabar bahagia ini.
    Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa.

Should I explain more?

Saya selalu percaya, menikah itu bukan tentang seseorang itu lebih baik daripada orang yang lain. Bahkan, lebih cantik, lebih tampan, lebih bermateri, lebih berpendidikan. Tidak, menikah bukan tentang itu. Menikah adalah satu karunia dari Allah, yang waktunya hanya Ia yang tahu.

Tapi apakah hidup ini sendiri bukan sebuah karunia? Terlalu picik kalau seseorang menilai bahagianya hanya dari memiliki pasangan hidup, padahal begitu banyak teman atau rekan hadir meramaikan dunianya.

Definisi jodoh tidak sesempit suami atau istri. Dan kesempatan bermanfaat bagi orang lain, sudah merupakan nikmat yang teramat besar dari Allah.

Laisa, sulung dari lima bersaudara, telah tiba di usianya yang teramat matang. Namun entah mengapa, calon pasangan hidup tak kunjung tampak batang hidungnya. Padahal ia adalah seorang perempuan yang hebat, mampu membangun usaha kebun strawberry hingga memakmurkan desanya.

Dimulai dari seorang pria yang mundur teratur ketika melihat parasnya, atau seorang suami yang berkehendak menjadikannya istri kedua – tapi ternyata takdir berkata lain. Dan usianya makin senja. Dan, lagi, ia menyimpan masalah kesehatan yang tak pernah ia ceritakan ke orang lain kecuali ibunya.

Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta – keempat adiknya, disekolahkannya tinggi-tinggi. Ia merasa cukup dengan usahanya, meski demikian, siapa lagi kalau bukan ia yang mengajarkan semangat belajar kepada mereka...

Ini dia yang bikin saya merinding. Suatu waktu di masa lampau, ia menjadi pembela dan pelindung nomer satu adik-adiknya, bahkan ia berani bertaruh nyawa ketika kedua adiknya yang nakal, Ikanuri dan Wibisana, berhadapan dengan harimau. Padahal, hatinya baru saja tersakiti karena mereka berdua mengetahui sebuah hal yang dirahasiakan oleh ibunya sejak lama.

Betapa, seandainya saya punya kesempatan kedua, saya ingin lebih sering hadir untuk keempat adik saya sebagaimana Laisa kepada adik-adiknya. Saking nih, dulu saya jarang muncul di rumah Malang, salah satu adik saya pernah berpikir bahwa saya adalah saudara sepupu. Perih, tapi saya turut andil didalamnya.

Tapi waktu tidak dapat diputar, makanya saya pernah berujar kepada ayah saya: jika saya tidak memiliki apapun yang bisa membuat mereka merasa dekat dengan saya, setidaknya mereka tidak merasa malu untuk mengakui bahwa saya adalah kakak mereka.

Kembali ke buku Bidadari Bidadari Surga, setelah saya baca buku Tere Liye yang lain, barulah saya memahami bagaimana ia menggambarkan perasaan cinta. Kadang meluap-luap, kadang datar; tapi selalu menarik. Di buku ini, ceritanya Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana terkesan 'menggantungkan' kekasih-kekasih mereka, semata karena tidak ingin 'melintasi' kak Laisa. Cerita cinta Yashinta malah lebih lucu lagi, it feels so unrealistic at the beginning. But the way he tells the story makes it becomes logical.

Selain itu, Tere Liye punya kecakapan yang luar biasa dalam meramu karakter dalam Bidadari Bidadari Surga. Deskripsi profesi Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta tak henti membuat saya berdecak kagum. Gila Ini orang makan apa, sampai bisa riset sedalam ini.. :)))

Disamping sangat berguna untuk merekatkan hubungan kakak-adik, novel ini pas banget untuk dibaca oleh kamu yang sedang belajar menulis. Saya jadi bisa membayangkan deskripsi karakter dalam novel saya lho. Tapi nulisnya? Duh tunggu lebaran tahun depan deh.. Hihi.

So, if you love your siblings, tell them now. Before it's too late ;)

Love,
Prima

Tuesday, March 10, 2015

CeweQuat Internationale Forum 2015 (Part 1)

Beberapa hari yang lalu, saya mem-post sebuah thought di Path saya:
At some point, I choose to not reading or watching news about our nation. I feel tired, and I want to protect the health of my brain and mind.

However, I still believe that we, the youth, can turn the situation into something better.
Whatever you do, be the best! Student, employee, entrepreneur, even housewife.
Think positive, spread the kindness, do one little good act at a time.

Start small, start from yourself, start now!

Here’s the thing. Saya sudah tidak menonton TV selama lebih dari tujuh tahun. Ketika saya nge-kost di Malang, saya tidak punya TV di kamar saya, dan hanya sesekali nonton di kamar mbak kost. Saya juga tidak langganan koran karena biasanya, halaman demi halaman membuat kening saya semakin berkerut. What happen with our nation?

Memang terdengar egois untuk tidak mau mengetahui masalah apa yang sedang terjadi di negara tempat saya lahir, mencari ilmu - nafkah - hingga sekarang mencari jodoh (#teuteup). Tapi, sedikit keegoisan saya, menurut saya, justru membantu diri saya untuk melihat bahwa Indonesia masih punya harapan.

Banyak kok orang-orang (Indonesia) yang luar biasa yang bisa kita follow di Twitter/Instagram, yang ga cuma nunjukin Indonesia itu makin busuk saja dari hari ke hari. Dengan melihat aksi mereka, dengan membaca pengetahuan yang mereka bagi, dengan melihat betapa indahnya alam Indonesia yang mereka datangi – I feel more positive towards my nation.

Salah satu dari orang-orang kece itu adalah @cewequat. Ups, kalau CeweQuat sih komunitas ya. Hehehe. Komunitas ini didirikan oleh Kak Bunga Mega, yang concern pada peningkatan dan pengembangan karir perempuan muda. Sounds cool, right?

Tapi ketika saya datang ke CeweQuat Internationale Forum 2015 pada Sabtu, 7 Februari 2014; saya benar-benar salut kepada kak Bunga Mega. Sementara keseluruhan event tersebut akan saya ceritakan di post yang lain, kali ini saya mau membahas topik utama aja, yaitu apa yang saya pikirkan diatas.  

Poster Event CeweQuat Internationale Forum 2015

Ada yang sedang menjadi perdebatan diantara saya dan tante saya yang seorang dosen di Magister Administrasi Publik akhir-akhir ini: “ketika kita ingin mengubah negara, haruskah kita berada didalam(pemerintahan)-nya?”

Buat saya hal ini menarik banget, secara apapun yang kita usahakan, jika kita tidak menjadi pembuat kebijakan, kemungkinan perubahan itu menjadi kurang masif. Thank God we have bu Risma, or Pak Ridwan Kamil, as two of the city majors in Indonesia. Memang sulit menjadi orang bersih di pemerintahan Indonesia, tapi bukan berarti tidak bisa.

Ini menjadi alasan utama saya mengikuti CeweQuat Internationale Forum 2015. Melihat nama Kristen F. Bauer (Konsulat Jenderal AS) sebagai salah satu pembicara membuat saya bertekad pokoknya kudu ikut event ini deh. Awalnya saya melamar sebagai volunteer, tapi waktu itu saya tidak tahu kalau CeweQuat adalah sebuah perusahaan berbasis komunitas yang sudah memiliki banyak anggota. Makanya, mereka tidak membutuhkan volunteer – udah banyak sih volunteer-nya. Pucuk dicinta ulam tiba, saya menang kuis yang diselenggarakan di Twitter. Hihihi, lumayan banget bisa ngajak teman, dan alhamdulillah mbak Indri juga berkenan menemani saya.

Pic from here.
Kristen F. Bauer yang menjadi pembicara pada sesi keempat membahas tentang tantangan bekerja pada situasi antarbudaya – yang mau tidak mau, akan kita hadapi segera. Bahkan ketika kita ga berkarir pun, kita ga bisa terhindar dari situasi ini lho; sebut saja menemani suami yang dinas atau studi di lain benua. So, we have to be prepared! Untuk kita yang berkarir, tentu saja peluang untuk menangani klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda semakin luas dengan adanya AEC 2015 atau AFTA.

Beberapa dari kamu mungkin sudah pernah tahu kalau skripsi saya membahas tentang kehidupan pesepakbola asing di Indonesia, yang berhubungan dengan strategi komunikasi untuk menanggulangi masalah culture shock mereka. Nah, tips-tips yang diberikan oleh Kristen cocok banget dengan hasil yang saya temukan di skripsi saya dulu, antara lain:
- Listen
- Don't make assumptions
- Be flexible
- Be inclusive, break the barrier, talk to different people

Lalu, apakah saya berkesempatan bertanya padanya? TENTU SAJAAAAA, hahaha. Sebagai seorang yang berada di pemerintahan sebuah negara adidaya – dan telah tinggal cukup lama di Indonesia – Kristen berkualifikasi menjawab rasa penasaran saya.

Menurut Kristen, apapun yang kita lakukan saat ini: mengajar, berkarir di perusahaan, atau berbisnis; memiliki potensi untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Most important, be the best in everything that you do! Kalaupun memutuskan untuk masuk ke ranah pemerintahan, Kristen berpesan: be true to yourself. @america sendiri sudah memiliki program untuk membimbing perempuan muda untuk menjadi wakil rakyat, seperti membekali dengan speaking skill. But still, yang paling penting adalah ethical core yang kita yakini dalam diri. Itulah satu bekal yang sangat berharga ketika kita harus berjuang untuk stay clean in the government.

Sekali lagi Kristen menegaskan pentingnya kepercayaan diri. When we are confident enough that our vision is good and important, harusnya kita juga pede dalam memperjuangkannya. Bahkan di lingkungan orang-orang yang berpotensi menjatuhkan kita sekalipun.

So.. Saya tidak tahu apakah nantinya saya akan punya kesempatan untuk berkarir di pemerintahan. Kalau boleh berimpian, suatu hari nanti, ketika saya didukung oleh orang-orang yang menitipkan aspirasi mereka kepada saya; saya mau maju bukan untuk uang. Maksudnya, sebisa mungkin saya tidak berharap atau mengandalkan gaji sebagai wakil rakyat. Sounds so delusional? Yeah, it could be. Tapi sebagaimana Anies Baswedan membuktikan komitmennya untuk (berusaha) menjadikan Indonesia lebih baik, I am sure for one thing: sincerity never betray you.

For a better Indonesia,
Prima

Monday, March 9, 2015

S2, Pentingkah?

 

Meski baru dua minggu bersekolah, rasanya tidak perlu waktu lama untuk tahu that I’m at the right place. Belum, saya belum tahu nanti kedepannya mau gimana. Jadi akademisi atau dosen pun belum masuk ke daftar pilihan saya. Honestly, my first plan after graduating is work at a company that can gives me high salary, mwahahaha. Lagipula, dari diskusi saya dengan tante saya, mindset saya lebih condong ke menjadi konsultan: orientasinya adalah solusi, bukan landasan filosofis atau teoritis. So, we’ll see later about that ;)

Tentu, ada banyak sekali perbedaan. Sepintas, bekerja lebih terasa mudah untuk saya. Jam kerjanya pasti: jam09.00-18.00. Walau tidak sepenuhnya bebas di malam hari dan akhir pekan (kadang saya masih menjawab e-mail dari klien), tapi pikiran saya tidak ‘terpasung’ pada pekerjaan. Sementara kuliah? Boro-boro. Rasa-rasanya, ibu-bapak dosen saya seliweran di dalam mimpi saya. Pulang kuliah, ngerjain tugas. Pagi hari, mempersiapkan materi kuliah hari itu. Akhir pekan, baca-baca materi. Sekali lagi, baru dua minggu ini sih, tapi saya yakin, beberapa bulan kedepan akan begitu terus sampai bisa belajar mengatur waktu dengan lebih baik.

Somehow, I enjoy it. Saya bagaikan anak kecil baru masuk SD, tiap malam begitu bersemangat nyiapin isi tas, kadang bajunya sekalian. Doakan semangat ini bisa bertahan lama ya, toh kuliahnya cuma dua semester ini. Sisanya…tesis. Hih, dengernya udah bikin bulu kuduk merinding, hahahahaha #lebay

Salah satu obrolan saya dengan teman-teman sekelas di awal perkenalan biasanya adalah, ‘kenapa kok kuliah lagi?’ Rata-rata sih memang pingin jadi dosen, tapi saya jadi mikir.. Kenapa ya, saya sekolah lagi? Kenapa nih, sister? Ada yang bisa bantu saya? #lho

Ada seorang teman saya, Putri namanya. Dia bilang dia kuliah S2 karena berprinsip bahwa perempuan itu harus pintar. Saya setuju sekali, karena menurut 8fact(dot)com, tingkat intelijensi seorang anak didapatkan dari ibu. Masih menurut 8fact(dot)com, ayah menurunkan tinggi badan. Alhamdulillah Ya Allah, kasihan anak saya deh kalau diturunin tingginya saya, mana bantet pula. Jadi PR-nya kudu cari suami yang tingginya minimal 175 cm lah ya #BukanKode #TapiKodepunGapapaDehYa :)))

Seorang sepupu saya yang sekarang sedang kuliah S3 (dan dia dua tahun lebih muda daripada saya!!!) pernah berkata, bahwa saat ini, sebisa mungkin kita melakukan (studi) S2. Kalau orientasinya ke pekerjaan, meski belum sepenuhnya terbukti di lapangan, perusahaan umumnya lebih memperhatikan lulusan S2. Memang di sisi lain hal tersebut memberikan pertimbangan seperti biasanya lulusan S2 menuntut gaji dan posisi yang lebih tinggi daripada lulusan S1, tapi kalau bisa memberikan usaha 1000%, kenapa hanya memberikan 100%?

Sebaliknya, orang-orang dengan mindset ‘pengalaman jauh lebih penting daripada gelar’ sama sekali tidak salah. Karena saya mengamininya. Latar belakang pengalaman kerja selama 2,5 tahun harusnya memberikan saya wawasan aplikasi ilmu yang sedikit lebih luas, daripada teman-teman saya yang baru lulus S1 dan langsung lanjut S2.

Namun begitu, saya memahami perasaan teman-teman saya yang langsung lanjut S2. Pertimbangan pertama tentu semangat belajar yang masih besar. Berat lho jadi saya, setelah 2,5 tahun kerja, terus harus kembali ke sekolah dan tidak memiliki penghasilan tetap. Terus, kerasa kayak culture shock gitu, dari yang biasanya harus bikin keputusan cepat (dan tepat), sekarang harus cerdas menganalisis landasan teoritis. 

Pertimbangan kedua, umur. Saya pernah ngobrol sama seseorang di rumah sakit, “Wah mbak umur 26 sekarang? Sekolah dua tahun, umur 28. Yaaa semoga dapat jodoh pas kuliah ya mbak.” Amiiin, begitu kata saya dalam hati. Di sisi lain, mungkin memang trennya aja, bahwa usia mahasiswa/i S2 semakin muda. Seingat saya, ada mamanya sahabat saya baru mengambil S2 sekitar empat tahun yang lalu. Meski hal itu adalah untuk jabatan, tentu akan ada pengaruhnya pada kecepatan belajar dan proses komunikasi dengan teman-teman sekelas.

Kalau buat saya pribadi nih, sebenarnya saya ga mau menggunakan gaji atau posisi sebagai tujuan utama saya sekolah lagi. Menurut saya, kalau nanti saya kembali bekerja, saya merasa pantas dibayar lebih karena saya bukan fresh graduate S1 – I have working experiences - bukan hanya karena sudah S2. But still, I don’t really care. Gaji dan posisi itu relatif. Saya bersyukur saya pernah berkesempatan bekerja di sebuah perusahaan yang gajinya lumayan banget, jadi saya bisa bilang kalau sekarang itu bukan tujuan utama saya. Dengan kenyataan bahwa ilmu saya (insyaAllah) lebih banyak daripada ketika saya lulus S1, saya lebih berharap bahwa hal ini memberikan saya modal untuk memberikan kontribusi lebih banyak kepada masyarakat. Kalau hal itu dapat diterjemahkan sebagai ‘bekerja pada posisi strategis (a.k.a manajerial atau dekat dengan pengambil keputusan) dalam sebuah perusahaan’, ya itu bagus.

Repot banget kalau mau kerja tapi orientasinya (hanya) uang, atau kuliah tapi orientasinya (hanya) gelar. Saya khawatir kalau hal ini menjadikan kita menghalalkan semua cara untuk meraihnya. Rasanya hidup lebih santai kalau tujuan bekerja adalah ibadah, dan tujuan sekolah adalah untuk mendapatkan ilmu. Selow gitu deh bro..

Nah, buat yang membaca tulisan ini dan kebetulan sedang berniat untuk melanjutkan sekolah, I just want to remind you to consider that it will costs you a lot of money. Katakan untuk biaya sekolahnya bisa dapat beasiswa, tapi untuk sehari-hari seperti fotokopi, print tugas, dan ikut seminar (hey, ini penting juga) harus dihitung juga. Saya bukan mau menakut-nakuti, but I totally forgot this stuff when I plan to go back to school some months ago. So don’t follow me, you should have consider it carefully. 

Gimana buat sister yang pingin menambah ilmu tapi belum ada biaya atau kesempatan? Don’t worry! Ilmu ga hanya bisa didapat dari bangku sekolah formal kok. Coba follow Akademi Berbagi di kotamu. Mereka sering bikin acara bagi ilmu yang praktis dan ga makan waktu lama. Atau kalau yang di Surabaya, bisa lihat-lihat timeline Gerakan Mahasiswa Surabaya. Pembicaranya kece-kece lho (termasuk saya, hihihi).

Terakhir, sister.. Semua itu baru ilmu duniawi. Kalau untuk dunia aja, kita bisa terpikir untuk S2, S3, atau bahkan S4 (emang ada? LOL), semestinya kita memberikan usaha yang lebih, atau paling tidak sama, untuk ilmu akhirat. Sama seperti menambah ilmu dunia, ga perlu repot kalau memang belum tahu kelompok pengajian mana yang cocok sama kita. Ikut aja ‘pengajian’ di timeline Twitter. Tapi, harus hati-hati dalam memilah dan memilih ya, jangan menafsirkan sharing Ustadz/ah hanya dari satu-dua tweet saja, tapi harus dari keseluruhan.

Wuih ga kerasa curhat saya hari ini panjang banget, hihi. Semoga ga bosenin yah, sister! Semangat buat sister – baik yang masih seneng-senengnya kerja, atau juga lagi mulai kuliah seperti saya. InsyaAllah selama niat kita baik, apapun itu akan diridhoi oleh Allah :)

Lots of love,
Prima  

Friday, March 6, 2015

The Body Shop Vitamin E Aqua Boost Sorbet

 
 
 
Saya rindu masa-masa bisa keluar rumah tanpa riasan sama sekali, hanya moisturizer dan sunblock terus capcuscin. Sekarang mana bisa, minimal compact powder, pensil alis, dan eyeliner; terkadang pakai BB cream dan blush on juga. Bukan karena hampir semua kosmetik disponsori oleh Wardah. Bukan juga gara-gara banyak banget yang ketemu saya terus komen, “eh World Muslimah kok biasa aja sih, dandan dikit napa..” Padahal gatau deh, hubungannya dimana. Entah kenapa sekarang ngerasa aneh aja kalau jadi yang ‘minimalis’ sendirian, apalagi diantara para perempuan beralis tebal. Lagi ngetren nih ye, ternak ulat bulu buat ditaruh di alis. Mihihihi.

Jauh di lubuk hati terdalam – halah – saya berimpian untuk bisa keluar rumah dengan wajah yang benar-benar alami, bukan malah no make-up make-up. Tapi, untuk bisa ke arah sana, dibutuhkan kulit wajah yang sehat, kalau bisa ga ada kerut keriput, kantong mata, noda bekas jerawat atau pori-pori yang tampak besar… Ya Allah, ribet amat jadi perempuan.

Makanya, saya lebih banyak investasi ke skin care daripada make-up. Terutama karena saya ga punya skill ber-make-up juga. Hiks, sedih. Saya pernah pakai set skin care yang harganya sekitar dua juta, yang habis dalam empat bulan. Buat saya cukup affordable dan ekonomis; dan hasilnya nyata sekali, tapi banyak juga yang bilang itu mehong banget cyin. Sayangnya, karena saya juga belum sekaya itu, ya semakin mahal skin care-nya, kalau bisa sih di rumah aja seharian biar ga luntur skin care-nya, mwahahaha. 

Salah satu investasi yang sangat berharga, dan kebetulan memang harganya lumayan terjangkau, adalah The Body Shop Vitamin E Aqua Boost Sorbet. Saya pernah menulis tentang varian lainnya yaitu The Body Shop Vitamin E Moisture Cream disini. Tapi, setelah mencoba The Body Shop Vitamin E Aqua Boost Sorbet, saya lebih suka. Buat saya, yang ini ga terlalu oily, dan meski sudah berwudhu untuk sholat dzuhur, kulit tetap lembut sampai sore.
 
Saya pertama kali baca tentang produk ini dari blognya Diana Rikasari, dan blognya Oryza Sativa. Kebetulan waktu liburan kantor ke Bandung, kami mampir ke Paris van Java dan saya beli deh di gerai The Body Shop disana.

Hasilnya memang menakzubkan, rasanya saya akan beli lagi deh kalau yang ini habis. Packaging-nya dari kaca, jadi lebih aman untuk dibawa bepergian, dan isinya tidak terpengaruh temperatur diluar. Betul kata kak Diana Rikasari, jika diletakkan di kulkas sebelum dipakai, akan lebih nyaman ketika diaplikasikan ke wajah, dan juga bertahan lebih lama. Tapi saran saya, jangan selalu disimpan di kulkas karena bisa menguap. Saya mengalaminya dengan krim wajah saya yang sebelumnya, dan rasanya sedih banget…lima ratus ribu menguap begitu saja.. :(((

Setelah hampir tiga bulan menggunakan The Body Shop Vitamin E Aqua Boost Sorbet – dan belum habis juga karena saya cuma menggunakannya kalau bepergian keluar rumah – saya merasa semakin pede ketika bercermin. Kulit wajah tampak terasa lebih segar, mengingatkan saya akan rona jeruk bali <-- iki opooo, hahaha. Yang luar biasa, jerawat ogah nongol lama-lama di wajah saya. Dan kalaupun sedang tidak pakai, kulit wajah saya tetap lembut dan lembab. Horeee.

The most special part, you can get all these benefits with only Rp. 249.000. Oya, it’s highly recommended for you who have normal skin or dry. Meski kak Diana Rikasari punya kulit kombinasi, saya rasa akan membuat kulit berminyak makin berminyak. Atau ada yang punya pengalaman lain? Share yuk.

Love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...